Merenungkan Gender

By , Selasa, 10 Januari 2017 | 20:12 WIB

“Mungkin aku ini tergolong ‘mempertanyakan gender’,” kata E saat kami bertemu lagi pada Juni. Tetapi, dia tahu tidak bisa “mempertanyakan” selamanya. Jika E akhirnya memang memilih identitas lelaki, dia juga harus menjadi lelaki secara fisik, yang berarti memakai testosteron. Itu keputusan besar, kata E kepada saya. Sambil me-nyambut ulang tahun kelima belas, dia memberi dirinya waktu setahun lagi untuk berpikir.

Pemikiran E tentang tempatnya pada spektrum gender masih terbatas oleh budaya Barat, yang sebagian besar masyarakatnya memandang gender sebagai biner. Betapa berbeda situasinya andai E tinggal di tempat yang mengakui keberadaan peran formal yang merupakan gender terpisah.

Tempat seperti itu tersebar di seluruh dunia: Asia Selatan (yang memiliki gender ketiga yang disebut hijra), Nigeria (yan daudu), Meksiko (muxe), Samoa (fa’afafine), Thailand (kathoey), Tonga (fakaleiti), dan bahkan di AS, yang mengakui gender ketiga di Hawaii (mahu) dan di beberapa bangsa Amerika Asli (two-spirit atau dua-jiwa). Derajat penerimaan terhadap gender ketiga ini berbeda-beda, tetapi kategori itu biasanya merupakan lelaki secara anatomi yang berperilaku feminin dan tertarik secara seksual pada lelaki, dan hampir tak pernah pada individu gender-ketiga lain. Yang lebih jarang, beberapa kaum gender-ketiga, seperti burrnesha di Albania atau fa’afatama di Samoa, adalah perempuan secara anatomi yang hidup secara maskulin.

Saya bertemu dengan belasan orang fa’afafine pada musim panas silam, ketika berkunjung ke Samoa untuk memenuhi undangan profesor psikologi Paul Vasey, yang meyakini bahwa fa’afafine Samoa termasuk gender-ketiga yang penerimaannya paling baik di bumi.

Vasey adalah profesor dan ketua penelitian psikologi di University of Lethbridge di Alberta, Kanada. Dia khususnya tertarik pada gender ketiga, di Samoa maupun di tempat lain, karena kaum ini dapat memberi informasi baru tentang “paradoks evolusi” ketertarikan sesama-lelaki.

Identitas fa’afafine adalah ciri yang diwariskan, sama seperti ciri gay, kata Vasey. Dia memperkenalkan saya kepada Jossie, 29, guru sekolah yang jangkung semampai. Jossie tinggal di desa sekitar satu jam dari ibu kota, Apia. Bagi Jossie, identitas fa’afafine juga merupakan ciri keluarga. Beberapa kerabatnya yang fa’afafine mendengarkan percakapan kami: paman Jossie, yaitu perawat pensiunan yang bernama Andrew dan menggunakan nama Angie; sepupunya Trisha Tuiloma, yang juga asisten penelitian Vasey; dan keponakan Tuiloma yang berusia lima tahun.

Vasey menyelidiki dua hipotesis yang menjelaskan paradoks evolusi seksualitas sesama lelaki.

Yang pertama, hipotesis gen antagonistis seksual, menyatakan bahwa gen ketertarikan seksual pada lelaki memiliki efek berbeda-beda, yang tergantung pada jenis kelamin pembawa gen itu: Alih-alih membawa kerugian reproduksi, seperti yang terjadi pada lelaki, gen tersebut pada wanita membawa manfaat reproduksi—yang berarti bahwa perempuan dengan gen itu semestinya lebih subur. Vasey dan rekan-rekannya menemukan bahwa para ibu dan nenek maternal para fa’afafine memang punya lebih banyak anak daripada para ibu dan nenek para lelaki Samoa yang heteroseksual. Tetapi, mereka belum menemukan bukti sebanding di kalangan nenek paternal—atau di kalangan bibi fa’afafine, yang bisa menjadi bukti yang hampir definitif.

Kemungkinan kedua adalah hipotesis seleksi kerabat—yaitu bahwa waktu dan uang yang dicurahkan lelaki homoseksual bagi keponakannya memperbesar kemungkinan keponakan itu akan menurunkan sebagian DNA mereka ke generasi berikutnya. Memang, beberapa orang mengasuh keponakannya. Dan dalam penelitian formalnya, Vasey menemukan bahwa fa’afafine lebih mungkin menawarkan uang, waktu, dan dukungan emosional bagi keponakannya—terutama putri terkecil saudara perempuannya—daripada lelaki Samoa atau wanita Samoa yang heteroseksual.

Satu hal lagi tentang identitas gender menjadi jelas saat saya bertemu dengan pasangan lama Vasey, Alatina Ioelu, fa’afafine yang bertemu dengan Vasey 13 musim panas yang lalu. Ioelu jauh lebih maskulin daripada fa’afafine lainnya yang saya temui. Bagaimana mungkin orang yang berpenampilan maskulin seperti ini tergolong gender-ketiga yang biasanya jauh lebih feminin?

Saat kami bertiga mengobrol sambil makan malam, perlahan saya menyadari bahwa identitas Ioelu sebagai fa’afafine menunjukkan bahwa gender itu sendiri terkait erat dengan budaya. Vasey dan Ioelu berencana menikah dan pensiun di Kanada kelak. “Di sana kami akan dilihat sebagai pasangan homoseksual biasa,” kata Vasey.

Dengan kata lain, klasifikasi gender Ioelu akan berubah, seperti disulap, dari fa’afafine menjadi lelaki gay, hanya dengan menyeberangi perbatasan.