Kehidupan Setelah Kehilangan

By , Rabu, 1 Maret 2017 | 12:00 WIB

“Selama ini saya memikul beban amat berat,” kata Uzunović kepada saya dan juru bahasa saya, sambil menuangkan kopi bosnia yang pekat, ke cangkir kami. Dia tampak lelah, tetapi tenang. “Saya sudah menunggu terlalu lama,” kata Uzunović. “Saya tidak dapat menunggu lebih lama lagi.” Tahun ini, di acara penguburan Potočari, dia akan menguburkan suaminya.

Dalam bahasa bosnia, kata untuk janda adalah udovice. Namun, di organisasi kerja sama yang mereka dirikan, para janda korban perang Bosnia ini disebut žene, yang artinya perempuan.  Snaga Žene, misalnya:  Kekuatan Wanita. Pada musim panas 1995 itu, orang yang melewati pusat olahraga Tuzla dapat langsung melihat para žene Srebrenica yang dipindahkan ke Tuzla dengan truk barang, sementara suami, anak, saudara, dan ayah mereka mati ditembak. Para pria berkata: Apabila berhasil selamat, saya akan ke pusat olahraga; temui saya di sana—dan selama berminggu-minggu para wanita terus berdiri di luar, berharap. “Sungguh tak terbayangkan bagi mereka,” kata Presiden Snaga Žene, Branka Antić-Štauber, seorang dokter Tuzla. “Untuk memahami cakupannya, bahwa sejumlah besar orang dibunuh dalam waktu beberapa hari.

Pemimpin Serbia asal Bosnia, yang khawatir bahwa kuburan massal itu kelak ditemukan, memerintahkan ribuan mayat digali dan dikuburkan kembali di pedesaan. Peralatan besar menyebabkan mayat yang membusuk itu tercerai-berai. Di samping akibat pascaperang yang mengerikan ini, yang biasanya dialami para janda yang tinggal di kawasan konflik dunia—trauma, perkosaan, isolasi, kemiskinan—beban baru ditambahkan: Sisa-sisa jenazah pria Srebrenica, jika hendak dikuburkan kembali dan diratapi di kuburan perseorangan, harus diidentifikasi sepotong demi sepotong.

Deteksi forensik, kegiatan melelahkan untuk mencocokkan tulang dan bagian tubuh dengan sampel DNA dari keluarga, dilaksanakan oleh organisasi pascaperang Bosnia yang disebut International Commission on Missing Persons. Tuntutan untuk dilakukannya pencatatan—dorongan untuk ditetapkannya satu pemakaman khusus; pencarian foto dari semua pria yang hilang; demonstrasi bulanan yang bersikeras agar sisa-sisa jenazah setiap korban tewas perang ditemukan, para pembunuhnya diadili, dan kata “genosida” selamanya melekat pada pembunuhan Srebrenica—dilancarkan oleh kaum wanita.

Terdapat 6.241 kuburan yang sudah selesai sebelum tibanya jenazah terakhir ini. Peti mati hijau baru tampak berderet di dalam pusat memorial—dalam Islam, hijau adalah warna keramat—berjumlah 136. Sisa-sisa jenazah Ekrem Uzunović terdapat di dalam peti mati 59. Dan pada pagi hari pemakaman yang hangat tak berawan itu, Mirsada Uzunović menemukan batu nisan bertuliskan nama suaminya, makam yang baru digali. Kerabatnya membawa kursi lipat, dan sejenak dia duduk di salah satu kursi dan menerima orang dengan sopan, pelukan mereka, ucapan simpati yang mereka gumamkan. Doa dan suara monoton terus dilantunkan, dan terdengar suara kemarahan yang bising saat perdana menteri Serbia, yang menghadiri upacara 11 Juli untuk pertama kalinya, hendak meletakkan karangan bunga di sembarang batu nisan. Terdengar cemooh yang mengancam sehingga para pengawalnya cepat-cepat menggiringnya ke mobil yang menunggu.

Seorang imam meminta hadirin untuk memberikan penghormatan. Pemakaman pun hening tanpa suara. Peti hijau pertama tampak di bawah bukit, dipanggul oleh pengusung jenazah. Imam memanjatkan doa untuk jenazah itu, dan ribuan orang di lereng bukit membungkuk bersama-sama. Uzunović tidak berdoa. Dia bangkit dari kursinya, menyalakan rokok, duduk di tanah di samping liang lahat yang kosong, dan menunggu. Biarkan orang lain berdoa, pikirnya. Dia telah memanjatkan begitu banyak doa, dan hanya untuk Ekrem-lah dia akan berdoa: Kamu meminta saya untuk menjaga keselamatan putra kita. Sekarang usianya sudah 22 tahun. Dia sudah kuliah. Dia ikut memanggul peti matimu. Dia akan membantu menurunkan peti itu ke liang lahat dan menutupinya dengan tanah, lalu, akhirnya, kamu dapat berbaring dengan tenang. !break!

3. MENEGAKKAN HUKUM

Distrik Mukono, Uganda

Pada suatu pagi di pertengahan musim panas, pengacara bernama Diana Angwech mengatur dua berkas tebal di pangkuannya, mempelajarinya. Ruang sidang yang sudah dimodifikasi itu berjarak sekitar satu jam berkendara dari ibu kota, Kampala. Di dalam, di lantai beton, tampak beberapa bangku kayu menghadap meja hakim, yang di atas permukaannya yang bersih hanya ada kalender, Quran, dan Alkitab tua yang diikat dengan tali.

Seorang penjaga di pintu menepi, dan orang-orang melangkah masuk, mengisi deretan bangku di samping dan di belakang Angwech. Janda Clare Tumushabe memangku putrinya yang berusia dua tahun, bungsu dari enam bersaudara. Dulu Tumushabe adalah wanita yang lebih pemalu, tetapi kepalanya sekarang berdiri tegak saat ia mengamati ruang sidang di sekelilingnya; ia tengah mengandung anak ini ketika suaminya meninggal—sakit kepala parah, rumah sakit tidak mampu menolongnya—dan Tumushabe belajar cara berbicara dengan jelas dan penuh semangat tentang apa yang terjadi berikutnya.

Dia dipanggil—saat sedang berkabung dan hamil—untuk menghadiri pertemuan dengan anggota keluarga dan klan suaminya. Mereka mengatakan anak-anak sekarang bukan miliknya, tetapi milik mereka; memerintahkannya agar tidak menggarap semua tanaman di halaman rumah, karena tanaman itu juga bukan lagi miliknya; dan kepadanya diperkenalkan kakak iparnya—kakak sulung suaminya, 20 tahun lebih tua darinya—yang akan pindah ke rumahnya dan menjadikannya sebagai istri ketiga.

Rumah dan lahan seluas sekitar satu hektare yang diwarisi suami Tumushabe dari ayahnya harus diserahkan sepenuhnya kepada mereka, begitu kata keluarga suaminya itu. Sebagai janda, Tumushabe, menurut tradisi, pada hakikatnya merupakan bagian dari properti.