Kehidupan Setelah Kehilangan

By , Rabu, 1 Maret 2017 | 12:00 WIB

Di dalam toko sari itu, saya dan juru bahasa saya memperhatikan kelompok pertama para janda yang bergegas menuju tumpukan, melihat-lihat kain sari, lalu memanggil pelayan toko. “Saya lebih suka sari yang di rak lain,” kata seorang wanita. “Bolehkah kami memilih dari rak itu?”

Tidak bisa, kata si pelayan toko menjelaskan, yang di rak itu untuk dijual. “Hmph,” kata salah seorang janda. “Kualitasnya kurang bagus,” kata janda yang lain. “Tolong geser sedikit,” kata janda yang lain, dan janda yang disikutnya berkata, mengapa dia harus bergeser—ruangannya cukup lega. Dibutuhkan waktu lebih lama dari yang diperkirakan agar semuanya terlayani, dan saya melihat empat orang janda berjalan keluar tanpa membawa sari baru, saling menggerutu. “Seolah-olah waktu kita tidak berharga,” kata salah seorang di antara mereka.

Prosesi Diwali dan pesta kembang api di sungai seharusnya berlangsung dengan meriah, penuh nyanyian dan kembang api, serta sari berwarna putih dan aneka warna lain. Banyak fotografer berita India hadir. Asap berputar-putar, kembang api membuat sungai tampak menyala merah muda, lampu minyak yang mengambang menampilkan lingkaran bercahaya di air yang bergerak-gerak. Meskipun ini semua serba indah, kenangan paling mengesankan di Vrindavan bagi saya adalah pemandangan empat janda bermartabat yang meremehkan sari hadiah mereka dan berjalan meninggalkan toko. Mereka berdiri berdekatan, dibungkus kain sari putih yang menandakan mereka janda, tertawa terkekeh-kekeh, dan ketika mereka meninggalkan trotoar bersama-sama untuk menyeberang jalan yang ramai, kendaraan berhenti untuk membiarkan mereka lewat.!break!

2. MENGUBUR MASA LALU

Tuzla, Bosnia dan Herzegovina

Ketika panggilan telepon pertama diterima dari pusat identifikasi forensik, Mirsada Uzunović sedang berada di rumah bersama putranya yang berusia 13 tahun. Dia pun berusaha keras untuk bisa tetap tenang. Suara di ujung telepon terdengar lembut. Sisa-sisa jenazah Ekrem, suami Uzunović, telah diidentifikasi oleh pengujian laboratorium, kata suara itu. Sisa-sisanya... sedikit. Sebuah tengkorak yang sudah tidak utuh. Tidak ada bagian tubuh lainnya. Jika Uzunović menginginkan tengkorak itu dikuburkan, di permakaman baru, hal itu bisa diatur.

Tidak usah.

Selama tiga bulan dia tak memberi tahu siapa pun. “Malam hari adalah saat terberat. Saya sendirian, merenung. Dari sosok pria berperawakan besar yang saya kenal, hanya tersisa sebagian tengkorak. Saya tak bisa membayangkan. Baiklah, mereka membunuhnya. Tetapi, mengapa jenazahnya tak dikuburkan? Bagian tubuh-nya berserakan. Saya tak tahu di mana. Di mana tulang belulangnya? Di manakah dia?”

Panggilan telepon pertama itu ia terima pada 2005, satu dekade setelah pasukan Serbia Bosnia menewaskan lebih dari 7.000 pria muslim Bosnia. Jumlahnya masih tetap diperdebatkan. Akan tetapi, inilah jumlah yang tercatat di Mahkamah Internasional—selama satu minggu dari tiga tahun perang Bosnia. Dari 11 Juli hingga 19 Juli 1995, banyak pria tewas di dalam dan di dekat Srebrenica, kota di tepi timur negara Balkan, Bosnia dan Herzegovina. Ekrem Uzunović mengenakan celana panjang hitam dan kaos oblong saat terakhir kali dia melihatnya. Di ranselnya ada sebongkah roti yang dipanggangnya pagi itu. Ekrem membungkuk mencium putra mereka, berbalik, lalu berlari.

Putranya berusia dua tahun. Ekrem 27 tahun. Di Tuzla, di kota tempat Uzunović dan banyak janda perang Srebrenica lainnya dimukimkan kembali, kini ada kantor berkamar dua. Hingga ke langit-langit, dinding bagian dalam kamar itu dipenuhi foto pria Bosnia berambut gelap seperti Ekrem. Semuanya sudah tewas atau diperkirakan tewas. Tumpukan album menyimpan ribuan foto lainnya. Dalam berbagai foto itu juga tampak anak laki-laki yang baru memasuki usia remaja dan beberapa pria yang tampaknya cukup tua untuk menjadi kakek Ekrem. Uzunović: “Di setiap halaman rumah ada kejadian yang sama—kaum pria melarikan diri dari rumah mereka. Kaum wanita dan keluarga menangis meratapi mereka, dan para pria itu tidak bereaksi atau berbuat apa pun. Mereka terus berjalan ke arah hutan, tidak sekali pun menengok lagi ke belakang. Ada suasana murung, dengan hutan di belakangnya. Deretan pria berjalan berbarengan.

Kami bertemu pada Juli, di dalam rumah di bukit Tuzla, tempat tinggal Uzunović dan putranya. Setiap 11 Juli, antara lain karena upaya gigih jaringan wanita Bosnia yang berduka, dilakukan pemakaman berkelompok. Penguburan satu per satu peti mati yang berisi sisa-sisa jenazah pria Srebrenica korban perang, yang berhasil diidentifikasi pada tahun sebelumnya dan disetujui oleh keluarganya untuk dikuburkan. Hal ini dilakukan di permakaman luas di bukit yang diperuntukkan hanya bagi mereka. Enam ratus peti mati pertama dikuburkan pada 2003.

“Saya sudah menunggu terlalu lama,” kata Uzunović. “Saya tidak dapat menunggu lebih lama lagi.” Tahun ini, di acara penguburan Potočari, dia akan menguburkan suaminya.

Pada pekan pertama Juli 2015, acara ulang tahun ke-20 penguburan itu akan diselenggarakan beberapa hari lagi. Uzunović kini berusia 41 tahun. Dia telah menghadiri banyak sekali acara penguburan 11 Juli: kakaknya, kakeknya, tiga orang paman, empat orang sepupu, para pria dari keluarga Ekrem, suami para janda lainnya. Setiap tahun sampai tahun ini, dia mengatakan bukan Ekrem, belum; ketika pusat forensik menelepon kedua kalinya pada 2007 dan memberitahukan bahwa tulang pinggul dan tulang paha suaminya telah diidentifikasi, Uzunović masih tetap menolak menguburkan suaminya. Baginya masih belum cukup banyak bagian tubuh suaminya untuk dikuburkan.