“Perang badak ini—mirip narkoba. Melibatkan banyak uang dan suap. Seluruh sistem peradilan benar-benar membuat frustrasi.” Xolani Funda, kepala jagawana Kruger
Tidak seperti sebagian besar target Operation Crash yang berdagang cula tua atau antik, Groenewald bersaudara dituduh membunuh badak. Departemen Kehakiman AS mendakwa dua bersaudara itu melakukan 11 pemburuan badak yang ilegal di bawah hukum Afrika Selatan, tindakan yang melanggar U.S. Lacey Act, yang menyatakan bahwa pelanggaran hukum pelestarian AS maupun asing adalah tindakan pidana. Pada 4 April 2015 departemen itu menghubungi pihak berwenang Afrika Selatan, meminta ekstradisi kedua bersaudara itu.
Tetapi, Groenewald tampaknya juga berhasil mengulur kasus AS terhadap dirinya. “Mulanya kami memperoleh kerja sama yang baik dari Afrika Selatan,” kata Hubbard, mengenang komunikasi awal dengan jaksa Afrika Selatan untuk mempersiapkan ekstradisi. Lalu, katanya, entah kenapa komunikasi resmi antara pemerintah Afrika Selatan dan Departemen Kehakiman AS melambat. Salah satu penyebab kelambatan itu, Hubbard menduga, adalah gugatan hukum Krüger. (Dengan alasan “perkara belum tuntas di pengadilan,” Kewenangan Jaksa Nasional Afrika Selatan menolak permintaan wawancara National Geographic.)
“kerbau itu favorit saya”
Saya masuk ke truk pikap milik Groenewald, dan kami berkeliling di lahan pembiakannya.
Groenewald memelihara kerbau, impala, badak, antelop hitam, dan wildebeest, selain kuda Arab. Antelopnya dipasangi pipa pada ujung tanduknya yang besar dan meliuk anggun, untuk melindunginya sampai dipasarkan. Dia juga membiakkan hewan desainer—varian genetis yang diincar, seperti wildebeest emas, impala pelana, dan impala hitam—hewan yang membawa gen resesif yang menghasilkan warna yang tidak biasa. Praktik ini mengancam populasi liar, menurut African Professional Hunters Association, yang menganggap “perburuan varian warna” tidak etis.
Kerbau tergolong mamalia paling berbahaya di Afrika, tetapi Groenewald mengemudikan truk dengan mudah di tengah-tengah kerbau miliknya. “Kerbau ini favorit saya,” katanya dengan sayang. Dia menekan tombol dan gerbang pagar lain terbuka. Kami mendekati sekelompok kerbau jantan berukuran besar. “Yang ini bernilai sekitar enam juta rand”— Rp5,2 miliar. Seekor lagi bernilai Rp8,8 mililar. Bukannya menyeruduk, kerbau jantan besar itu malah berpencar seperti domba yang riang.
Fokus Groenewald pada nilai hewan ini mengingatkan saya pada kenyataan yang baru dapat saya pahami setelah waktu panjang: Bagi Groenewald dan banyak orang Afrika Selatan lain, kita bukan pemburu liar kalau membunuh hewan milik kita sendiri. “Semua orang tahu saya bukan pemburu liar,” kata Groenewald kepada saya. “Saya percaya, hewan seperti badak boleh saya miliki. Saya boleh melakukan apa saja yang saya mau padanya, seperti hewan lain—seperti kudu atau kerbau. Kalau saya membeli hewan, hewan itu milik saya. Kalau Anda ingin menembak badak, badak itu milik saya; tinggal di peternakan saya. Kalau saya ingin Anda menembaknya, Anda boleh menembaknya.”
Bagi Groenewald, kelegalan sesuatu ditentukan oleh satu pertanyaan: Kapan seekor badak menjadi milik saya?
raja badak
John Hume memiliki lebih banyak badak daripada siapa pun di dunia. Dia telah membiakkannya sejak 1995, dan jumlahnya kini 1.300 ekor. Angka sial, katanya kepada saya, di kantor peternakan badaknya di Klerksdorp, sekitar 150 kilometer di barat daya Johannesburg. Dia ingin menambah sekurangnya seekor lagi demi keberuntungan, dan dia melihat komputernya untuk memeriksa apakah sudah terjadi kelahiran lagi.
Saya mendengar kutipan perkataan Anda bahwa Anda rela membeli badak dari iblis demi menyelamatkan badak itu, kata saya kepadanya.
“Kalau melihat daftar badak saya, tampak bahwa kami punya banyak DG,” jawabnya. “Mungkin lebih dari seratus badak di sini berasal dari Dawie Groenewald. Saya tidak menyangkal hal itu. Saya tidak menyembunyikan apa-apa, dan banyak badak itu tentu sudah mati andai tidak saya beli.” (Hume tidak tersangkut dalam tuduhan pidana Groenewald.)
Hume memiliki sekitar seperlima badak swasta di Afrika Selatan. Salah satu hal yang menyebabkan badak itu istimewa, kata Hume, adalah badak begitu “ramah pengguna.” Setiap minggu stafnya membius 10-15 ekor badak, membantu hewan yang sempoyongan, memotong culanya, memberi suntikan pemulih, dan mengirim cula dengan dikawal pasukan bersenjata ke fasilitas yang aman. Setiap badaknya menghasilkan hingga dua kilogram cula per tahun, dan cula itu dipotong kira-kira setiap 20 bulan. Dia sudah bertahun-tahun melakukan ini dan memperkirakan telah mengumpulkan 4,5 ton cula. Dia berharap kelak dapat menjualnya secara legal seharga Rp131 juta per kilo: total sekitar Rp591 miliar.
Bagi Groenewald, kita bukan pemburu liar kalau membunuh hewan milik kita sendiri. “Saya boleh melakukan apa saja padanya.”
Meskipun menjual cula badak itu ilegal, mendapat uang dari badak hidup itu legal, dan Hume sedang berupaya mengekspor badak hidup ke Vietnam. Pada musim gugur lalu dia bernegosiasi untuk menjual hingga 100 ekor badak ke perusahaan di Vietnam bernama Vinpearl, milik Pham Nhat Vuong, orang terkaya di Vietnam. Secara hukum, orang Afrika Selatan boleh mengekspor badak hidup dengan persetujuan pemerintah, tetapi tidak jelas kehidupan seperti apa yang akan dijalani badak itu nanti. Menurut manajer peternakan Hume, setiap badak liar perlu lahan hampir 400 hektare, tetapi Hume memiliki izin menangkap-membiakkan, jadi boleh memelihara satu badak per tiga hektare asalkan memberi makanan pelengkap. Taman safari milik Vinpearl, menjatah sepersekian luas itu untuk operasi pembiakan badak besar-besaran.
Pada 7 Desember 2015, perwakilan dari Vinpearl, yang ditemani duta besar Vietnam untuk Afrika Selatan, bertemu dengan pihak berwenang Afrika Selatan untuk mendorong persetujuan permohonan ekspor Hume. Dalam surat, Departemen Pengembangan Desa, Lingkungan, dan Pertanian untuk Provinsi Barat Laut Afrika Selatan menyatakan: “Vinpearl berniat mengimpor sekurangnya 100 ekor badak, yang akan dipelihara di lahan berpagar seluas 15 hektare. Vinpearl ingin memiliki jumlah badak terbesar di dunia di taman safari/kebun binatang, dan ingin membiakkan badak.” Pemerintah menolak permohonan Hume.
Tujuh bulan sebelumnya Hume berinisiatif mengupayakan pencabutan larangan dalam negeri 2009 terhadap perdagangan cula badak ketika dia bergabung dengan gugatan hukum Johan Krüger sebagai rekan penuntut, yang menurut klaim Groenewald dibiayai olehnya secara diam-diam. Hume menggunakan alasan teknis sederhana untuk menang di pengadilan: Menurutnya, pemerintah gagal memberi tahu publik secara memadai sebelum menerapkan larangan, karena tidak berkonsultasi dengan peternak badak terbesar di dunia—dirinya—sebelum memberlakukan moratorium.
Kasus Hume diperdengarkan pada 22 September 2015, Hari Badak Sedunia. Dia menang—kabar baik bagi Groenewald—dan putusannya diperkuat melalui dua banding. Pemerintah telah mengajukan banding terakhir, dan larangan masih berlaku sampai ada putusan.
Sementara itu, Groenewald maupun Hume bersiap-siap menjual cula badak. Groenewald memberi tahu saya bahwa tak lama setelah kemenangan di pengadilan tahun lalu, dia mengajak sekelompok orang Asia, delapan orang, untuk memeriksa simpanan cula badak Hume. “Seperti mengajak anak-anak berusia lima-enam tahun ke toko mainan Toys “R” Us,” kata Groenewald.
Namun, pencabutan larangan dalam negeri baru setengah jalan dalam pertempuran para bos badak. Karena praktis tidak ada pasar cula badak di Afrika Selatan, mereka perlu larangan internasional juga dicabut. Dan kemungkinannya kecil karena Vietnam maupun Tiongkok tidak pernah menunjukkan minat secara formal untuk melegalkan perdagangan cula badak. Pengacara Hume, Izak du Toit, memberi tahu saya bahwa dalam keadaan ekstrem, orang yang patuh hukum mungkin merasa tak punya pilihan selain melanggar hukum sebagai tindakan pembangkangan sipil.
“Peduli amat cula itu akan diapakan?” kata Groenewald. “Kalau mereka ingin membawanya ke luar negeri secara ilegal, itu masalah mereka.”
Hume tidak terganggu bahwa cula badak itu dianggap obat mujarab untuk penyakit yang parah. “Saya tidak malu bahwa cula badak yang saya sediakan bagi dunia mungkin dimakan pengidap kanker yang kemudian tetap saja meninggal. Cula tidak akan membantu mereka. Saya menderita radang sendi. Saya minum setidaknya enam obat. Dan saya lihat, tidak ada yang efektif.”
Hal yang efektif sejauh ini, bagi Dawie Groenewald, adalah sistem hukum Afrika Selatan. Dalam hal cula badak, dia berharap sistem ini bertambah efektif lagi sedikit saja. “Kalau ini dilegalkan, saya akan menjadi penjual utamanya.”