Investigasi Khusus: Perdagangan Maut

By , Senin, 3 Oktober 2016 | 16:30 WIB

Perlu lima jam berkendara dari Taman Nasio­nal Kruger Afrika Selatan dengan populasi badak liar terbesar di dunia, ke Polokwane, tempat orang pa­ling diincar dalam perdagang­an gelap cula badak: Jutawan operator safari dan mantan polisi Dawie Groenewald.

Untuk menemui Groenewald, saya dan fotografer Brent Stirton melaju dalam dua mobil, melintasi barisan pegunungan berkelok nan indah permai. Tetapi, lalu malam turun, dan seseorang menuangkan ter di garis tengah jalan raya dan menyulutnya. Tampaknya ini adalah salah satu unjuk rasa yang berakar dari ketegangan ras dan ekonomi, yang terus berkobar di Afrika Selatan selama lebih dari dua dasawarsa sejak apartheid berakhir. Kami menghindarinya, tetapi malah menemui kemacetan dan blokir jalan dadakan satu kilometer kemudian. Brent turun dari mobil dan memindahkan batu yang terlalu besar untuk dilewatkan di kolong mobil, sementara saya memasang mata kalau-kalau ada sergapan. Kami pun menembus bahaya, dilempari batu oleh orang-orang yang tidak terlihat dari luar bahu jalan.

Kami menginap di hotel lembap di pinggir jalan. Kemudian, sesuai dengan petunjuk Groenewald, menunggu di SPBU hingga ditemui oleh anak buahnya yang bernama Leon van der Merwe. Selama dua puluh menit mobil kami beriringan menyusuri lahan luas yang berpagar rapi, hingga mencapai gerbang yang terbuka secara elektronik. Di jalan masuk, Dawie Groenewald berdiri.

Groenewald dijuluki “jagal Prachtig” akibat perbuatan yang diduga dilakukannya terhadap badak di lahan berburunya yang dinamai demikian (prachtig adalah kata Belanda yang berarti “indah”). Saat ini, ia dan sepuluh terdakwa lain sedang menghadapi 1.872 dakwaan di Afrika Selatan. “Geng Groenewald,” demikian julukan media Afrika Selatan untuk mereka, menghadapi beragam dakwaan yaitu membunuh badak secara ilegal, memotong cula badak secara ilegal, melakukan perdagangan cula badak, memeras, mencuci uang, dan pidana terkait. Di Amerika Serikat, Groenewald dan adiknya, Janneman, didakwa telah menipu hampir selusin klien berburu berkebangsaan AS untuk membunuh badak secara ilegal di Prachtig. Pihak berwenang Amerika Serikat pun telah mengajukan permintaan ekstradisi. Di Republik Ceko, para penyelidik mengaitkan Groenewald dengan sindikat perdagangan gelap cula badak setelah menemukan bahwa cula yang dikirim ke Vietnam berasal dari badak yang ditembak oleh para pemburu Ceko di Prachtig. Groenewald menyangkal bahwa dia mengetahui tujuan perburuan tersebut. Dia pernah dilarang untuk berburu di Zimbabwe dan telah dikeluarkan dari Professional Hunters’ Association of South Africa.

Inilah kisah Dawie Groenewald, yang dituduh berdagang cula badak, dan John Hume, pemilik peternakan badak terbesar di dunia—dua orang yang merupakan kenalan baik dan memiliki tujuan yang sama: mengakhiri larangan Afrika Selatan dan internasional terhadap perdagangan dan penjualan cula badak. Groenewald bersedia menemui saya dan Brent manakala dia sedang terlibat dalam pertempuran hukum yang taruhannya besar. Hasil perkara hukum ini dapat menjebloskannya ke penjara puluhan tahun, atau membuka celah untuk legalisasi penjualan cula badak di Afrika Selatan—celah yang dapat turut memuluskan jalan bagi legalisasi perdagangan global, yang menurut para penentangnya dapat memusnahkan badak.

Krisis Badak

Afrika Selatan dihuni oleh hampir 70 persen dari 29.500 badak yang tersisa di bumi, turun jumlahnya dari beberapa ratus ribu ekor di Afrika sebelum 1800-an. Badak tersebar di dua benua dan lima spesies: badak putih—tinggal sekitar 20.400 ekor, badak hitam—tinggal 5.250, badak india, badak sumatra, dan badak jawa. Menurut Private Rhino Owners Association di Afrika Selatan, 6.200 badak di negara itu berada di tangan swasta dan digunakan secara komersial untuk safari foto, perburuan legal, produksi cula, dan pembiakan.

Cula badak adalah anggota badan paling berharga di dunia di pasar eksotis yang menghargai keunikan alam, seperti gading gajah, penis harimau, dan ekor jerapah. Tidak seperti tanduk pada banyak spesies termasuk ternak, cula badak tidak terbuat dari tulang. Cula terbuat dari keratin, protein yang juga terdapat dalam rambut dan kuku kita, dan jika dipotong, cula badak akan tumbuh lagi. Meskipun menjual cula badak itu ilegal, di Afrika Selatan kita boleh memotongnya kalau memiliki izin. Setiap satu-dua tahun, para peternak badak Afrika Selatan membius peliharaannya dengan panah, memotong cula sebanyak mungkin dari setiap badak, dan menyimpan semuanya di brankas bank dan lokasi lain yang aman, dengan harapan suatu hari nanti penjualan cula badak akan dilegalkan.

Sementara itu, perdagangan ilegal berkembang pesat, terutama memasok Vietnam dan Tiongkok. Di sana biasanya cula digiling menjadi bubuk dan diminum sebagai obat untuk segala sesuatu dari kanker hingga gigitan ulat laut dan sebagai afrodisiak. Di pasar gelap di Afrika Selatan, cula badak putih dihargai hingga sekitar Rp86 juta per kilo, menurut Groenewald, tetapi di pasar gelap Asia, harga grosirnya lima hingga sepuluh kali lipat, dan harga eceran melambung lebih tinggi lagi. Satu badak jantan yang memiliki cula 10 kilogram dapat memberi kehidupan baru bagi pemburu liar Mozambik yang menyusup perbatasan ke Taman Nasional Kruger dengan membawa senapan AK-47. Tetapi, pemburu liar itu sendiri kemungkinan dimanfaatkan oleh orang-orang yang memberinya senjata itu. Pemburu liar itu juga mungkin ditembak oleh pihak berwenang, sebagaimana nasib 500 pemburu liar Mozambik di Kruger dari 2010 hingga 2015.

Pemburuan liar badak sudah benar-benar parah selama dasawarsa terakhir. Pada 2007 Afrika Selatan melaporkan penurunan jumlah badak hanya 13 ekor. Pada 2008 menjadi 83 ekor. Tahun lalu 1.175 ekor. Di Kruger, yang dihuni sekitar 9.000 ekor badak, pemburu liar membunuh rata-rata dua hingga tiga ekor setiap hari. Pembunuhan ini tidak terbatas di Afrika. Pada April, para pemburu liar menembak seekor badak india dengan AK-47 di Taman Nasional Kaziranga di India beberapa jam setelah Duke dan Duchess Cambridge mengunjungi taman itu untuk mempromosikan pelestarian alam.

Bagi orang-orang di garis depan, melindungi badak sudah bukan lagi masalah pelestarian: “Ini perang,” kata Xolani Nicholus Funda, kepala jagawana di Kruger, tempat terjadinya sebagian besar pemburuan liar badak di dunia. “Itulah yang membuat kami frustrasi. Perang badak ini—mirip narkoba. Melibatkan banyak uang dan suap. Seluruh sistem peradilan benar-benar membuat frustrasi. Kami sering kalah” di pengadilan. “Kami dikelilingi kantor polisi yang sudah tidak mirip kantor polisi karena mereka bekerja sama dengan pemburu liar.”

Pertempuran di Johannesburg

Pada 1977, perdagangan internasional cula badak dilarang oleh peserta Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), yaitu pakta yang mengatur perdagangan global hidupan liar. Namun, larangan itu hanya berlaku untuk perdagangan antarnegara, dan mengandung pengecualian yang dimanfaatkan pedagang cula: CITES membolehkan ekspor cula—atau trofi—dari badak putih yang ditembak dengan izin olahraga berburu. Mulai 2003 pedagang cula badak Vietnam mulai mendaftar di operator berburu Afrika Selatan untuk membunuh badak demi culanya, lalu sindikat yang berpusat di Laos bahkan mempekerjakan PSK untuk berpura-pura menjadi pemburu. Mereka menjual cula di pasar gelap di negaranya.

Untuk menghadapi perburuan yang amat serakah ini, Afrika Selatan memperketat peraturan berburu, dengan cara membatasi pemburu hanya satu badak per tahun, mewajibkan kehadiran pejabat pemerintah untuk menjadi saksi perburuan, dan menolak izin bagi pemburu dari Vietnam. Cula dari setiap badak yang diburu harus dipasangi mikrocip dan ciri-ciri DNA-nya dicatat dalam Rhino DNA Index System di Veterinary Genetics Laboratory di University of Pretoria.

Meski demikian, perdagangan cula badak tetap berlanjut. Ada satu titik lemah lain dalam larangan internasional cula badak yang tidak dapat ditangani oleh CITES: Penjualan cula badak di dalam Afrika Selatan sendiri legal. Namun, pada 2008 Marthinus van Schalkwyk, menteri urusan lingkungan dan pariwisata, mengumumkan moratorium terhadap kebijakan itu demi “meredam peningkatan perdagangan ilegal cula badak” dan “mudah-mudahan mengurangi pemburuan liar.” Pada Februari 2009, larangan penjualan dalam negeri cula badak mulai berlaku.

Baik Groenewald dan John Hume berpendapat bahwa membiakkan badak untuk memanen cula lalu menjualnya secara legal akan mengurangi pemburuan liar. Tetapi Allison Thomson, direktur Outraged South African Citizens Against Poaching, organisasi anti-legalisasi terkemuka, tidak sepakat. “Badan penegak hukum kami sudah kewalahan menangani hampir seribu penangkapan pada 2015 dan hanya 61 vonis bersalah. Kalau ditambah harus memantau perdagangan legal, penegakan hukum akan hampir mustahil dilakukan, sehingga sindikat jahat dapat kembali memperdagangkan cula lebih banyak ke pasar gelap internasional.”

Afrika Selatan menjadi tuan rumah pertemuan CITES tiga-tahunan di Johannesburg pada September 2016. Pada 1997 Afrika Selatan mengusulkan pencabutan larangan CITES terhadap perdagangan internasional cula badak, bergembar-gembor bahwa sistem hukumnya mampu mengontrol perdagangan, yang “akan menekan harga dan kegiatan pasar gelap.” Namun, upaya itu gagal.

Sejarah menunjukkan bahwa mencabut larangan dagang tanpa kontrol yang memadai terhadap kejahatan dan korupsi bisa berakibat fatal. Pada 2007 peserta CITES membekukan larangan internasional terhadap perdagangan gading gajah dan mengizinkan empat negara—Botswana, Namibia, Afrika Selatan, dan Zimbabwe—menjual 115 ton ke Tiongkok dan Jepang. Penjualan itu, yang berlangsung tahun berikutnya, dirancang untuk membanjiri pasar gading Asia dan mendesak pedagang gelap. Namun, ini malah memberi sinyal bahwa pasar gading sudah buka lagi, mendorong pemburuan liar gajah besar-besaran di seluruh Afrika—lebih dari 30.000 gajah per tahun antara 2010 dan 2012 saja—yang masih berlanjut hingga kini.

Ada spekulasi bahwa Afrika Selatan, karena didorong oleh industri peternakannya, mungkin akan mengusulkan lagi pencabutan larangan CITES terhadap perdagangan internasional cula badak. “Kami sudah berdaya upaya [untuk menghentikan pemburuan liar], dan mengerjakan hal yang sama setiap hari yang ternyata tidak ada manfaatnya,” kata menteri urusan lingkungan Afrika Selatan, Edna Molewa, kepada Mail & Guardian di pertemuan CITES di Bangkok pada 2013. Ternyata, pada bulan Mei Afrika Selatan mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengusulkan pencabutan larangan, dengan alasan perlu bukti bahwa perdagangan akan menolong badak liar, memperluas wilayah hidup badak, dan mengatasi korupsi serta tantangan di negara lain yang dihuni badak. Tetapi kemudian Swaziland, negara mungil yang jumlah badaknya tidak sampai 100 ekor dan yang dikelilingi hampir seluruhnya oleh Afrika Selatan, mengajukan usul untuk mencabut larangan tersebut.

Pembantaian di Prachtig

Dawie Groenewald mengantar kami ke meja makan panjang di pondok utama di peternakan pembiakan hewan buruan eksotis miliknya. Lahan yang bernama Mataka ini memiliki ukuran lebih kecil di antara kedua lahan miliknya—750 hektare dan terletak 200 kilometer di selatan Prachtig. Di luar dia memiliki dua helikopter berkilap, satu istal kuda arab, dan berhektare-hektare hewan buruan eksotis mahal yang akan ditunjukkannya kepada saya nanti, termasuk badak.

Groenewald memulai Mataka pada 2012, dua tahun setelah dia ditangkap, tetapi dia tidak menghentikan operasi perburuan di Prachtig. Dia mendirikan usaha baru, Wild Africa Hunting Safaris, yang menggantikan usahanya sebelumnya, Out of Africa Adventurous Safaris. Groenewald jelas yakin akan menang di pengadilan di Afrika Selatan dan Amerika Serikat. Dan keyakinannya itu beralasan: Kasus pidananya di Afrika Selatan dibekukan dengan adanya gugatan perdata yang diajukan oleh peternak hewan buruan bernama Johan Krüger, yang tinggal di dekat Groenewald. Gugatan itu memohon pengujian konstitusional atas larangan perdagangan cula badak di Afrika Selatan, juga atas sebagian besar pidana terkait-badak lainnya yang dituduhkan kepada Groenewald.

Krüger, yang tidak terlibat dalam pidana yang didakwakan kepada Groenewald, bukan pemohon yang sebenarnya, kata Groenewald, dan bukan pula orang yang membayar biaya perkaranya. “Itu saya,” tambahnya dengan tegas. National Geographic tidak berhasil menghubungi Krüger, tetapi ada alasan untuk memercayai perkataan Groenewald. Dia dan Krüger pernah berbisnis kerbau bersama; mereka berburu bersama; foto Krüger terpampang di dalam brosur berburu Groenewald; dan pengacara Krüger juga pengacara Groenewald.

Dakwaan terhadap Groenewald di Afrika Selatan berakar dari penggerebekan Prachtig pada September 2010 oleh Directorate for Priority Crime Investigation Afrika Selatan, yaitu unit polisi elite yang dijuluki Hawks atau para Elang. Markus Hofmeyr, manajer jasa dokter hewan untuk Taman Nasional Afrika Selatan, yang mengelola Taman Nasional Kruger, adalah anggota tim spesialis forensik yang didatangkan pada hari itu untuk membius badak Groenewald serta mengambil sampel jaringan dan darah. Timnya menemukan 29 badak hidup dan menembak 26 di antaranya dengan panah bius.

Hofmeyr menyerahkan surat pernyataan tersumpah yang menuturkan apa yang dilihatnya di Prachtig: “Semua badak yang kami tembak, culanya pernah diambil, beberapa sampai ke titik tumbuhnya. Cula pada beberapa badak itu jelas dipotong dengan gergaji mesin atau alat serupa itu.” Memotong cula terlalu dekat ke titik tumbuhnya dapat menyebabkan perdarahan dan, menurut dokter hewan, menyakitkan bagi badaknya. Hofmeyr menduga bahwa beberapa cula diambil “dengan menusukkan pisau dan memisahkan area pelekatan cula dari dasar tengkorak atau dengan mengerahkan tenaga besar dan mencabut culanya dari dasar.”

Menurut Groenewald, orang Tiongkok “tidak suka cula yang tidak utuh,” jadi dia memotong cula badak sampai delapan sentimeter dari tengkoraknya.

Para penyelidik juga menemukan beberapa lokasi di Prachtig yang menyisakan bangkai dan tengkorak badak yang dibakar. Ditemukan sembilan belas tengkorak, semuanya dengan cula terpotong. Enam tahun kemudian Hofmeyr masih dihantui oleh pemandangan itu. “Yang paling traumatis bagi saya adalah melihat lubang yang berisi bangkai badak itu,” ceritanya. “Sangat mungkin dia akan bebas. Itu bukti betapa sakitnya sistem kami.”

Hofmeyr mengenali badak di lahan Groenewald sebagai hewan yang dulu ditangkap dengan bantuannya di Taman Nasional Kruger. “[Groenewald] menawarkan harga terbaik dan tidak memiliki vonis [pidana], jadi menurut hukum penjualan kami, kami tidak bisa tidak menjual kepadanya.” Menjual hidupan liar ke sektor swasta adalah salah satu cara taman nasional itu membiayai proyek pelestarian khusus, katanya, dan meskipun beberapa badak dijual kepada operator safari untuk diburu, hewan itu juga mendapat kesempatan untuk dibiakkan, menambah jumlahnya secara keseluruhan. Memang, pembiakan untuk perburuan hewan besar diakui secara luas telah membantu pemulihan badak putih dari status hampir punah pada pergantian abad ke-20.

“Perlu waktu lama untuk pulih, perlu waktu lama untuk percaya lagi kepada manusia,” kata Hofmeyr. “Anda berpikir, Apakah saya bagian dari hal ini? Saya yang menangkap hewan itu, saya yang memasukkannya ke kotak.” Hofmeyr berfokus pada gambar keseluruhan—hewan-hewan yang pernah dibantunya pindah ke tempat-tempat lain. “Saya duga 75 persen di antaranya masih hidup, dan berkembang biak. Bagi saya, itulah yang pada akhirnya memudahkan menerima hal-hal seperti ini.”

Groenewald, yang membeli lebih dari 30 badak dari Kruger, berkata, taman itu menentukan harga berdasarkan panjang cula. “Mereka ingin badak ini diburu,” katanya kepada saya.

Operation Crash

Pada Juni 2011 U.S. Fish and Wildlife Service menerima email dari Kolonel Johan Jooste dari Elang Afrika Selatan, yang meminta tolong mewawancarai beberapa orang Amerika yang memburu badak bersama Groenewald di Afrika Selatan. David Hubbard, di kantor FWS, ditugasi melakukan hal itu.

Hubbard kenal dengan Groenewald. Hubbard membantu penangkapan lelaki itu karena mengirim awetan macan tutul ke AS yang ditembak di Afrika Selatan tanpa izin berburu. Klien Groenewald, tukang leding dari Texas bernama Glenn Davey, membunuh macan tutul itu pada 2006. Tetapi, tahun itu Groenewald tidak memiliki izin berburu macan tutul, dan menurut kesepakatan pengadilannya, namanya malah tercantum pada pengajuan izin tahun 2008. Agen FWS menangkap Groenewald pada Januari 2010, ketika dia kebetulan sedang mengunjungi adiknya, Janneman, yang mengelola operasi penjualan untuk perusahaan berburu mereka di Autaugaville, Alabama. (Janneman sudah pulang ke Afrika Selatan setelah itu.) Groenewald mengaku bersalah, dihukum dipenjara selama waktu yang sudah dijalani (delapan hari), dan diperintahkan mengembalikan uang kliennya sebesar Rp98 juta, dan didenda sebesar Rp394 juta.

“Kok saya didenda karena macan tutul yang ditembak di tempat saya?” kata Groenewald, masih geram. “Saya tidak mencurinya. Saya tidak menembaknya di peternakan orang lain. Macan itu milik saya.”

Macan tutul itu dibunuh secara legal pada 2008, katanya kepada saya, meskipun brosur perusahaan 2006-07 ada foto tukang perpipaan air Texas itu memegang macan tersebut.

Lima tahun kemudian, pada 2011, Hubbard meyakini bahwa Groenewald memperdagangkan hidupan liar lagi. Hampir selusin orang Amerika yang mengikuti petualangan berburu bersama perusahaan Groenewald menuturkan kisah serupa kepada Hubbard: Mereka tidak berniat berburu badak, tetapi saat tiba di Prachtig, mereka diberi tahu oleh Groenewald tentang badak “bermasalah” yang perlu dibunuh. Groenewald memasang tarif rata-rata Rp131 juta—sepersekian harga pasar untuk berburu badak secara legal. Orang-orang Amerika ini diperbolehkan memotret hasil buruannya, tetapi hanya foto badak itulah yang boleh dibawa pulang. Groenewald menyimpan culanya.

Hubbard membuka kasus sendiri, Operation Preposterous, yang kemudian menjadi Operation Crash (kawanan badak disebut “crash” dalam bahasa Inggris), yaitu penyelidikan perdagangan cula badak di beberapa negara bagian yang diluncurkan oleh FWS pada 2011. Operation Crash yang masih aktif ini adalah salah satu penyelidikan paling sukses di badan itu. Per Juli 2016, Operation Crash telah menghasilkan vonis bersalah bagi 30 orang, 405 bulan hukuman penjara, dan benda sitaan senilai sekitar Rp987 miliar.

“Perang badak ini—mirip narkoba. Melibatkan banyak uang dan suap. Seluruh sistem peradilan benar-benar membuat frustrasi.”  Xolani Funda, kepala jagawana Kruger

Tidak seperti sebagian besar target Operation Crash yang berdagang cula tua atau antik, Groenewald bersaudara dituduh membunuh badak. Departemen Kehakiman AS mendakwa dua bersaudara itu melakukan 11 pemburuan badak yang ilegal di bawah hukum Afrika Selatan, tindakan yang melanggar U.S. Lacey Act, yang me­nyatakan bahwa pelanggaran hukum pelestarian AS maupun asing adalah tindakan pidana. Pada 4 April 2015 departemen itu menghubungi pihak berwenang Afrika Selatan, meminta ekstradisi kedua bersaudara itu.

Tetapi, Groenewald tampaknya juga berhasil mengulur kasus AS terhadap dirinya. “Mulanya kami memperoleh kerja sama yang baik dari Afrika Selatan,” kata Hubbard, mengenang komunikasi awal dengan jaksa Afrika Selatan untuk mempersiapkan ekstradisi. Lalu, katanya, entah kenapa komunikasi resmi antara pemerintah Afrika Selatan dan Departemen Kehakiman AS melambat. Salah satu penyebab kelambatan itu, Hubbard menduga, adalah gugatan hukum Krüger. (Dengan alasan “perkara belum tuntas di pengadilan,” Kewenangan Jaksa Nasional Afrika Selatan menolak permintaan wawancara National Geographic.)

“kerbau itu favorit saya”

Saya masuk ke truk pikap milik Groenewald, dan kami berkeliling di lahan pembiakannya.

Groenewald memelihara kerbau, impala, badak, antelop hitam, dan wildebeest, selain kuda Arab. Antelopnya dipasangi pipa pada ujung tanduknya yang besar dan meliuk anggun, untuk melindunginya sampai dipasarkan. Dia juga membiakkan hewan desainer—varian genetis yang diincar, seperti wildebeest emas, impala pelana, dan impala hitam—hewan yang membawa gen resesif yang menghasilkan warna yang tidak biasa. Praktik ini mengancam populasi liar, menurut African Professional Hunters Association, yang menganggap “perburuan varian warna” tidak etis.

Kerbau tergolong mamalia paling berbahaya di Afrika, tetapi Groenewald mengemudikan truk dengan mudah di tengah-tengah kerbau miliknya. “Kerbau ini favorit saya,” katanya dengan sayang. Dia menekan tombol dan gerbang pagar lain terbuka. Kami mendekati sekelompok kerbau jantan berukuran besar. “Yang ini bernilai sekitar enam juta rand”— Rp5,2 miliar. Seekor lagi bernilai Rp8,8 mililar. Bukannya menyeruduk, kerbau jantan besar itu malah berpencar seperti domba yang riang.

Fokus Groenewald pada nilai hewan ini mengingatkan saya pada kenyataan yang baru dapat saya pahami setelah waktu panjang: Bagi Groenewald dan banyak orang Afrika Selatan lain, kita bukan pemburu liar kalau membunuh hewan milik kita sendiri. “Semua orang tahu saya bukan pemburu liar,” kata Groenewald kepada saya. “Saya percaya, hewan seperti badak boleh saya miliki. Saya boleh melakukan apa saja yang saya mau padanya, seperti hewan lain—seperti kudu atau kerbau. Kalau saya membeli hewan, hewan itu milik saya. Kalau Anda ingin menembak badak, badak itu milik saya; tinggal di peternakan saya. Kalau saya ingin Anda menembaknya, Anda boleh menembaknya.”

Bagi Groenewald, kelegalan sesuatu ditentukan oleh satu pertanyaan: Kapan seekor badak menjadi milik saya?

raja badak

John Hume memiliki lebih banyak badak daripada siapa pun di dunia. Dia telah membiakkannya sejak 1995, dan jumlahnya kini 1.300 ekor. Angka sial, katanya kepada saya, di kantor peternakan badaknya di Klerksdorp, sekitar 150 kilometer di barat daya Johannesburg. Dia ingin menambah sekurangnya seekor lagi demi keberuntungan, dan dia melihat komputernya untuk memeriksa apakah sudah terjadi kelahiran lagi.

Saya mendengar kutipan perkataan Anda bahwa Anda rela membeli badak dari iblis demi menyelamatkan badak itu, kata saya kepadanya.

“Kalau melihat daftar badak saya, tampak bahwa kami punya banyak DG,” jawabnya. “Mungkin lebih dari seratus badak di sini berasal dari Dawie Groenewald. Saya tidak menyangkal hal itu. Saya tidak menyembunyikan apa-apa, dan banyak badak itu tentu sudah mati andai tidak saya beli.” (Hume tidak tersangkut dalam tuduhan pidana Groenewald.)

Hume memiliki sekitar seperlima badak swasta di Afrika Selatan. Salah satu hal yang menyebabkan badak itu istimewa, kata Hume, adalah badak begitu “ramah pengguna.” Setiap minggu stafnya membius 10-15 ekor badak, membantu hewan yang sempoyongan, memotong culanya, memberi suntikan pemulih, dan mengirim cula dengan dikawal pasukan bersenjata ke fasilitas yang aman. Setiap badaknya menghasilkan hingga dua kilogram cula per tahun, dan cula itu dipotong kira-kira setiap 20 bulan. Dia sudah bertahun-tahun melakukan ini dan memperkirakan telah mengumpulkan 4,5 ton cula. Dia berharap kelak dapat menjualnya secara legal seharga Rp131 juta per kilo: total sekitar Rp591 miliar.

Bagi Groenewald, kita bukan pemburu liar kalau membunuh hewan milik kita sendiri. “Saya boleh melakukan apa saja padanya.”

 Meskipun menjual cula badak itu ilegal, mendapat uang dari badak hidup itu legal, dan Hume sedang berupaya mengekspor badak hidup ke Vietnam. Pada musim gugur lalu dia bernegosiasi untuk menjual hingga 100 ekor badak ke perusahaan di Vietnam bernama Vinpearl, milik Pham Nhat Vuong, orang terkaya di Vietnam. Secara hukum, orang Afrika Selatan boleh mengekspor badak hidup dengan persetujuan pemerintah, tetapi tidak jelas kehidupan seperti apa yang akan dijalani badak itu nanti. Menurut manajer peternakan Hume, setiap badak liar perlu lahan hampir 400 hektare, tetapi Hume memiliki izin menangkap-membiakkan, jadi boleh memelihara satu badak per tiga hektare asalkan memberi makanan pelengkap. Taman safari milik Vinpearl, menjatah sepersekian luas itu untuk operasi pembiakan badak besar-besaran.

Pada 7 Desember 2015, perwakilan dari Vinpearl, yang ditemani duta besar Vietnam untuk Afrika Selatan, bertemu dengan pihak berwenang Afrika Selatan untuk mendorong persetujuan permohonan ekspor Hume. Dalam surat, Departemen Pengembangan Desa, Lingkungan, dan Pertanian untuk Provinsi Barat Laut Afrika Selatan menyatakan: “Vinpearl berniat mengimpor sekurangnya 100 ekor badak, yang akan dipelihara di lahan berpagar seluas 15 hektare. Vinpearl ingin memiliki jumlah badak terbesar di dunia di taman safari/kebun binatang, dan ingin membiakkan badak.” Pemerintah menolak permohonan Hume.

Tujuh bulan sebelumnya Hume berinisiatif mengupayakan pencabutan larangan dalam negeri 2009 terhadap perdagangan cula badak ketika dia bergabung dengan gugatan hukum Johan Krüger sebagai rekan penuntut, yang menurut klaim Groenewald dibiayai olehnya secara diam-diam. Hume menggunakan alasan teknis sederhana untuk menang di pengadilan: Menurutnya, pemerintah gagal memberi tahu publik secara memadai sebelum menerapkan larangan, karena tidak berkonsultasi dengan peternak badak terbesar di dunia—dirinya—sebelum memberlakukan moratorium.

Kasus Hume diperdengarkan pada 22 September 2015, Hari Badak Sedunia. Dia menang—kabar baik bagi Groenewald—dan putusannya diperkuat melalui dua banding. Pemerintah telah mengajukan banding terakhir, dan larangan masih berlaku sampai ada putusan.

Sementara itu, Groenewald maupun Hume bersiap-siap menjual cula badak. Groenewald memberi tahu saya bahwa tak lama setelah kemenangan di pengadilan tahun lalu, dia mengajak sekelompok orang Asia, delapan orang, untuk memeriksa simpanan cula badak Hume. “Seperti mengajak anak-anak berusia lima-enam tahun ke toko mainan Toys “R” Us,” kata Groenewald.

Namun, pencabutan larangan dalam negeri baru setengah jalan dalam pertempuran para bos badak. Karena praktis tidak ada pasar cula badak di Afrika Selatan, mereka perlu larangan internasional juga dicabut. Dan kemungkinannya kecil karena Vietnam maupun Tiongkok tidak pernah menunjukkan minat secara formal untuk melegalkan perdagangan cula badak. Pengacara Hume, Izak du Toit, memberi tahu saya bahwa dalam keadaan ekstrem, orang yang patuh hukum mungkin merasa tak punya pilihan selain melanggar hukum sebagai tindakan pembangkangan sipil.

“Peduli amat cula itu akan diapakan?” kata Groenewald. “Kalau mereka ingin membawanya ke luar negeri secara ilegal, itu masalah mereka.”

Hume tidak terganggu bahwa cula badak itu dianggap obat mujarab untuk penyakit yang parah. “Saya tidak malu bahwa cula badak yang saya sediakan bagi dunia mungkin dimakan pengidap kanker yang kemudian tetap saja meninggal. Cula tidak akan membantu mereka. Saya menderita radang sendi. Saya minum setidaknya enam obat. Dan saya lihat, tidak ada yang efektif.”

Hal yang efektif sejauh ini, bagi Dawie Groenewald, adalah sistem hukum Afrika Selatan. Dalam hal cula badak, dia berharap sistem ini bertambah efektif lagi sedikit saja. “Kalau ini dilegalkan, saya akan menjadi penjual utamanya.”