Koboi di Tepian

By , Kamis, 21 Mei 2015 | 13:49 WIB

Ini kisah tentang darah, keberanian, dan tradisi. Seperti kebanyakan kisah seperti ini, pasti ada kuda, dan lelaki pendiam yang ternyata tangkas, dan ya, tentu saja, bahaya yang mengancam jiwa raga. Selain itu, seperti kebanyakan kisah seperti ini, alamnya liar bak dalam mitos, sebagian karena terletak begitu terpencil dan karenanya hampir mustahil dicapai dengan sarana biasa yang nyaman. Kalau tahu kira-kira letaknya, kita bisa menemukan Sutherland di peta topografi, berupa tanah menyerupai jari yang menunjuk ke Selat Última Esperanza di Cile, di Patagonia selatan.

Tetapi, di dekatnya tidak ada jalan, tidak pula permukiman. Di sebelah utara—tetapi sekali lagi, tak dapat dicapai dengan sarana biasa—ada Taman Nasional Torres del Paine, dan setelah itu padang es utara yang liar dan tak dapat dilalui, sehingga menghalangi Patagonia Cile dari wilayah lain negara itu. Di sebelah barat, puluhan pulau kecil membentuk teka-teki gambar di Samudra Pasifik selatan. Di sebelah timur, terdapat selat—yang sering bergejolak akibat angin di sini yang terkenal kencang, dan karenanya tidak selalu aman dilalui—dan akhirnya Puerto Natales, dengan toko dan restoran wisata yang menyenangkan.

Sebastián García Iglesias, lelaki 26 tahun yang bekerja sebagai insinyur pertanian tetapi berhati koboi, sudah makan asam-garam sebagai orang yang dibesarkan di sekitar hewan besar. Paman ibunya yang legendaris, Arturo Iglesias—Sebastián disebut sangat mirip dengannya—lahir di kota Puerto Natales pada tahun 1919. Keluarga Iglesias termasuk pemukim pertama di daerah ini pada tahun 1908, membuka toko kelontong untuk para perintis. Tak lama setelah keluarga itu mendirikan Estancia Mercedes di sepetak tanah yang menghadap ke pemandangan laut permai dan membelakangi pegunungan.

Lalu, pada tahun 1960, Arturo membeli Estancia Ana María, peternakan yang hanya dapat dicapai dengan naik perahu, atau naik kuda sepuluh jam kalau mau menyeberangi rawa yang berkali-kali menenggelamkan tunggangan hingga perut. Dan seolah Ana María belum cukup terpencil, Arturo membentuk permukiman di Sutherland, daerah yang hampir tak terjangkau di dalam Estancia Ana María. Sekali waktu dalam sejarahnya, seorang buruh ternak, istrinya, dan kedua anak mereka tinggal di rumah kecil di Sutherland, tetapi sang istri—mungkin sakit ingatan karena hidup terkucil—kabur dengan seorang nelayan, dan akhirnya buruh ternak dan kedua anaknya yang ditinggal ibu itu pergi dan menggiring ternak kembali ke peradaban.

 Ternak yang terpisah dari kawanan Arturo menjadi buas dan berkembang biak, seleksi alam membuat mereka lebih besar dan ganas, dan setiap musim panas Arturo mengumpulkannya, berkuda dari Estancia Ana María bersama anjing gembala dan kuda paling tepercaya. Kadang dia mengirim sapi liar itu—bagual namanya, yang berarti “sapi buas” bukan sekadar “liar”—ke pasar di Puerto Natales dengan perahu, dan kadang dia menggiringnya lewat darat menyusuri tebing setajam pisau, menyeberangi rawa, dan meniti batu licin, berkuda sambil menuntun kuda beban dan bagual jantan liar, rokok lintingan tangan senantiasa menempel di bibir bawah.

!break!

Tetapi, sekarang keluarga Iglesias—yaitu keluarga besar paman dan bibi dan sepupu yang tidak atau hampir tidak memiliki hubungan emosi dengan tempat itu—telah memutuskan untuk menjual Ana María, termasuk Sutherland, kepada seorang peternak kaya. Peternak itu telah mengizinkan Sebastián mengambil bagual di tanah itu untuk terakhir kalinya. Maka, Sebastián pun mulai mencari bagualero terbaik di Puerto Natales untuk membantunya, dan mungkin sebagian karena dia berangan-angan membawa wisatawan melakukan bagualeando, seraya mempertahankan tradisi tersebut, dia mengizinkan kami ikut.

Jadi, sejak awal sudah jelas: Ekspedisi ke Sutherland ini bukan penggiringan biasa ternak ke pasar. Pertama-tama, bagual di Sutherland belum pernah melihat tali selama beberapa generasi. Dan untuk mencapai Sutherland saja, kami berkuda bersama Sebastián dan tiga orang bagualero lain, 20 ekor kuda, dan 30 ekor anjing setidaknya dua hari melalui medan yang mengganjar salah langkah dengan maut.

Saya menelepon ke rumah untuk mencari dukungan moral. “Saya disuruh membawa kacamata pelindung,” saya bercerita kepada ayah saya. Hening sejenak. “Kacamata pelindung itu gunanya untuk menyerbu Polandia, bukan menggiring dua ekor sapi,” kata Ayah. Dia petani Zambia kelahiran Inggris yang berusia 70-an, dan sudah biasa terjun ke kegelapan Lembah Zambezi untuk menghalau gajah dari pohon pisang atau menakut-nakuti buaya agar keluar dari kolam ikan Ibu. “Apa tujuan kegiatan ini?”

“Lima puluh ekor bagual, kalau lancar,” kata saya—jadi untuk mendapat uang, tentu saja, tetapi juga sesuatu yang lebih sulit didefinisikan.

Ibu mengambil alih telepon. Dia mengingatkan bahwa dia pernah mengajak saya mencuri ternak sewaktu saya kecil, mencoleng sapi di perbatasan Mozambique dalam perang saudara Rhodesia. “Saya masih ingat,” kata saya. “Saya sangat pemberani.”

“Omong kosong,” kata Ibu. “Kamu penakut.” Saya mendengar Ayah menyela di belakang bahwa kalau saya selamat dari bagual, ada dua buaya di kolam ikan yang bisa kuajak bergulat kalau mau. Barangkali kacamatanya berguna untuk itu, katanya. Orang tua saya pun tertawa terpekik-pekik.

 !break!

SAYA TIDAK MEMBAWA KACAMATA, tetapi saat saya bertemu bagual di Sutherland, ternyata itu bukan masalah terpenting. Dedaunan di depan kami runtuh seolah-olah dilindas buldozer. “Cari pohon,” saya pernah dinasihati. Tetapi, sebelum saya sempat menggerakkan kuda, bagual jantan itu muncul merangsek. Dengan 30 anjing mengincar telinga dan kakinya pun, merobek daging lunak di bawah ekornya, hewan itu tetap tampak tak terkalahkan dan bertekad merusak. Para bagualero tidak terlihat di mana pun. Bagual jantan itu bertahan di tempat, sisi tubuhnya kembang kempis. Tampaknya sedang menimbang situasi. Orang yang menganggap konyol pendapat bahwa hewan punya perasaan pasti belum pernah memandang mata bagual jantan buas yang beringas.