Kehidupan Setelah Kehilangan

By , Rabu, 1 Maret 2017 | 12:00 WIB

1. KEMBALI KE KEHIDUPAN

Vrindavan, India

Lama sebelum matahari terbit, para janda di Vrindavan bergegas berjalan melalui gang gelap tak beraspal, berusaha menghindari genangan lumpur dan kotoran sapi. Di trotoar, setiap pagi para sukarelawan menyalakan tungku gas propana berukuran besar dan menyeduh teh di dalam wadah. Para janda itu tahu mereka harus tiba pagi-pagi sekali. Jika datang terlambat, bisa-bisa mereka tidak kebagian teh. Atau, makanan semacam jipang mungkin sudah habis di tempat pembagian sembako berikutnya, beberapa gang jauhnya dari situ.

Hari sudah pukul 5.30 pagi, udara subuh terasa dingin, bulan sabit berwarna perak. Beberapa orang janda menyelimuti diri dengan kain sari berwarna, tetapi kebanyakan mengenakan sari putih. Di India, sari putih adalah penanda paling pasti wanita yang suaminya telah meninggal, mungkin belum lama, mungkin juga sudah puluhan tahun yang lalu.

Tak seorang pun pernah menghitung dengan cermat jumlah janda di Vrindavan. Ada laporan yang memperkirakan dua ribu atau tiga ribu orang, sementara laporan lain mengatakan 10.000 orang atau lebih. Kota itu dan kota-kota di sekitarnya dipenuhi kuil untuk memuja dewa Hindu Krishna dan sejumlah ashram tempat bhajan—lagu pujian—dilantunkan sepanjang hari oleh para janda miskin yang berdampingan memadati lantai. Kesucian bhajan ashram dipertegas oleh nyanyian yang dilantunkan secara berkesinambungan. Meskipun lantunan nyanyian ini biasanya dikumandangkan oleh para peziarah dan imam, dengan melantunkan nyanyian ini berulang-ulang, kadang selama tiga atau empat jam tanpa henti, para janda mendapatkan makanan panas, mungkin juga alas tidur di malam hari.

Seorang janda di India, yang selamanya ditimpa kemalangan setelah suaminya meninggal, “secara fisik masih hidup, tetapi secara sosial sudah mati,” kata psikolog Delhi, Vasantha Patri.

Mereka juga tinggal di tempat penampungan, dan di kamar yang disewa bersama-sama, dan di bawah terpal di pinggir jalan ketika tidak ada tempat menginap yang bersedia menampung mereka. Para janda berdatangan ke Vrindavan dari seluruh India. Kadang mereka tiba dengan didampingi para guru yang mereka percayai. Kadang keluargalah yang mengantarkan mereka, menyerahkan janda ke ashram, atau meninggalkan begitu saja di sudut jalan.

Bahkan kerabat yang tidak mengantarkan janda, dapat berperilaku sangat jelas setiap hari bahwa peran janda tersebut di antara keluarganya telah berakhir. Seorang janda di India, yang selamanya ditimpa kemalangan setelah suaminya meninggal, “secara fisik masih hidup, tetapi secara sosial sudah mati,” kata psikolog Delhi, Vasantha Patri. Ia menulis tentang nasib para janda India. Jadi, karena Vrindavan dikenal sebagai “kota janda”, yang menyediakan makanan panas dan persahabatan dan tujuan hidup yang bermakna, para janda itu juga ada yang datang sendirian, naik bus atau kereta api, seperti yang telah berlangsung selama beberapa generasi. “Tak seorang pun dari kami yang ingin kembali ke keluarga,” seorang wanita tua kurus bernama Kanaklata Adhikari menyatakan dari tempat tidurnya di ruang penampungan, yang ditempatinya bersama tujuh janda lainnya. “Kami tidak pernah berbicara dengan keluarga sendiri. Para janda yang tinggal di sinilah keluarga kami.”

Sari putihnya tersampir dengan longgar di kepalanya. Di India, mencukur rambut seorang wanita yang baru menjanda sudah lazim, untuk mengumumkan berakhirnya daya tariknya sebagai wanita. Janda Adhikari tampaknya belum lama ini sudah dicukur lagi rambutnya. “Saya tetap seperti ini karena rambut saya adalah milik almarhum suami saya,” katanya. Kecantikan wanita terletak pada rambut dan pakaiannya. Setelah suami saya tidak ada lagi, untuk apa semua ini?

Berapa usianya kini?

“Sembilan puluh enam.”

Dan berapa usianya saat suaminya meninggal?

“Tujuh belas.”

Saya berada di vrindavan karena saya dan fotografer Amy Toensing sedang mengunjungi komunitas luar biasa yang terdiri atas para janda. Kami melakukan hal ini selama kurun waktu satu tahun, di tiga bagian dunia yang sangat berbeda. Bukan duka pribadi yang hendak kami telusuri, melainkan cara masyarakat memaksakan identitas baru pada wanita yang suaminya telah meninggal: paria, dikucilkan, dianggap mengganggu, martir, mangsa.