Sejak usia dini, E tak suka memakai rok, senang bermain basket, papan luncur, dan gim video. Saat kami bertemu pada Mei di Kota New York, di pertunjukan akhir tahun untuk tim pidato SMP-nya, E mengenakan jas dan dasi kupu-kupu.
Malam itu E mencari label yang tepat untuk identitas gendernya. “Transgender” tidak terlalu cocok, katanya kepada saya. Pertama-tama, dia masih menggunakan nama lahirnya dan masih lebih suka disebut dengan kata ganti perempuan, “she.” Sementara anak-anak trans lain sering mengatakan bahwa sejak semula mereka sudah tahu bahwa mereka dilahirkan dalam tubuh yang “salah”, E berkata, “Saya merasa hanya perlu melakukan beberapa perubahan saja pada tubuh ini, agar terasa seperti tubuh yang saya inginkan.” Yang dimaksudnya adalah tubuh yang tidak haid dan tidak berpayudara, dengan lekuk wajah lebih tegas dan “jenggot merah.” Apakah itu berarti E lelaki trans? Perempuan yang, seperti kata E, “sangat androginus”? Atau cukup seseorang yang menolak simbol-simbol peran gender tradisional?
E mempertanyakan identitas gendernya, bukan menerima begitu saja bahwa hobi dan pilihan pakaiannya adalah sifat tomboi. Perbincangan seperti ini menghasilkan perhitungan jumlah orang Amerika transgender yang lebih akurat. Jumlah orang dewasa yang resmi dihitung sebagai transgender dalam survei nasional, menjadi dua kali lipat hanya dalam sepuluh tahun: Peningkatan jumlah orang yang gender nonconforming, yang bahkan tak memiliki nama satu generasi silam; pertambahan jumlah anak usia SD yang mempertanyakan gender dirinya; dan peningkatan kesadaran tentang sangat tingginya risiko bahwa orang-orang ini ditindas, diserang secara seksual, atau mencoba bunuh diri.
Pada saat yang sama, ilmuwan menemukan kompleksitas baru dalam pemahaman biologis tentang jenis kelamin.
Sebagian besar orang belajar dalam mata pelajaran biologi SMA bahwa kromosom jenis kelamin menentukan jenis kelamin bayi. XX berarti perempuan; XY berarti laki-laki.
Kini, kita tahu bahwa berbagai unsur yang kita anggap “lelaki” dan “perempuan” tak selalu membentuk dua baris rapi, dengan satu baris berisi semua unsur XX—lengkap dengan indung telur, vagina, estrogen, identitas gender perempuan, dan perilaku feminin—dan satu baris lagi berisi semua unsur XY—testis, penis, testosteron, identitas gender lelaki, dan maskulin. Bisa saja orang memiliki kromosom XX tapi sebagian besar dirinya lelaki dalam hal anatomi, fisiologi, dan psikologi, sebagaimana orang bisa memiliki kromosom XY tetapi sebagian besar dirinya perempuan.
Setiap embrio dimulai dengan sepasang organ primitif, yaitu proto-gonad. Diferensiasi kelamin biasanya dipicu oleh gen di kromosom Y, yaitu gen SRY, yang mengubah proto-gonad menjadi testis. Testis lalu menghasilkan hormon lelaki lainnya sehingga prostat, skrotum, dan penis berkembang pada janin. Tanpa gen SRY, proto-gonad menjadi indung telur dan anatomi perempuan (rahim, vagina, dan klitoris) akan berkembang pada janin.
Tetapi, gen SRY tidak selalu berfungsi dengan semestinya. Gen itu mungkin tak muncul atau mengalami disfungsi, sehingga anatomi lelaki tak berkembang pada embrio XY, yang kemudian diidentifikasi sebagai perempuan saat lahir. Atau, gen itu muncul di kromosom X, sehingga anatomi lelaki berkembang pada embrio XX, yang kemudian diidentifikasi sebagai lelaki saat lahir.
Dapat pula terjadi variasi genetis yang tidak berkaitan dengan gen SRY, seperti sindrom ketakpekaan androgen total (CAIS), yaitu sel embrio XY kurang atau tidak tanggap terhadap sinyal hormon lelaki. Meskipun proto-gonad menjadi testis dan janin menghasilkan androgen, alat kelamin lelakinya tidak berkembang. Bayinya bertubuh seperti perempuan, dengan klitoris dan vagina, dan pada umumnya akan tumbuh dewasa dengan merasa dirinya perempuan.
Georgiann Davis, 35, dilahirkan dengan CAIS tetapi baru mengetahui hal ini ketika secara tak sengaja menemukan informasi itu dalam catatan medisnya saat umurnya hampir 20 tahun. Tak pernah ada yang menyebutkan status XY-nya, bahkan ketika dokter mengidentifikasinya saat dia 13 tahun dan mengoperasinya saat dia 17 tahun untuk mengangkat testis yang tak turun. Orang tuanya sepakat bahwa dokter akan mengarang cerita tentang indung telur pra-kanker yang harus diangkat.
Tulis Davis, yang kini ahli sosiologi di University of Nevada, Las Vegas, dalam buku Contesting Intersex: The Dubious Diagnosis, “Saya ingat waktu itu berpikir bahwa saya pasti benar-benar abnormal kalau orang tua saya sendiri tidak mampu jujur kepada saya.”
Ciri interseks lain muncul di wilayah terpencil di Republik Dominika; ciri ini kadang disebut dengan istilah menghina, guevedoce—“penis pada umur 12.” Hal ini pertama kali dipelajari pada 1970-an oleh Julianne Imperato-McGinley, ahli endokrinologi dari Weill Cornell Medical College di New York. Imperato-McGinley tahu bahwa biasanya, saat umur kandungan sekitar delapan minggu, enzim dalam embrio lelaki mengubah testosteron menjadi hormon ampuh bernama DHT. Saat DHT ada, struktur embrio yang disebut tuberkel tumbuh menjadi penis; saat DHT tidak ada, tuberkel menjadi klitoris. Imperato-McGinley menyampaikan bahwa embrio dengan kondisi ini tidak memiliki enzim yang mengubah testosteron menjadi DHT, jadi mereka lahir dengan alat kelamin yang seperti perempuan. Mereka dibesarkan sebagai perempuan.
Namun, fase kedua maskulinisasi, yang terjadi pada masa pubertas, tak memerlukan DHT, hanya sejumlah besar testosteron. Mereka mengalami lonjakan testosteron ini pada umur sekitar 12 tahun, seperti kebanyakan anak lelaki, dan mengalami perubahan yang menjadikan mereka pria dewasa (meski pada umumnya mandul). Dan pada kasus mereka, alat kelamin yang mulanya seperti klitoris tumbuh menjadi penis.
Imperato-McGinley bercerita bahwa saat dia pertama kali mengunjungi Republik Dominika, anak-anak lelaki yang baru jadi ini diragukan orang dan harus membuktikan diri dengan lebih tegas daripada anak lelaki lain sebelum diterima sebagai lelaki sejati. Kini anak-anak ini umumnya dikenali saat lahir. Tetapi, mereka biasanya tetap dibesarkan sebagai perempuan.
Gender adalah perpaduan beberapa unsur: kromosom (X dan Y), anatomi (organ seksual internal dan alat kelamin eksternal), hormon (jumlah relatif testosteron dan estrogen), psikologi (identitas gender yang ditetapkan sendiri), dan budaya (perilaku gender yang ditetapkan masyarakat). Kadang-kadang, ada orang yang dilahirkan dengan kromosom dan alat kelamin jenis tertentu yang kemudian menyadari bahwa dirinya transgender, yaitu identitas gender internalnya bersesuaian dengan lawan jenisnya—atau bahkan, sesekali, tidak dengan keduanya, atau tanpa gender sama sekali.
Dalam kerangka biologi, sebagian ilmuwan menduga bahwa transgender disebabkan oleh kecepatan perkembangan janin yang tidak selaras. “Diferensiasi seksual alat kelamin terjadi dalam dua bulan pertama kehamilan,” tulis Dick Swaab, peneliti di Nederlands Herseninstituut di Amsterdam, “dan diferensiasi seksual otak dimulai pada paruh kedua kehamilan.” Maka, alat kelamin dan otak berkembang dalam lingkungan “hormon, gizi, obat, dan zat kimia lain” yang berbeda, dengan selang waktu beberapa minggu di rahim, yang memengaruhi diferensiasi seksual.
Ini bukan berarti ada otak “lelaki” atau “perempuan”. Namun, setidaknya beberapa ciri otak, seperti densitas substansi kelabu atau ukuran hipotalamus, cenderung berbeda menurut gender.
Kajian seperti ini memiliki beberapa masalah. Kajiannya biasanya kecil, kadang hanya melibatkan setengah lusin individu transgender. Kajiannya kadang menyertakan orang yang sudah mulai memakai hormon untuk bertransisi ke gender satunya, yang berarti perbedaan otak yang diamati mungkin adalah hasil, bukan penjelasan untuk, identitas transgender subjek tersebut.
Tetapi, ada satu temuan dalam penelitian transgender yang cukup kukuh: hubungan antara ketidaksesuaian gender dan gangguan spektrum autisme (ASD). Menurut John Strang, ahli psikologi saraf anak di Center for Autism Spectrum Disorders dan Gender and Sexuality Development Program di Children’s National Health System di Washington, D.C., anak dan remaja pada spektrum autisme tujuh kali lebih mungkin menjadi gender nonconforming. Sebaliknya, anak dan remaja di klinik gender, 6-15 kali lebih mungkin mengidap ASD, daripada anak muda lain.
Emily Brooks, 27, menyandang autisme dan menyebut dirinya nonbiner. Brooks baru meraih gelar S-2 dalam kajian disabilitas dan bercita-cita menciptakan ruang lebih aman bagi orang yang gender nonconforming (yang didefinisikannya secara cukup luas) sekaligus menyandang autisme. Orang seperti itu harus melawan diskriminasi terhadap orang cacat dan fobia terhadap orang transgender, katanya. “Dan kita tidak bisa berasumsi bahwa tempat yang menghormati satu identitas, akan menghormati identitas lainnya.”
Sistem biner memiliki sisi positifnya juga. Sebagian besar manusia—lebih dari 99 persen, perkiraan yang cukup aman—menempatkan diri di salah satu ujung spektrum gender.
Namun, orang masa kini—terutama kaum muda—bukan hanya mempertanyakan gender yang ditetapkan bagi mereka saat lahir, tetapi juga sistem biner gender itu sendiri.
Survei baru-baru ini atas seribu orang generasi milenial berumur 18 hingga 34 menemukan bahwa separuhnya menganggap “gender adalah spektrum, dan sebagian orang berada di luar kategori konvensional.” Menurut Human Rights Campaign, cukup banyak dari yang separuh itu menganggap dirinya nonbiner. Pada 2012, kelompok advokasi tersebut melakukan jajak pendapat atas 10.000 remaja lesbian, gay, biseksual, dan transgender berumur 13-17 tahun dan menemukan bahwa 6 persen di antaranya menganggap diri sebagai “genderfluid,” “androginus,” atau istilah lain di luar kotak biner.
Anak muda yang berusaha menentukan tempatnya pada spektrum, biasanya memilih kata ganti untuk menyebut dirinya. Meski tidak merasa benar-benar perempuan atau lelaki, mereka bisa jadi menggunakan “he” atau “she,” seperti Emily Brooks. Akan tetapi, banyak yang memilih kata ganti netral-gender seperti “they” atau kata ganti buatan seperti “zie.”
Charlie Spiegel, 17, mencoba menggunakan “they” beberapa lama, namun kini lebih suka memakai “he.” Charlie ditetapkan sebagai perempuan saat lahir. Pada masa puber, dipanggil perempuan membuatnya gundah. Label perempuan semestinya cocok, tetapi tidak begitu.
Identitas gender yang lebih pas ternyata tidak langsung diperoleh. Charlie mengalami proses uji coba yang mirip dengan pengalaman remaja lain yang mempertanyakan gendernya. Dia mencoba “lesbian,” lalu “genderfluid,” sebelum memilih identitasnya saat ini, yaitu “pria trans nonbiner.” Dia berangkat kuliah beberapa bulan setelah percakapan kami, bersiap memakai testosteron.
Jika semakin banyak anak muda yang menyatakan diri sebagai nonbiner, itu sebagian karena terdapat kesadaran baru tentang adanya pilihan nonbiner, yang menyediakan “bahasa untuk menamai sumber pengalaman mereka,” kata ahli terapi Jean Malpas di kantor Manhattan untuk Ackerman Institute for the Family, tempat dia memimpin Gender and Family Project.
Tidak mudah bagi remaja untuk menciptakan “tempat netral”. Perubahan biologis pada tubuh akan tetap terjadi juga. Namun, kadang-kadang perubahan ini dapat ditunda beberapa lama dengan obat pemblokir pubertas yang dapat mengulur waktu bagi anak-anak yang mempertanyakan gendernya. Jika anak itu menginjak umur 16 tahun dan memutuskan bahwa dia memang bukan transgender, diyakini bahwa efek peredaman pubertas dapat dibalikkan: Anak itu berhenti memakai obat pemblokir dan tumbuh dewasa dengan jenis kelamin lahir. Tetapi, untuk anak yang memang ingin bertransisi pada umur 16, pemakaian obat pemblokir selama ini dapat mempermudah prosesnya. Mereka dapat mulai memakai hormon lintas-jenis kelamin dan mengalami pubertas dalam gender yang dipilih—sebelum sempat mengalami perkembangan ciri-ciri jenis kelamin sekunder, seperti payudara, bulu tubuh, atau suara berat, yang sulit dibatalkan.
Selain obat ini, ada hal lain yang lebih memicu perdebatan, yaitu apakah sekarang terlalu banyak anak kecil, pada usia yang terlalu dini, didorong untuk bertransisi secara sosial sejak awal.
Eric Vilain, ahli genetika dan dokter anak yang memimpin UCLA Center for Gender-Based Biology, mengatakan bahwa anak-anak sering menyatakan keinginan dan khayalan sepintas. Dia bercerita bahwa sebagian besar kajian anak yang menyatakan ketidaknyamanan dengan gender lahirnya, menunjukkan bahwa mereka lebih mungkin cisgender (sesuai dengan gender yang ditetapkan saat lahir) daripada trans.
“Jika seorang anak lelaki melakukan hal-hal yang mirip anak perempuan—dia ingin rambut panjang, ingin mencoba sepatu ibunya, ingin memakai rok dan bermain boneka,” kata Vilain, kesukaan pada kegiatan tertentu seperti ini adalah ekspresi gender, bukan identitas gender. Vilain berkata sebaiknya orang tua mundur sejenak dan mengingatkan anak lelaki itu bahwa dia boleh melakukan semua kegiatan anak perempuan, tetapi tidak berarti dia anak perempuan.
Di Gender and Family Project, Jean Malpas mengatakan bahwa konselor “mencari tiga hal pada anak yang menyatakan keinginan menjadi gender lain”: bahwa keinginan itu “terus-menerus, tidak berubah, dan tegas.” Banyak anak yang datang ke kliniknya seperti itu, katanya, bahkan beberapa berumur lima tahun. “Mereka sudah lama merasa demikian, dan tidak menyesalinya.”
Itulah perasaan putri dari penulis Seattle, Marlo Mack (nama pena yang digunakan ibu ini dalam podcast dan blog untuk melindungi identitas anaknya). Anak Mack diidentifikasi sebagai lelaki saat lahir, tetapi pada umur tiga tahun sudah bersikeras bahwa dia anak perempuan. Ada kesalahan sewaktu di dalam perutmu, katanya kepada ibunya, memohon untuk dikembalikan ke rahim agar kesalahan itu diperbaiki.
“Saya memberi tahu anak saya berulang kali, dia bisa tetap menjadi anak lelaki sambil bermain Barbie dan berpakaian seperti yang disukainya: gaun, rok, pakaian berkilau,” kata Mack dalam podcast-nya, How to Be a Girl. “Tapi anakku bilang tidak, pokoknya tidak. Dia anak perempuan.”
Akhirnya, setelah setahun mereka berdua “sengsara,” Mack mengizinkan anak empat tahunnya memilih nama perempuan, mulai menggunakan kata ganti perempuan, dan masuk prasekolah sebagai anak perempuan. Hampir dalam sekejap, kemuraman sirna. Dalam podcast yang disiarkan dua tahun setelah itu, Mack melaporkan bahwa putri transgendernya, enam tahun, “menyukai menjadi anak perempuan mungkin lebih dari anak perempuan mana pun.”
Vilain tidak disukai sebagian aktivis transgender karena mengatakan bahwa tidak semua ucapan “aku ingin menjadi anak perempuan” dari anak kecil perlu disemangati. Tetapi, dia bersikeras bahwa dia berusaha berpikir di luar stereotip gender. “Saya berusaha menganjurkan beraneka ragam ekspresi gender.”
Di sinilah situasinya menjadi kabur dalam dunia gender. Anak muda seperti putri Mack, atau Charlie Spiegel di California, atau E di Kota New York, harus mengambil keputusan biologis yang akan memengaruhi kesehatan dan kebahagiaan mereka selama 50 tahun ke depan. Namun, keputusan ini harus diambil dalam pusaran norma gender yang terus berubah.
“Mungkin aku ini tergolong ‘mempertanyakan gender’,” kata E saat kami bertemu lagi pada Juni. Tetapi, dia tahu tidak bisa “mempertanyakan” selamanya. Jika E akhirnya memang memilih identitas lelaki, dia juga harus menjadi lelaki secara fisik, yang berarti memakai testosteron. Itu keputusan besar, kata E kepada saya. Sambil me-nyambut ulang tahun kelima belas, dia memberi dirinya waktu setahun lagi untuk berpikir.
Pemikiran E tentang tempatnya pada spektrum gender masih terbatas oleh budaya Barat, yang sebagian besar masyarakatnya memandang gender sebagai biner. Betapa berbeda situasinya andai E tinggal di tempat yang mengakui keberadaan peran formal yang merupakan gender terpisah.
Tempat seperti itu tersebar di seluruh dunia: Asia Selatan (yang memiliki gender ketiga yang disebut hijra), Nigeria (yan daudu), Meksiko (muxe), Samoa (fa’afafine), Thailand (kathoey), Tonga (fakaleiti), dan bahkan di AS, yang mengakui gender ketiga di Hawaii (mahu) dan di beberapa bangsa Amerika Asli (two-spirit atau dua-jiwa). Derajat penerimaan terhadap gender ketiga ini berbeda-beda, tetapi kategori itu biasanya merupakan lelaki secara anatomi yang berperilaku feminin dan tertarik secara seksual pada lelaki, dan hampir tak pernah pada individu gender-ketiga lain. Yang lebih jarang, beberapa kaum gender-ketiga, seperti burrnesha di Albania atau fa’afatama di Samoa, adalah perempuan secara anatomi yang hidup secara maskulin.
Saya bertemu dengan belasan orang fa’afafine pada musim panas silam, ketika berkunjung ke Samoa untuk memenuhi undangan profesor psikologi Paul Vasey, yang meyakini bahwa fa’afafine Samoa termasuk gender-ketiga yang penerimaannya paling baik di bumi.
Vasey adalah profesor dan ketua penelitian psikologi di University of Lethbridge di Alberta, Kanada. Dia khususnya tertarik pada gender ketiga, di Samoa maupun di tempat lain, karena kaum ini dapat memberi informasi baru tentang “paradoks evolusi” ketertarikan sesama-lelaki.
Identitas fa’afafine adalah ciri yang diwariskan, sama seperti ciri gay, kata Vasey. Dia memperkenalkan saya kepada Jossie, 29, guru sekolah yang jangkung semampai. Jossie tinggal di desa sekitar satu jam dari ibu kota, Apia. Bagi Jossie, identitas fa’afafine juga merupakan ciri keluarga. Beberapa kerabatnya yang fa’afafine mendengarkan percakapan kami: paman Jossie, yaitu perawat pensiunan yang bernama Andrew dan menggunakan nama Angie; sepupunya Trisha Tuiloma, yang juga asisten penelitian Vasey; dan keponakan Tuiloma yang berusia lima tahun.
Vasey menyelidiki dua hipotesis yang menjelaskan paradoks evolusi seksualitas sesama lelaki.
Yang pertama, hipotesis gen antagonistis seksual, menyatakan bahwa gen ketertarikan seksual pada lelaki memiliki efek berbeda-beda, yang tergantung pada jenis kelamin pembawa gen itu: Alih-alih membawa kerugian reproduksi, seperti yang terjadi pada lelaki, gen tersebut pada wanita membawa manfaat reproduksi—yang berarti bahwa perempuan dengan gen itu semestinya lebih subur. Vasey dan rekan-rekannya menemukan bahwa para ibu dan nenek maternal para fa’afafine memang punya lebih banyak anak daripada para ibu dan nenek para lelaki Samoa yang heteroseksual. Tetapi, mereka belum menemukan bukti sebanding di kalangan nenek paternal—atau di kalangan bibi fa’afafine, yang bisa menjadi bukti yang hampir definitif.
Kemungkinan kedua adalah hipotesis seleksi kerabat—yaitu bahwa waktu dan uang yang dicurahkan lelaki homoseksual bagi keponakannya memperbesar kemungkinan keponakan itu akan menurunkan sebagian DNA mereka ke generasi berikutnya. Memang, beberapa orang mengasuh keponakannya. Dan dalam penelitian formalnya, Vasey menemukan bahwa fa’afafine lebih mungkin menawarkan uang, waktu, dan dukungan emosional bagi keponakannya—terutama putri terkecil saudara perempuannya—daripada lelaki Samoa atau wanita Samoa yang heteroseksual.
Satu hal lagi tentang identitas gender menjadi jelas saat saya bertemu dengan pasangan lama Vasey, Alatina Ioelu, fa’afafine yang bertemu dengan Vasey 13 musim panas yang lalu. Ioelu jauh lebih maskulin daripada fa’afafine lainnya yang saya temui. Bagaimana mungkin orang yang berpenampilan maskulin seperti ini tergolong gender-ketiga yang biasanya jauh lebih feminin?
Saat kami bertiga mengobrol sambil makan malam, perlahan saya menyadari bahwa identitas Ioelu sebagai fa’afafine menunjukkan bahwa gender itu sendiri terkait erat dengan budaya. Vasey dan Ioelu berencana menikah dan pensiun di Kanada kelak. “Di sana kami akan dilihat sebagai pasangan homoseksual biasa,” kata Vasey.
Dengan kata lain, klasifikasi gender Ioelu akan berubah, seperti disulap, dari fa’afafine menjadi lelaki gay, hanya dengan menyeberangi perbatasan.