Koboi di Tepian

By , Kamis, 21 Mei 2015 | 13:49 WIB

Saya mengarahkan kuda menaiki bukit ke kerumunan pohon. Semasa kecil saya bermain berjam-jam di dahan pohon flamboyan yang kuat, merasa berkuasa dan tak terkalahkan. Tetapi, saya sudah lama tak memiliki pemikiran ajaib itu, dan bagual ini tampaknya mampu menggempur pohon mana pun yang bisa saya panjat, sekalipun saya memanjat dari ketinggian pelana. “Bagual jantan akan menyeruduk,” saya pernah diperingati. “Jadi, panjat tinggi-tinggi.”

Pada malam sebelumnya, Abelino Torres de Azócar, bagualero 42 tahun yang memiliki kemampuan super dan wibawa tak tergoyahkan, menuturkan kisah dari ekspedisi masa lampau. “Saya tidak tahu apakah bagual jantan ini iblis, atau apa,” kata Abelino. “Kami memasang perangkap, menembaknya, menikamnya, tetapi dia tidak mati-mati.” Suatu malam, bagual itu masuk ke kemah dan menyerang para bagualero di tempat mereka tidur. “Kami mendengar dahan-dahan patah, tetapi tidak sempat melarikan diri. Bagual itu merusak seluruh tenda sementara kami masih di dalam. Sekujur tubuh kami penuh luka dan memar.”

Saat itu saya mengenali kisah itu setipe dengan cerita yang biasanya dituturkan di sekeliling api unggun Afrika selatan untuk melewatkan jam-jam antara makan malam dan kantong tidur. Daya pikat kisah seperti ini—saudara seorang misionaris yang diinjak gajah, pemburu profesional yang tertembak kliennya sendiri—sebagian terletak pada keyakinan bahwa kemalangan itu tak akan menimpa kita.

Tetapi, sekarang kisah itu sepertinya akan menimpa saya. Saya telah dididik oleh orang-orang tangguh agar menjadi orang yang tidak mengeluh dan tegar, tetapi tanpa diuji, sulit mengetahui batas keberanian dan ketahanan kita.

 !break!

SEBASTIÁN MEYAKINKAN kami bahwa kapal feri akan datang ke Sutherland untuk menjemput bagual, anjing, kuda, dan kami, tetapi perjalanan naik kuda ke sana terasa berat. Bukannya satu-dua hari, perjalanan itu memakan waktu seminggu, karena tanaman telah tumbuh kembali dengan lebat sejak masa Arturo. “Kita akan sampai ke Sutherland besok,” kata Sebastián lebih dari sekali. Tetapi, kuda kami selalu berusaha berbalik, terpeleset pada tanah yang licin akibat hujan. Dua kali kuda beban jatuh dari jalan, berguling-guling tak berdaya sampai tersangkut di pohon atau batu. Setiap kali perlu waktu berjam-jam untuk membantunya berdiri, dengan anjing menggigiti kakinya, manusia menarik-narik talinya. “Semua berjalan lancar,” kata Sebastián kepada pacarnya saat terakhir kali kami mendapat sinyal ponsel, beberapa waktu lalu. Pacarnya memohon agar dia mempertimbangkan berbalik sebelum terlambat. “Tidak, tidak. Semua lancar,” kata Sebastián.

Pada malam ketiga, ketika Sutherland masih entah berapa hari lagi jauhnya, kami kehabisan makanan. Kelaparan di jalur hutan bukan hal baru bagi bagualero. Mereka terbiasa bepergian dengan bawaan ringan, daripada terlalu membebani kuda yang sudah kepayahan. “Tetapi awasi anjing,” mereka memperingatkan dari pengalaman. “Mereka akan mulai makan barang kita yang terbuat dari kulit.” Tetapi anjing-anjing itu, yang rupanya sama-sama berpengalaman, cukup gesit. Saat kami mengeringkan pakaian basah dan berusaha berdiang di sekeliling api, anjing makan tali pacu Sebastián, tutup kulit sebuah botol, tali pelana. “Besok kita akan menemukan bagual, lalu kita bisa makan,” kata Sebastián.

Pada pagi keempat, para bagualero sarapan rokok dan yerba maté—teh herbal yang meredam selera makan, menyentak seperti secangkir kopi kental—dan berangkat dari kemah pagi-pagi untuk merambah jalan ke depan. Saya tetap di kemah, ditugasi menjaga kobar api, menghalau anjing dari kulit, dan mencegah kuda berlari pulang. Dalam tiga hari berat badan saya sudah turun—mulanya dua kilo yang tidak kentara, lalu beberapa kilo lagi yang tidak dikehendaki, dan sekarang hawa dingin yang tidak hilang-hilang itu sudah menetap, mula-mulai di ujung badan, lalu merasuk ke tulang. Tidak ada cara untuk menghangatkan diri. Di dekat api pun, angin meniupkan hujan dingin ke dalam kemah dadakan.

Ketika para bagualero kembali ke kemah beberapa jam kemudian, mereka juga beku dan basah kuyup, tangan mereka tercabik-cabik oleh duri dan gagang parang. Mereka bergiliran mengeringkan pakaian di atas api. Tanpa berkata-kata Abelino menyampirkan jaket keringnya pada bahu saya. “Kebaikan naluriah yang kekal,” kata saya belakangan, ketika ditanya apa yang paling mengesankan saya dari para bagualero itu—hal yang mengejutkan hanya kalau kita memikirkan brutalitas pekerjaan mereka.

 !break!

JIKA ADA CARA YANG lembut dan mudah untuk mengambil sapi buas dari Sutherland dan membawanya ke pasar, semua alternatif itu kabur dari benak saya ketika bagual jantan itu muncul dari hutan. Di sebagian besar tempat di dunia, area penggemukan, truk ternak, dan rumah jagal menyamarkan kekerasan antara konsumen dan yang dikonsumsi. Di sini situasinya lebih adil bagi sang hewan.

“Bagualero adalah orang yang bertarung tangan kosong dengan sapi liar, menggunakan keterampilan manusia,” Sebastián pernah menjelaskan. “Dengan pistol, keunggulan manusia terlalu besar. Tetapi, dengan tangan kosong, kita bisa kalah; kita mempertaruhkan nyawa.” Pada pertengahan 1960-an Arturo berusia empat puluhan ketika seekor bagual jantan akhirnya berhasil mengejarnya di rawa gambut yang kami seberangi pada hari pertama perjalanan ke Sutherland.