Merenungkan Gender

By , Selasa, 10 Januari 2017 | 20:12 WIB

Sejak usia dini, E tak suka memakai rok, senang bermain basket, papan luncur, dan gim video. Saat kami bertemu pada Mei di Kota New York, di pertunjukan akhir tahun untuk tim pidato SMP-nya, E mengenakan jas dan dasi kupu-kupu.

Malam itu E mencari label yang tepat untuk identitas gendernya. “Transgender” tidak terlalu cocok, katanya kepada saya. Pertama-tama, dia masih menggunakan nama lahirnya dan masih lebih suka disebut dengan kata ganti perempuan, “she.” Sementara anak-anak trans lain sering mengatakan bahwa sejak semula mereka sudah tahu bahwa mereka dilahirkan dalam tubuh yang “salah”, E berkata, “Saya merasa hanya perlu melakukan beberapa perubahan saja pada tubuh ini, agar terasa seperti tubuh yang saya inginkan.” Yang dimaksudnya adalah tubuh yang tidak haid dan tidak berpayudara, dengan lekuk wajah lebih tegas dan “jenggot merah.” Apakah itu berarti E lelaki trans? Perempuan yang, seperti kata E, “sangat androginus”? Atau cukup seseorang yang menolak simbol-simbol peran gender tradisional?

E mempertanyakan identitas gendernya, bukan menerima begitu saja bahwa hobi dan pilihan pakaiannya adalah sifat tomboi. Perbincangan seperti ini menghasilkan perhitungan jumlah orang Amerika transgender yang lebih akurat. Jumlah orang dewasa yang resmi dihitung sebagai transgender dalam survei nasional, menjadi dua kali lipat hanya dalam sepuluh tahun: Peningkatan jumlah orang yang gender nonconforming, yang bahkan tak memiliki nama satu generasi silam; pertambahan jumlah anak usia SD yang mempertanyakan gender dirinya; dan peningkatan kesadaran tentang sangat tingginya risiko bahwa orang-orang ini ditindas, diserang secara seksual, atau mencoba bunuh diri.

Pada saat yang sama, ilmuwan menemukan kompleksitas baru dalam pemahaman biologis tentang jenis kelamin.

Sebagian besar orang belajar dalam mata pelajaran biologi SMA bahwa kromosom jenis kelamin menentukan jenis kelamin bayi. XX berarti perempuan; XY berarti laki-laki.

Kini, kita tahu bahwa berbagai unsur yang kita anggap “lelaki” dan “perempuan” tak selalu membentuk dua baris rapi, dengan satu baris berisi semua unsur XX—lengkap dengan indung telur, vagina, estrogen, identitas gender perempuan, dan perilaku feminin—dan satu baris lagi berisi semua unsur XY—testis, penis, testosteron, identitas gender lelaki, dan maskulin. Bisa saja orang memiliki kromosom XX tapi sebagian besar dirinya lelaki dalam hal anatomi, fisiologi, dan psikologi, sebagaimana orang bisa memiliki kromosom XY tetapi sebagian besar dirinya perempuan.

Setiap embrio dimulai dengan sepasang organ primitif, yaitu proto-gonad. Diferensiasi kelamin biasanya dipicu oleh gen di kromosom Y, yaitu gen SRY, yang mengubah proto-gonad menjadi testis. Testis lalu menghasilkan hormon lelaki lainnya sehingga prostat, skrotum, dan penis berkembang pada janin. Tanpa gen SRY, proto-gonad menjadi indung telur dan anatomi perempuan (rahim, vagina, dan klitoris) akan berkembang pada janin.

Tetapi, gen SRY tidak selalu berfungsi dengan semestinya. Gen itu mungkin tak muncul atau mengalami disfungsi, sehingga anatomi lelaki tak berkembang pada embrio XY, yang kemudian diidentifikasi sebagai perempuan saat lahir. Atau, gen itu muncul di kromosom X, sehingga anatomi lelaki berkembang pada embrio XX, yang kemudian diidentifikasi sebagai lelaki saat lahir.

Dapat pula terjadi variasi genetis yang tidak berkaitan dengan gen SRY, seperti sindrom ketakpekaan androgen total (CAIS), yaitu sel embrio XY kurang atau tidak tanggap terhadap sinyal hormon lelaki. Meskipun proto-gonad menjadi testis dan janin menghasilkan androgen, alat kelamin lelakinya tidak berkembang. Bayinya bertubuh seperti perempuan, dengan klitoris dan vagina, dan pada umumnya akan tumbuh dewasa dengan merasa dirinya perempuan.

Georgiann Davis, 35, dilahirkan dengan CAIS tetapi baru mengetahui hal ini ketika secara tak sengaja menemukan informasi itu dalam catatan medisnya saat umurnya hampir 20 tahun. Tak pernah ada yang menyebutkan status XY-nya, bahkan ketika dokter mengidentifikasinya saat dia 13 tahun dan mengoperasinya saat dia 17 tahun untuk mengangkat testis yang tak turun. Orang tuanya sepakat bahwa dokter akan mengarang cerita tentang indung telur pra-kanker yang harus diangkat.

Tulis Davis, yang kini ahli sosiologi di University of Nevada, Las Vegas, dalam buku Contesting Intersex: The Dubious Diagnosis, “Saya ingat waktu itu berpikir bahwa saya pasti benar-benar abnormal kalau orang tua saya sendiri tidak mampu jujur kepada saya.”

Ciri interseks lain muncul di wilayah terpencil di Republik Dominika; ciri ini kadang disebut dengan istilah menghina, guevedoce—“penis pada umur 12.” Hal ini pertama kali dipelajari pada 1970-an oleh Julianne Imperato-McGinley, ahli endokrinologi dari Weill Cornell Medical College di New York. Imperato-McGinley tahu bahwa biasanya, saat umur kandungan sekitar delapan minggu, enzim dalam embrio lelaki mengubah testosteron menjadi hormon ampuh bernama DHT. Saat DHT ada, struktur embrio yang disebut tuberkel tumbuh menjadi penis; saat DHT tidak ada, tuberkel menjadi klitoris. Imperato-McGinley menyampaikan bahwa embrio dengan kondisi ini tidak memiliki enzim yang mengubah testosteron menjadi DHT, jadi mereka lahir dengan alat kelamin yang seperti perempuan. Mereka dibesarkan sebagai perempuan.

Namun, fase kedua maskulinisasi, yang terjadi pada masa pubertas, tak memerlukan DHT, hanya sejumlah besar testosteron. Mereka mengalami lonjakan testosteron ini pada umur sekitar 12 tahun, seperti kebanyakan anak lelaki, dan mengalami perubahan yang menjadikan mereka pria dewasa (meski pada umumnya mandul). Dan pada kasus mereka, alat kelamin yang mulanya seperti klitoris tumbuh menjadi penis.