Kekuatan Keyakinan

By , Senin, 19 Desember 2016 | 15:00 WIB

Peziarah itu tak yakin dia bisa sampai ke Gnadenkapelle. Berjalan saja sakit rasanya, apalagi menempuh 110 kilometer untuk memandang patung Madona Hitam di Altötting.

Belum lama ini tumit Richard Mödl patah, tetapi pada 2003 dia bertekad menunaikan ziarah pertamanya dari Regensburg ke Altötting, Jerman. Pikirnya, kalau nanti rasa sakitnya terlalu parah, dia bisa mencari tumpangan. Namun, dia sangat meyakini kemampuan Perawan Maria untuk menyembuhkannya. Jadi dia berjalan. Dan berjalan. “Saat Anda dalam perjalanan ke Altötting, Anda hampir tidak merasakan sakitnya,” katanya.

Sekarang Mödl berumur 74 tahun. Dia sudah dua belas kali lagi berziarah ke sana, dan dia sangat meyakini khasiatnya.

Bukan hanya Mödl yang memiliki keyakinan seperti ini. Baik itu berbentuk sentuhan Roh Kudus di acara peneguhan iman di Florida atau berendam di air Sungai Gangga, khasiat keyakinan ada di sekeliling kita. Penelitian menyiratkan bahwa ibadah teratur dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh, menurunkan tekanan darah, memperpanjang umur beberapa tahun.

Bukan hanya keyakinan agama yang mampu memberi kesembuhan tanpa dapat dijelaskan. Sepuluh ribu kilometer dari Altötting, lelaki lain tampaknya mengalami keajaiban medis.

Mike Pauletich pertama kali menyadari masalah itu pada 2004. Lemparan bola bisbolnya meleset, dan lengannya sakit. Tangannya gemetar sedikit, dan, yang paling aneh, istrinya memperhatikan, dia tidak pernah tersenyum lagi.

Pada usia 42 tahun, Pauletich mengalami permulaan penyakit Parkinson. Menurut dokter, sepuluh tahun lagi dia tidak akan bisa berjalan, berdiri, atau makan sendiri.

Kondisi Pauletich tidak memburuk separah yang diramalkan dokternya, tetapi bertahun-tahun dia bergulat dengan penyakit itu dan dengan depresi, sementara berbicara dan menulis makin lama makin sulit. Lalu, pada 2011 dia menumpukan harap pada Ceregene, perusahaan yang sedang menguji terapi gen baru. Perawatan eksperimental Ceregene adalah membuat dua lubang, satu di setiap belahan otak, yang menembus tengkorak pasien, dan menyuntikkan obat itu langsung ke daerah target.

Perbaikan kondisi Pauletich setelah pembedahan itu mengagumkan. Sebelum percobaan itu, dia kesulitan bergerak. Dia harus selalu menjelaskan kepada klien di perusahaannya di bidang pengembangan teknologi, bahwa cara bicaranya yang tidak jelas itu bukan akibat minum miras. Setelah prosedur itu, gemetarnya menghilang, mobilitasnya membaik, dan bicaranya jauh lebih jelas. Dokternya dalam kajian itu, Kathleen Poston, terheran-heran. Secara teknis, penyakit Parkinson pada manusia belum pernah sembuh. Paling-paling berharap agar perkembangan penyakit itu melambat, dan itu pun sangat langka.

Pada April 2013, Ceregene mengumumkan hasil percobaan itu. Pasien yang dirawat dengan obat itu tidak mengalami perbaikan kondisi yang lebih signifikan daripada pasien dalam grup kontrol yang mendapat perawatan plasebo—berupa pembedahan pura-pura, yaitu dokter mengebor “lekuk” pada tengkorak pasien agar terasa seperti dioperasi.

Poston terpukul. Tetapi, lalu dia melihat data dan memerhatikan sesuatu yang membuatnya terperangah. Mike Pauletich tidak pernah dibedah sungguhan. Dia mendapatkan plasebo.

Boleh dibilang, baik Pauletich maupun Mödl berpartisipasi dalam suatu pertunjukan. Dan sebagaimana pertunjukan bagus di teater dapat melibatkan kita sampai kita merasa seperti menonton sesuatu yang nyata, teater penyembuhan dirancang untuk melibatkan kita dengan cara menciptakan harapan yang kuat di otak kita. Harapan ini menimbulkan hal yang disebut efek plasebo, yang juga dapat memengaruhi apa yang terjadi di tubuh kita. Para ilmuwan sudah tahu tentang efek plasebo selama berpuluh-puluh tahun dan telah menggunakannya sebagai kontrol dalam uji coba obat. Kini, mereka menggunakan plasebo untuk meneliti mekanisme zat kimia saraf yang menghubungkan pikiran dengan tubuh, keyakinan dengan pengalaman.

Bagaimana keyakinan bisa menjadi begitu ampuh sehingga dapat menyembuhkan? Kembali ke teater: bagian penting dalam pertunjukan yang menggugah adalah latar dan kostum. Saat Pauletich mengalami penurunan gejala penyakitnya, juga karena seluruh adegan yang dialaminya: dokter berjas putih berkalung stetoskop; perawat, pemeriksaan, tes, bahkan musik membosankan di ruang tunggu rumah sakit. Dokter kadang menyebut pernak-pernik di sekitar rumah sakit ini sebagai teater kedokteran.

Penataan pentas ini meluas ke berbagai aspek pengobatan dan dapat berpengaruh pada tingkat bawah sadar. Plasebo mahal lebih manjur daripada yang murah. Plasebo dalam kemasan bermerek lebih manjur daripada yang berlabel generik. Tetapi, pembedahan palsu tampaknya adalah yang paling manjur.

Hal yang paling mengherankan, kadang plasebo tetap manjur sekalipun orang yang menerimanya tahu itu plasebo. Ini disampaikan dalam makalah 2010 yang kini dianggap klasik, yang diterbitkan oleh Ted Kaptchuk, peneliti di Harvard Medical School, dan timnya. Setelah 21 hari makan plasebo, para penderita sindrom usus rengsa merasa jauh lebih baik dibandingkan orang yang tidak makan apa-apa, meskipun mereka yang melaporkan perbaikan kondisi itu sudah diberi tahu sebelumnya (dan diingatkan setelahnya) bahwa mereka mendapat plasebo.

Eksperimen ini menunjukkan bahwa hubungan antara pasien-dokter yang suportif itu penting dalam menciptakan keyakinan bahwa pasien akan sembuh. Pasien diajari tentang khasiat plasebo dan sikap positif. Mereka diberi tahu bahwa uji klinis ketat menunjukkan bahwa pil plasebo dapat mendorong proses penyembuhan-diri yang berarti.

Saat plasebo konvensional diperkuat oleh tekanan sejawat, ada jaringan kegiatan otak terpisah yang aktif.

Karin Jensen, mantan kolega Kaptchuk yang kini memimpin lab sendiri di Karolinska Institutet di Stockholm, Swedia, merancang eksperimen untuk mengetahui apakah petunjuk bawah-sadar bisa digunakan untuk mengondisikan subjek agar mengalami efek plasebo.

Dalam fase pengondisian pada eksperimen, subjek melihat dua wajah silih berganti di layar. Setengah subjek mendapat isyarat bawah-sadar: Kedua wajah muncul sepersekian detik—tak cukup lama untuk secara sadar membedakannya. Untuk subjek lain, wajah muncul cukup lama sehingga bisa dikenali secara sadar.

Dalam fase pertama ini, stimulus panas diberikan pada lengan subjek bersama gambar wajah: panas tinggi bersama wajah pertama, panas rendah bersama wajah kedua. Dalam fase uji setelahnya, semua subjek, termasuk yang hanya melihat gambar bawah-sadar secara sekilas, melaporkan bahwa mereka merasa lebih sakit saat melihat wajah pertama, meskipun sekarang stimulus panasnya sedang dan sama untuk kedua wajah. Jadi, subjek telah membentuk kaitan tak sadar, antara rasa sakit yang lebih tinggi dan wajah pertama.

Eksperimen ini menunjukkan bahwa respons plasebo dapat dikondisikan secara bawah-sadar. Jensen mengingatkan bahwa semua detail kecil saat kita memasuki rumah sakit—yang kebanyakan dialami secara tak sadar—memicu respons dalam tubuh kita dengan cara serupa. “Sebagian penyembuhan terjadi di luar sadar—sesuatu yang terjadi secara naluriah,” katanya.

selain rumah sakit, terdapat banyak tempat yang mementaskan teater keyakinan. Ada ratusan perawatan kesehatan alternatif yang memanfaatkan harapan kita—antara lain homeopati, akupunktur, pengobatan tradisional Tionghoa, terapi urine, tablet kotoran sapi, perawatan muka dengan darah manusia, infus vitamin, penyembuhan dengan suara—semua dengan tingkat kemanjuran nyata, yang beragam.

“Keyakinan itu alami. Sebagian karena benak kita sudah terprogram demikian,” kata Tanya Luhrmann, ahli antropologi di Stanford University yang membaktikan sebagian besar kehidupan profesionalnya untuk memahami interaksi manusia dengan Tuhan.

Menurutnya, penyembuhan berbasis keyakinan tidak hanya memerlukan cerita yang bagus, tetapi juga upaya dari pendengar yang aktif—yang mampu mewujudkan bayangan pikiran hingga terasa nyata. Saat cerita dan imajinasi selaras, hasilnya kadang mencengangkan. “Manusia memiliki kemampuan untuk mengubah pengalamannya,” katanya. “Ini keterampilan, dan dapat dipelajari.”

Saya pernah mendengar tentang penyembuhan berbasis keyakinan oleh brujo, atau dukun, di Catemaco, di negara bagian Veracruz di pantai timur Meksiko. Mereka penyembuh yang sangat mengutamakan sisi pertunjukan, memadukan tradisi perdukunan dengan agama Katolik Roma, seperti yang dilakukan umat Kristen seribu tahun yang lalu. Saya pernah mendengar cerita tentang api unggun raksasa berbentuk pentagram dan orang gila yang menari dan meludahi orang sebagai pemberkatan. Jelas layak dikunjungi.

Tetapi, ketika saya tiba di Catemaco dan mendatangi kantor seorang brujo modern, saya tidak menemukan api unggun atau dukun melolong. Jauh berbeda dengan gua gelap penuh kelelawar yang saya bayangkan, area tunggunya ternyata berupa ruang duduk kecil yang rapi dan berbau disinfektan. Jimat plastik dan kristal kaca berderet di rak. Sekitar sepuluh orang duduk di kursi, membaca majalah atau menonton sepak bola di TV. Dibandingkan dengan dukun lain, brujo yang menyapa saya lebih mirip dokter daripada dukun. Pakaiannya putih-putih, kumisnya rapi, dan rambut pendeknya ditata dengan gel. Setengah kantornya terpakai untuk altar yang penuh salib, patung santa-santo, bunga, dan ratusan lampu warna berkelap-kelip.

Saya datang untuk meminta limpia sederhana—pembersihan roh. Brujo itu mengambil sebutir telur, beberapa tangkai selasih, dan dua botol semprot plastik yang berisi cairan yang katanya penolak dengki, perlindungan terhadap energi-jahat, dan cairan yang menciptakan kekayaan. Segala sesuatunya rapi dan bersih. Setelah wawancara singkat, dia mulai menangani roh saya, menyemprot saya banyak-banyak dengan minyak berbau tajam dan menggosokkan telur pada tubuh saya sebelum memecahkannya dan memasukkan isinya ke segelas air untuk diperiksa.

Saya mengenal prosedur ini—umum di kalangan brujo di Meksiko. Hal yang mengherankan adalah tidak adanya kemeriahan atau mantra. Lebih bersifat klinis daripada seremonial. Brujo itu menanyakan lutut dan pinggang saya (dua-duanya sehat) dan menyampaikan bahwa telur itu menunjukkan saya mungkin akan kesakitan di masa depan. Seperti radiolog yang menjelaskan gambar di foto rontgen, dia menunjukkan beberapa gelembung di sekeliling putih telur di dalam gelas: pertanda bahwa seseorang yang dekat dengan saya merasa dengki dan ingin saya tertimpa musibah. Lalu dia menawarkan, dengan bayaran tambahan, untuk melindungi saya dari petaka di masa mendatang. Saya menolak; kami berjabat tangan. Saya pergi dengan perasaan antiklimaks, seolah-olah ada bagian yang hilang. Mana teaternya?

Setelah saya kembali ke jalan, barulah saya mulai paham. Dua puluh tahun lalu masih ada dukun “tulen” yang meludah dan menari di Catemaco (dan mereka masih muncul untuk wisatawan dan festival). Tetapi, harapan pasien senantiasa berubah. Selama generasi terakhir, pengobatan konvensional sudah menjadi lazim di Catemaco. Meludah dan melambaikan bulu ayam dulu menumbuhkan rasa percaya, tetapi sebagian besar brujo masa kini sudah menyesuaikan diri dengan zaman, memadukan jas lab putih dan semprotan antiseptik dengan mistisisme agar sesuai dengan harapan pasien modern: teater kedokteran. Brujo saya melakukan kontak mata dan tersenyum hangat, seperti dokter medis yang terampil dan peduli.

Dan harus saya akui, saya memang merasa lebih baik.

jadi, bagaimana sebenarnya cara kerja teater kedokteran? Bagaimana keyakinan dapat benar-benar menyembuhkan?

Satu bagian teka-teki ini melibatkan pengondisian, seperti yang ditunjukkan Jensen. Ingat anjing Pavlov, yang meneteskan air liur setiap kali mendengar lonceng. Ini terjadi karena Pavlov mengondisikan hewan itu untuk mengaitkan makanan dan bunyi lonceng.

Dalam efek plasebo, tubuh terkondisikan untuk merespons nyeri dengan memproduksi zat kimia otak—endorfin, atau pereda rasa sakit yang mirip opium—yang diproduksi dalam tubuh. Pada 1970-an, dua ilmuwan saraf San Francisco, yang tertarik pada cara opioid internal itu mengontrol nyeri, menemukan hal penting dalam eksperimen dengan pasien yang baru saja dicabut gigi bungsunya.

Kedua peneliti ini mula-mula membandingkan respons kelompok plasebo dengan respons kelompok lain yang mendapat naloksona, obat yang meredam efek nyaman dari opioid. Tidak ada subjek yang diberi ataupun mengharapkan diberi obat pereda nyeri—dan semuanya merasa kesakitan. Lalu, kedua ilmuwan itu merombak desain percobaan, yaitu memberi tahu pasien bahwa sebagian akan mendapat morfin, sebagian plasebo, dan sebagian naloksona. Tidak ada yang tahu siapa mendapat apa, termasuk para peneliti. Kali ini sebagian pasien merasa lebih baik, meskipun tidak mendapat morfin. Harapan mereka memicu produksi endorfin dalam tubuh, dan endorfin itu mengurangi rasa sakit. Tetapi, begitu diberi naloksona, mereka kesakitan lagi. Obat itu meredam khasiat endorfin yang telah diproduksi akibat respons plasebo.

“Jika tidak ada harapan pengurangan rasa nyeri, tidak akan ada efek plasebo,” kata Howard Fields, profesor emeritus di University of California, San Francisco dan salah satu penulis kajian itu.

Sejak eksperimen itu, pengondisian telah digunakan untuk mempelajari pengaruh keyakinan pada produksi obat lain yang dibuat oleh tubuh, termasuk serotonin, dopamin, dan beberapa kanabinoid, yang cara kerjanya mirip dengan bahan psikoaktif dalam ganja. Tetapi, baru pada awal 2000-an para ilmuwan dapat melihat visualisasi berbagai efek ini di otak. Tor Wager, yang waktu itu mahasiswa doktoral di University of Michigan, memasukkan subjek ke dalam pemindai otak. Dia mengoleskan krim di kedua pergelangan tangan setiap subjek, lalu memasang elektrode yang dapat memberi sengatan listrik atau panas yang menyakitkan. Dia memberi tahu para subjek bahwa salah satu krim itu dapat meringankan nyeri, padahal krimnya sama dan tidak berkhasiat meredakan rasa sakit. Setelah beberapa ronde pengondisian, para subjek mulai merasa bahwa nyerinya berkurang di pergelangan tangan yang diolesi krim “pereda nyeri”. Pada percobaan terakhir, sengatan listrik yang kuat terasa seperti cubitan ringan saja. Khas respons plasebo yang dikondisikan.

Yang terjadi bukanlah bahwa kita membayangkan kita tidak kesakitan. Sebenarnya kita mengobati diri sendiri, secara harfiah.

Bagian paling menarik adalah yang ditunjukkan pindai otak. Rasa nyeri yang normal dimulai di tempat cedera, lalu merambat dalam sekejap melalui tulang punggung ke jaringan area otak yang mengenali hal itu sebagai nyeri. Respons plasebo merambat ke arah sebaliknya, dimulai di otak. Harapan kesembuhan di korteks prefrontal mengirim sinyal ke bagian otak lain, yang memproduksi opioid dan melepaskannya ke sumsum tulang belakang. Hal yang terjadi bukanlah bahwa kita membayangkan kita tidak kesakitan. Sebenarnya kita mengobati diri sendiri, secara harfiah, dengan mengharapkan kesembuhan yang dikira akan didapatkan.

“Keyakinan dan pengalaman harus klop,” kata Wager, yang kini profesor di University of Colorado Boulder dan direktur lab ilmu saraf di sana. “Dan itulah resepnya.”

Resep yang memadukan keyakinan dan pengalaman tersebut sudah mulai digunakan di luar lab dan dalam praktik klinis. Christopher Spevak adalah dokter yang menangani nyeri dan kecanduan di Walter Reed National Military Medical Center di Bethesda, Maryland. Setiap hari dia memeriksa anggota militer aktif dan veteran yang cedera parah, kadang hanya beberapa hari atau minggu setelah meninggalkan medan perang. Ini memberinya peluang untuk menggunakan harapan dan pengondisian, yang memicu produksi opioid internal yang dapat melenyapkan, atau setidaknya meringankan, nyeri jangka panjang.

Saat Spevak bertemu pasien pertama kali, dia tidak menanyakan cedera atau riwayat medis—dia bisa membaca semua itu dalam berkas. Dia meminta pasiennya bercerita tentang kehidupannya. Pasiennya mungkin bercerita bahwa semasa kecil dia memiliki pohon kayu putih favorit di luar rumahnya atau menyukai permen pedas. Lalu, jika Spevak meresepkan pereda nyeri opioid, setiap kali pasien itu minum obat itu, dia juga disuruh mengendus minyak kayu putih atau makan permen pedas—stimulus yang diketahui Spevak akan bermanfaat. Seiring waktu, sama seperti eksperimen kilasan wajah Jensen atau krim kulit Wager (atau tentu saja, lonceng Pavlov), pasien mulai mengaitkan pengalaman indriawi ini dengan obatnya. Setelah beberapa lama, Spevak mengurangi obat dan hanya memberikan bunyi atau bau. Otak pasien dapat memperoleh obat yang diperlukannya dari apotek internal.

“Ada orang-orang yang diamputasi tiga atau empat anggota tubuhnya, tetapi tidak memerlukan opioid,” kata Spevak tentang pasien veteran Irak dan Afganistan. “Namun, ada veteran Vietnam tua yang sudah tiga puluh tahun harus menggunakan morfin dosis tinggi untuk mengatasi nyeri pinggang.”

dua tahun silam, Leonie Koban, anggota lab Tor Wager, memimpin kajian plasebo baru. Para ilmuwan sangat menyadari peran pengondisian dan teater dalam memanfaatkan harapan. Mereka ingin menguji pengaruh unsur ketiga terhadap pengalaman nyeri: sesama orang yang yakin.

Seperti dalam banyak uji sebelumnya tentang efek plasebo, para peneliti memberi rasa terbakar pada lengan subjek dan meminta subjek menilai tingkat kekuatannya. Tetapi, kali ini mereka menyertakan variabel tambahan. Para relawan melihat layar yang menampilkan nilai yang diberikan peserta sebelumnya tentang nyeri yang dialami. Untuk stimulus yang sama, subjek melaporkan merasakan tingkat nyeri yang lebih tinggi atau lebih rendah, sesuai dengan nilai peserta sebelumnya yang mereka lihat.

Hasil ini tidak mengejutkan. Pada 1950-an serangkaian uji yang disebut eksperimen Asch menunjukkan bahwa subjek sering memberi jawaban yang mereka tahu keliru agar sama dengan anggota kelompok yang lain. Yang mengejutkan Koban dan Wager adalah betapa kuatnya pengaruh sosial itu: Efeknya lebih besar daripada yang diperkirakan setelah pengondisian. Uji respons hantaran listrik kulit pada subjek—perubahan tak sadar dalam cara tubuh menghantarkan listrik, yang sering digunakan dalam uji kebohongan—menunjukkan bahwa mereka bukan hanya melaporkan apa yang mereka kira ingin didengar peneliti; nyeri yang mereka rasakan memang lebih rendah. Kajian dengan mesin fMRI menunjukkan, ketika plasebo konvensional diperkuat oleh tekanan sejawat, ada jaringan aktivitas otak terpisah tapi melengkapi yang aktif. Koban bahkan sampai mengatakan bahwa informasi sosial mungkin lebih ampuh dalam mengubah pengalaman nyeri daripada isyarat pengondisian atau isyarat bawah sadar.

“Informasi yang diperoleh dari hubungan sosial memberi pengaruh sangat besar, [tidak hanya] pada pengalaman emosional, tetapi juga pada hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan seperti nyeri dan kesembuhan,” kata Koban. “Dan kita baru pada tahap awal dalam memahami pengaruh ini dan cara memanfaatkannya.”

Dampak kelompok sosial dapat turut menjelaskan mengapa agama mungkin, dalam makna sangat harfiah, adalah “opium masyarakat” seperti yang disebut Karl Marx: Agama dapat memperkuat efek keyakinan dan harapan kita, terutama saat kita dikelilingi oleh orang-orang yang meyakini hal yang sama.

kekuatan keyakinan kelompok ini paling kentara dalam ziarah keagamaan—baik itu perjalanan tahunan umat Katolik ke Lourdes, di Prancis, perjalanan haji tahunan umat Islam ke Makkah, di Arab Saudi, atau, yang terbesar, Maha Kumbh Mela, yang terjadi setiap 12 tahun. Kumbh Mela terakhir, pada Februari 2013, dihadiri sekitar 70 juta orang Hindu di kota Allahabad di India.

Pada pagi Bavarian yang dingin pada Mei 2016, saya bertemu dengan peziarah Richard Mödl dalam perjalanan ke Altötting. Penyembuhan tercatat pertama di sana adalah pada 1489, ketika seorang anak tenggelam konon dihidupkan kembali dengan mukjizat. Kini Madona Hitam di Altötting didatangi oleh sekitar sejuta pengunjung per tahun.

Kelompok yang saya ikuti sudah berjalan kaki sejak pukul tiga subuh. Setelah berhenti sejenak untuk sarapan, semua orang mengobrol riang, menunggu aba-aba untuk mulai berjalan lagi di tengah hujan. Tadinya saya merasa gugup soal perjalanan ini karena saya baru menjalani bedah pergelangan kaki tiga bulan sebelumnya. Tetapi, dalam keramaian orang beriman yang gembira itu, nyeri saya memudar.

“Semua orang datang ke sini dengan alasan masing-masing, tetapi mereka semua juga datang untuk saling mendukung,” kata Marcus Brunner, pendeta ceria dan veteran 27 tahun dalam perjalanan ini. “Kelompok ini menolong kita, dan kita menolong kelompok ini bersama-sama.”

Saat kami tiba di Gnadenkapelle, kami melihat bagian luar dan dalamnya penuh ex-voto—gambar-gambar tentang mukjizat selama ratusan tahun, yang menampilkan macam-macam penyakit. Banyak kruk dan tongkat tersandar di tembok, peninggalan berabad-abad dari anggota paroki dan peziarah yang disembuhkan oleh Madona Hitam. Harapan kesembuhan itu tak kunjung surut.

“Ada cara berpikir yang berbeda di sini,” kata Thomas Zauner, ahli psikoterapi dan diakon yang pindah ke Altötting untuk mencari komunitas pendukung untuk anaknya yang perkembangannya terhambat. “Doa di sini sepertinya terkabul.”