Mengecap Sisi Lain Kepulauan Riau

By , Rabu, 25 November 2015 | 12:04 WIB

Satwa melata yang kegemarannya melingkar di atas kepala di cabang pepohonan adalah hal yang sangat biasa ditemui, di kanopi hutan di sepanjang 6,8 kilometer aliran sungai yang bisa dilalui dalam waktu kurang lebih satu jam ini. “Ular bakau dominan di sini,” ungkap Maradu. “Ular lain yang biasa hidup di tempat ini adalah ular sawah, ular piton, dan ular hijau,” paparnya dengan kepala yang sesekali bergoyang, khas India.

Dalam perjalanan kembali menuju dermaga, bebas dari ular yang melingkar-lingkar, mata saya tertambat pada jajaran bakau muda yang tertanam rapi di tepian sungai. Sekelompok orang tampak sengaja menanamnya di sana. “Itu hasil karya anak-anak sekolah yang belajar mengenai konservasi hutan bakau di sini,” papar Maradu. Ia pun berkisah bahwa mereka datang dari berbagai tempat, terutama Singapura.

Kami duduk menghadap laut di Tanjungpinang, ibu kota Kepulauan Riau. Di Pondok Makan Sarbana, di Kampung Bulang Laut inilah saya sempat mencicipi satwa laut sejenis siput yang bernama gonggong, makanan kebanggaan masyarakat Kepulauan Riau.

Awalnya saya tak berani memandang daging lembek melambai-lambai yang telah saya cungkil keluar dari rumahnya tersebut. Namun, rasanya yang gurih cukup membuat saya ketagihan untuk mencoba beberapa gonggong lagi. Apalagi dengan bumbu bercabai atau kacang sebagai pelengkap.

Diklaim sebagai makanan laut penuh gizi dan bisa meningkatkan stamina, gonggong adalah ikon kebanggaan Kepulauan Riau. Selain menjadi motif batik, gonggong pernah menghiasi lambang perekonomian kreatif Tanjungpinang, satwa laut ini juga menjadi penghias tepi laut sebagai patung.

”Ayo foto saya, kalau saya mengaku ada di Tiongkok, ada yang percaya tidak ya?” ujar salah seorang rekan seperjalanan terkekeh jahil. Tempat ini memang luar biasa. Sebuah kawasan yang dikenal sebagai Wihara Ksitigarbha.

Gerbang batu setinggi gedung tiga lantai menghadang siapa pun yang akan masuk ke wilayah yang terletak di dekat Batu Sembilan, di bagian timur Tanjungpinang ini. Jalanan lurus diiringi patung di kiri kanan akan mengantarkan kita ke sebuah bagian yang dibentuk seperti amfiteater setengah lingkaran. Di  atas undakan-undakan itu, berjejeran patung-patung yang biasa disebut seribu wajah, setinggi orang dewasa atau lebih.

Ada sekitar 500 patung murid Buddha yang disebut Arhat, yaitu orang yang telah mencapai kesucian spiritual tertinggi dalam agama Buddha. Mirip dengan susunan prajurit terakota di Tiongkok. Bedanya, patung-patung ini berpose dalam berbagai gaya. Mimiknya bisa membuat para pengunjung terbahak.

Melangkahkan kaki sedikit menuju atas bukit, kita akan berjumpa dengan bangunan Wihara Ksitigarbha Bodhisattva. Dari sini, kita bisa memandang bebas ke arah gerbang batu, perbukitan dan lembahnya di kejauhan, serta rangkaian patung yang sedikit terhalang dedaunan di lereng bukit.

Angin berdesir membuat dedauan bergemerisik. Pantas saja tempat ini digunakan sebagai tempat berdoa. Pemandangan nan menawan, udara yang sejuk, serta suasana yang menenangkan jiwa di ketinggian menjadi tempat yang amat tepat untuk menghabiskan senja di Kepulauan Riau. Saya berjanji untuk kembali ke tempat ini suatu hari nanti.