Investigasi Khusus: Perdagangan Maut

By , Senin, 3 Oktober 2016 | 16:30 WIB

Perlu lima jam berkendara dari Taman Nasio­nal Kruger Afrika Selatan dengan populasi badak liar terbesar di dunia, ke Polokwane, tempat orang pa­ling diincar dalam perdagang­an gelap cula badak: Jutawan operator safari dan mantan polisi Dawie Groenewald.

Untuk menemui Groenewald, saya dan fotografer Brent Stirton melaju dalam dua mobil, melintasi barisan pegunungan berkelok nan indah permai. Tetapi, lalu malam turun, dan seseorang menuangkan ter di garis tengah jalan raya dan menyulutnya. Tampaknya ini adalah salah satu unjuk rasa yang berakar dari ketegangan ras dan ekonomi, yang terus berkobar di Afrika Selatan selama lebih dari dua dasawarsa sejak apartheid berakhir. Kami menghindarinya, tetapi malah menemui kemacetan dan blokir jalan dadakan satu kilometer kemudian. Brent turun dari mobil dan memindahkan batu yang terlalu besar untuk dilewatkan di kolong mobil, sementara saya memasang mata kalau-kalau ada sergapan. Kami pun menembus bahaya, dilempari batu oleh orang-orang yang tidak terlihat dari luar bahu jalan.

Kami menginap di hotel lembap di pinggir jalan. Kemudian, sesuai dengan petunjuk Groenewald, menunggu di SPBU hingga ditemui oleh anak buahnya yang bernama Leon van der Merwe. Selama dua puluh menit mobil kami beriringan menyusuri lahan luas yang berpagar rapi, hingga mencapai gerbang yang terbuka secara elektronik. Di jalan masuk, Dawie Groenewald berdiri.

Groenewald dijuluki “jagal Prachtig” akibat perbuatan yang diduga dilakukannya terhadap badak di lahan berburunya yang dinamai demikian (prachtig adalah kata Belanda yang berarti “indah”). Saat ini, ia dan sepuluh terdakwa lain sedang menghadapi 1.872 dakwaan di Afrika Selatan. “Geng Groenewald,” demikian julukan media Afrika Selatan untuk mereka, menghadapi beragam dakwaan yaitu membunuh badak secara ilegal, memotong cula badak secara ilegal, melakukan perdagangan cula badak, memeras, mencuci uang, dan pidana terkait. Di Amerika Serikat, Groenewald dan adiknya, Janneman, didakwa telah menipu hampir selusin klien berburu berkebangsaan AS untuk membunuh badak secara ilegal di Prachtig. Pihak berwenang Amerika Serikat pun telah mengajukan permintaan ekstradisi. Di Republik Ceko, para penyelidik mengaitkan Groenewald dengan sindikat perdagangan gelap cula badak setelah menemukan bahwa cula yang dikirim ke Vietnam berasal dari badak yang ditembak oleh para pemburu Ceko di Prachtig. Groenewald menyangkal bahwa dia mengetahui tujuan perburuan tersebut. Dia pernah dilarang untuk berburu di Zimbabwe dan telah dikeluarkan dari Professional Hunters’ Association of South Africa.

Inilah kisah Dawie Groenewald, yang dituduh berdagang cula badak, dan John Hume, pemilik peternakan badak terbesar di dunia—dua orang yang merupakan kenalan baik dan memiliki tujuan yang sama: mengakhiri larangan Afrika Selatan dan internasional terhadap perdagangan dan penjualan cula badak. Groenewald bersedia menemui saya dan Brent manakala dia sedang terlibat dalam pertempuran hukum yang taruhannya besar. Hasil perkara hukum ini dapat menjebloskannya ke penjara puluhan tahun, atau membuka celah untuk legalisasi penjualan cula badak di Afrika Selatan—celah yang dapat turut memuluskan jalan bagi legalisasi perdagangan global, yang menurut para penentangnya dapat memusnahkan badak.

Krisis Badak

Afrika Selatan dihuni oleh hampir 70 persen dari 29.500 badak yang tersisa di bumi, turun jumlahnya dari beberapa ratus ribu ekor di Afrika sebelum 1800-an. Badak tersebar di dua benua dan lima spesies: badak putih—tinggal sekitar 20.400 ekor, badak hitam—tinggal 5.250, badak india, badak sumatra, dan badak jawa. Menurut Private Rhino Owners Association di Afrika Selatan, 6.200 badak di negara itu berada di tangan swasta dan digunakan secara komersial untuk safari foto, perburuan legal, produksi cula, dan pembiakan.

Cula badak adalah anggota badan paling berharga di dunia di pasar eksotis yang menghargai keunikan alam, seperti gading gajah, penis harimau, dan ekor jerapah. Tidak seperti tanduk pada banyak spesies termasuk ternak, cula badak tidak terbuat dari tulang. Cula terbuat dari keratin, protein yang juga terdapat dalam rambut dan kuku kita, dan jika dipotong, cula badak akan tumbuh lagi. Meskipun menjual cula badak itu ilegal, di Afrika Selatan kita boleh memotongnya kalau memiliki izin. Setiap satu-dua tahun, para peternak badak Afrika Selatan membius peliharaannya dengan panah, memotong cula sebanyak mungkin dari setiap badak, dan menyimpan semuanya di brankas bank dan lokasi lain yang aman, dengan harapan suatu hari nanti penjualan cula badak akan dilegalkan.

Sementara itu, perdagangan ilegal berkembang pesat, terutama memasok Vietnam dan Tiongkok. Di sana biasanya cula digiling menjadi bubuk dan diminum sebagai obat untuk segala sesuatu dari kanker hingga gigitan ulat laut dan sebagai afrodisiak. Di pasar gelap di Afrika Selatan, cula badak putih dihargai hingga sekitar Rp86 juta per kilo, menurut Groenewald, tetapi di pasar gelap Asia, harga grosirnya lima hingga sepuluh kali lipat, dan harga eceran melambung lebih tinggi lagi. Satu badak jantan yang memiliki cula 10 kilogram dapat memberi kehidupan baru bagi pemburu liar Mozambik yang menyusup perbatasan ke Taman Nasional Kruger dengan membawa senapan AK-47. Tetapi, pemburu liar itu sendiri kemungkinan dimanfaatkan oleh orang-orang yang memberinya senjata itu. Pemburu liar itu juga mungkin ditembak oleh pihak berwenang, sebagaimana nasib 500 pemburu liar Mozambik di Kruger dari 2010 hingga 2015.

Pemburuan liar badak sudah benar-benar parah selama dasawarsa terakhir. Pada 2007 Afrika Selatan melaporkan penurunan jumlah badak hanya 13 ekor. Pada 2008 menjadi 83 ekor. Tahun lalu 1.175 ekor. Di Kruger, yang dihuni sekitar 9.000 ekor badak, pemburu liar membunuh rata-rata dua hingga tiga ekor setiap hari. Pembunuhan ini tidak terbatas di Afrika. Pada April, para pemburu liar menembak seekor badak india dengan AK-47 di Taman Nasional Kaziranga di India beberapa jam setelah Duke dan Duchess Cambridge mengunjungi taman itu untuk mempromosikan pelestarian alam.

Bagi orang-orang di garis depan, melindungi badak sudah bukan lagi masalah pelestarian: “Ini perang,” kata Xolani Nicholus Funda, kepala jagawana di Kruger, tempat terjadinya sebagian besar pemburuan liar badak di dunia. “Itulah yang membuat kami frustrasi. Perang badak ini—mirip narkoba. Melibatkan banyak uang dan suap. Seluruh sistem peradilan benar-benar membuat frustrasi. Kami sering kalah” di pengadilan. “Kami dikelilingi kantor polisi yang sudah tidak mirip kantor polisi karena mereka bekerja sama dengan pemburu liar.”

Pertempuran di Johannesburg

Pada 1977, perdagangan internasional cula badak dilarang oleh peserta Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), yaitu pakta yang mengatur perdagangan global hidupan liar. Namun, larangan itu hanya berlaku untuk perdagangan antarnegara, dan mengandung pengecualian yang dimanfaatkan pedagang cula: CITES membolehkan ekspor cula—atau trofi—dari badak putih yang ditembak dengan izin olahraga berburu. Mulai 2003 pedagang cula badak Vietnam mulai mendaftar di operator berburu Afrika Selatan untuk membunuh badak demi culanya, lalu sindikat yang berpusat di Laos bahkan mempekerjakan PSK untuk berpura-pura menjadi pemburu. Mereka menjual cula di pasar gelap di negaranya.