Kehidupan Setelah Kehilangan

By , Rabu, 1 Maret 2017 | 12:00 WIB

Ketika pada 2011 PBB menetapkan 23 Juni sebagai Hari Janda Internasional, penjelasan resminya amat memilukan: bahwa di banyak budaya, para janda begitu rentan—terhadap tradisi penganiayaan, kemiskinan, akibat pascaperang yang menewaskan suami mereka.  Kondisi menjanda itu sendiri harus dianggap sebagai potensi bencana terhadap hak asasi manusia. Di Bosnia dan Herzegovina, kami menghabiskan waktu selama satu bulan, di satu-satunya tempat penampungan tunggal di dunia yang dihuni para janda perang.

Para janda ini menghabiskan waktu selama dua dekade untuk mencari dan memakamkan lebih dari 7.000 orang korban pembantaian, kebanyakan berupa sisa jenazah yang tidak utuh. Di Uganda kami mengenal frase “warisan janda”, yang untuk warga Uganda bukan berarti harta yang diterima janda. Melainkan, bahwa keluarga suami sang janda secara ilegal merampas semua harta warisannya, menganggap bahwa mereka mewarisi diri sang janda juga, sebagai mitra seks atau istri untuk kerabat mana pun yang akan mereka pilih.

Dan di Vrindavan, kami mengajukan pertanyaan kepada Laxmi Gautam, seorang pekerja sosial, apa yang akan ia ubah jika dia diberi wewenang untuk melindungi kaum wanita dari jenis penghinaan ini. Ternyata, dia pernah membayangkan, hal yang akan dilakukannya. “Saya akan menghapus kata ‘janda’ dari kamus,” katanya. “Begitu suaminya meninggal, istrinya mendapatkan sebutan ini. Istilah ini. Dan ketika istilah itu sudah menempel, hidupnya pun mulai ditimpa berbagai masalah.”

“Dalam kitab Weda, tidak pernah dinyatakan bahwa janda harus menjalani kehidupan sederhana,” katanya. “Ada kalimat yang menyatakan: Hai wanita. Mengapa kamu menangisi lelaki yang sudah meninggal? Bangkitlah, sambut tangan lelaki lain yang masih hidup, dan mulailah kehidupanmu yang baru.”

Karena terisolasi dan tidak terlihat, sungguh sulit menghitung jumlah janda di dunia; pengumpulan data paling ambisius berasal dari Loomba Foundation, yang memberikan dukungan internasional bagi para janda. Baru-baru ini, lembaga ini memperkirakan jumlah janda sekitar 259 juta, dengan peringatan tentang betapa buruknya sejumlah negara melacak keberadaan dan kebutuhan janda warganya.

Seorang janda tidak boleh berpakaian warna-warni atau membuat dirinya cantik, karena itu tidak pantas untuk peran barunya sebagai sosok yang harus berkabung seumur hidup. Seorang janda hanya boleh menyantap makanan hambar, dalam porsi kecil, karena rasa lezat dan bumbu dapat membangkitkan gairah yang sama sekali tidak boleh dialaminya lagi. Semua ini ketentuan Hindu yang semakin memudar, sebagian besar ditepiskan oleh warga India berpendidikan karena merupakan peninggalan masa lalu, tetapi masih dianggap serius di beberapa desa dan keluarga konservatif. Meera Khanna, penulis Delhi yang bekerja untuk organisasi advokasi janda yang bernama Guild for Service, mengamati bahwa stigma janda bukan berasal dari Weda, kitab suci umat Hindu, tetapi dari generasi yang memegang teguh tradisi yang bersifat menindas.

“Dalam kitab Weda, tidak pernah dinyatakan bahwa janda harus menjalani kehidupan sederhana,” katanya. “Ada kalimat yang menyatakan: Hai wanita. Mengapa kamu menangisi lelaki yang sudah meninggal? Bangkitlah, sambut tangan lelaki lain yang masih hidup, dan mulailah kehidupanmu yang baru.”

Kami merencanakan kunjungan ke Vrindavan dan Varanasi, kota di barat laut Kolkata yang juga menarik ribuan janda. Hal ini bertepatan dengan kampanye sederhana: saat berlangsung festival perayaan, para janda boleh ikut merayakan. Di seluruh India, liburan Diwali dan Holi adalah kesempatan bagi masyarakat untuk bersukacita. Di dalam Diwali terdapat hadiah, cahaya benderang, dan kembang api; Holi dilakukan di jalanan sehingga orang dapat “bermain Holi,” sebagaimana kata orang India, saling melemparkan bubuk warna-warni dan menyemburkan air.

Bagi wanita yang diharapkan menjalani sisa hidupnya dalam martabat yang diredam, jenis kegembiraan semacam ini sama sekali tak pernah dianggap dapat diterima. “Setelah menjadi janda, Anda tidak diizinkan terlibat dalam keriaan apa pun,” kata pekerja amal Vinita Verma. “Tetapi, kami ingin para wanita ini menjadi bagian dari masyarakat. Mereka memiliki hak penuh untuk menjalani kehidupan mereka.”

Verma adalah wakil presiden Sulabh International, organisasi India yang memberikan layanan dukungan dan tunjangan bulanan berjumlah kecil kepada para janda di tempat penampungan di Vrindavan dan Varanasi. Beberapa tahun silam—mula-mula dengan perasaan ragu dan kemudian dengan skala lebih berani—Sulabh mulai menyelenggarakan acara Diwali dan Holi untuk janda di kedua kota itu.

Pada 2015, perayaan hari raya di “kota para janda”, seperti Vrindavan dan Varanasi yang kadang diberi label begitu di media, sengaja diselenggarakan di luar ruangan. Tidak muncul tuntutan pembatalan di media India. Saat saya dan Toensing berada di India, satu-satunya keluhan yang kami dengar tentang rencana perayaan bagi para janda ini adalah bahwa memang perayaan itu dibuat menarik, tetapi tidak banyak mengubah keadaan.

“Perubahan nyata harus datang dari masyarakat yang memunculkan mereka,” kata Gautam, pekerja sosial yang ingin mencoret kata “janda” dari kamus. Saat saya bertanya apa label yang mungkin lebih sesuai bagi para wanita ini, tampak jelas bahwa dia juga sudah memikirkan hal itu. “Ibu,” katanya. “Jika dia bukan seorang ibu, dia seorang putri, mungkin saudari. Dia juga istri. Hanya saja suaminya sudah meninggal.”

Hal yang juga tampaknya perlu diingat: Para janda Vrindavan juga bisa menjadi galak. Ketika saya tiba pada November 2015, Diwali baru akan dimulai, dan pada suatu sore saya mengikuti Verma saat dia mempersiapkan acara Sulabh, yang mencakup seribu kain sari baru untuk para janda. Mereka juga boleh menyimpannya sebagai hadiah—dalam warna apa pun yang mereka inginkan.  Sari adalah hadiah dari Sulabh, dan sebuah toko di Vrindavan menumpuknya sebagai pajangan. Para janda dalam program amal dijadwalkan tiba berkelompok dalam waktu beberapa jam. Mereka akan memeriksa dan memilih seperti yang biasa dilakukan pembeli sari India yang mahir.