Hati saya berdebar. Sudah sejak lama saya ingin menyambangi tempat ini. Siang itu, saya melangkah di sebuah lorong kelam. Di sebelah kanan saya, tampak sebuah ruangan, terpisah oleh pintu dan jendela berjeruji. Tak ada perabot di dalamnya. Hanya ada sinar remang lampu jingga yang membiaskan bayang jeruji ke dinding, seolah mengisahkan kisah pilu para tawanan yang pernah menghuninya.
Setelah mengamati ruang itu sejenak, saya mengayunkan kaki di dalam lorong, melewati sebuah ruang yang saya duga sebagai sebuah gudang. Langit-langitnya dibuat tinggi menjulang, dan ada lantai melandai yang saya duga sebagai tempat untuk mendorong wadah beroda pengangkut barang. Bisa jadi ini adalah tempat penyimpanan barang terlarang.
Tak sampai satu menit kemudian, saya tiba di sebuah ruang yang lebih kecil. Di hadapan saya, sebuah tempat duduk besar yang tampaknya digunakan oleh sang bos, diatur menghadap ke dinding. Di depan kursi, terdapat palang besar tergantung di langit-langit. Dua buah rantai menjuntai dari palang itu guna mengikat pergelangan tangan tersangka, tinggi di atas kepala. Inilah ruang penyiksaan.
Di sisi kanan ruangan, ada sebuah jendela besar yang menghubungkan ruang ini dengan ruang sebelahnya. Penasaran, saya mengintip ke sana. Saya terkejut. Cipratan darah kering menempel di mana-mana, terutama di dinding kiri, sama posisinya dengan tempat tersangka disiksa di ruangan ini. Warnanya merah kecokelatan, bukan warna darah segar. Bisa jadi, pembantaian dilakukan berberapa minggu sebelumnya.
Saya kembali ke lorong, berjalan seorang diri, menjumpai panel-panel listrik yang sudah berkarat di ujung tangga yang mengarah ke atas. Kesuraman kembali terasa. Bukan rasa takut yang kini ada dalam benak saya, namun kekaguman luar biasa. Di ujung lorong, saya melihat sinar putih benderang. Saya pun melangkah ke luar, tepat di bawah naungan atap setinggi langit-langit hanggar pesawat terbang.
Lorong yang baru saja saya masuki adalah salah satu ruang yang ada dalam kawasan Infinite Studios. Inilah studio film yang terletak di kawasan Nongsa, Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Lorong bawah tanah yang baru saja saya masuki tadi adalah lokasi pengambilan gambar untuk film Dead Mine yang diluncurkan pada 2012.
Sebelumnya, Wahyuni, HR and GA Manager Infinite Studios yang menemani saya berkeliling, mengajak rombongan kami ke ruang koleksi penyimpanan perlengkapan yang pernah digunakan untuk film ini. Beragam senjata api, topeng-topeng, serta potongan kepala mengerikan, tersusun dengan rapi di rak yang menempel di dinding ruangan, membuat saya bergidik.
Namun, tak semua bagian dalam kawasan ini dihantui sisi suram. Infinite Studios memiliki ruang animasi berdinding hitam yang dipenuh oleh jajaran perangkat komputer yang dioperasikan oleh anak-anak muda berbakat, dengan usia sekitar 20 tahunan yang sibuk dengan layar mereka masing-masing. Beberapa orang mengerubungi satu layar, tampaknya mendiskusikan hasil pekerjaan mereka. Patung-patung kecil yang mereka gunakan sebagai model dari tokoh kartun mereka, berdiri berjajaran di pembatas antarmeja. Kamera tidak boleh dioperasikan di ruangan ini, hal yang diwanti-wanti secara keras, sebelum pengunjung masuk ke dalamnya, dan disuguhi oleh film hasil karya mereka yang mendunia, seperti serial kartun Garfield.
Tempat pengambilan gambar tak hanya ada di dalam ruangan. Wahyuni mengajak saya berjalan-jalan, kali ini di ruang terbuka. Saya bagaikan baru melewati gerbang lorong waktu dan menjejakkan kaki di tanah Singapura pada periode 1960-an. Di “kota” ini terdapat toko buku, kedai teh, toko yang menjual obat-obatan dan tempat praktik sinse, juga toko penjahit lengkap dengan gulungan kain berwarna-warni, mesin jahit tua, serta pita-pita yang tertumpuk di balik rak kaca.
Saya menikmati poster-poster tahun 60-an yang tertempel di pilar pertokoan: iklan rokok, minuman, hingga pengumuman kebersihan rambut terkait kutu. Saya berjalan di lokasi pembuatan film miniseri Serangoon Road yang diputar di HBO. Benak saya pun dipenuhi suasana di dalam film: jalanan dipenuhi oleh pedagang sayur, para pembeli, dan ledakan-ledakan membahana di berbagai sudut jalan.
Mentari bersinar terik. Beberapa rekan saya menaiki perahu kecil, yang meloncat-loncat dengan ganasnya di atas gelombang laut. Air asin buyar di sekeliling mereka, setiap kali lunas perahu menampar air. Membasahi tubuh juga kamera mereka.
Perahu kecil itu bagai membuka jalan kami menuju Pulau Nikoi, resor cantik yang tertutup bagi umum, kecuali pengunjung yang memang hendak menginap di sana. Didominasi oleh kunjungan wisatawan mancanegara, yang menghabiskan malam di rumah-rumah kayu tanpa pendingin ruangan, televisi, atau telepon, suasana alami masih kental terasa di pulau seluas 15 hektare ini. Pepohonan rapat menaungi jalur trekking yang memecah belah pulau, menaungi para pejalan kaki dari terik mentari.
Kabarnya, lokasi pasir putih yang ada di pulau ini bisa berpindah. Saat musim angin utara, bentangan pasir di sisi utara malah berpindah ke selatan, dan sebaliknya, jika angin selatan berembus, pasirnya akan muncul di sisi utara. Kami tak berlama-lama menghabiskan waktu di pulau ini, karena masih ada pulau lain yang menunggu kedatangan kami: Pulau Beralas Pasir di perairan lepas pantai timur Bintan ini.
Menyaksikan Ola, sang penjaga pulau memecahkan kelapa, membuat sendok dari kulitnya, agar kami bisa mengambil dagingnya setelah menenggak air kelapa di tepi pantai yang bersih di tengah terik mentari, adalah hal yang amat mengasyikkan. Saat beberapa rekan seperjalanan memutuskan untuk bermain voli di atas pasirnya yang lembut dan putih, saya memilih untuk menumpang kapal kecil yang tadi menampari air. Kapal ini mengantarkan saya ke perairan jernih yang mengepung pulau ini, menyambangi warna-warni serta kehidupan yang mendiami dasar laut.
Saya menjumpai banyak karang meja di sana, juga ikan kepe-kepe dan dasi biru di antara ikan lainnya. Sayangnya, saat itu pertengahan September. Saat yang tidak tepat untuk menikmati secara penuh kemolekan pemandangan di bawah permukaan laut. Jika pengunjung datang beberapa bulan sebelumnya, seperti bulan Mei, banyak titik penyelaman yang menawarkan keelokan taman bawah laut seperti di sekitar Pulau Mapur.
“Kepulauan Riau adalah pintu masuk wisatawan mancanegara, peringkat ketiga setelah Bali dan Jakarta,” ucap Guntur Sakti, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kepulauan Riau. Sosok yang penuh semangat ini menjelaskan bahwa kepulauan ini memiliki 2.408 pulau, empat puluh persen dari pulau ini tak bernama dan tak berpenduduk, menawarkan banyak tempat wisata selam yang eksotis. “Jangan salah, Provinsi Kepri berbeda dengan Provinsi Riau,” tegas Guntur mengingatkan di sela candanya.
eesokan harinya, tak jauh dari Pulau Beralas Pasir, seorang warga Singapura bernama Arthur berjalan menuju tengah laut sambil berbincang-bincang dengan saya. Tangan kirinya memegang papan seluncur air, sedangkan tangan kanannya menahan tali-temali yang berujung di layar kecil yang tertiup angin. Jika cuaca sedang bersahabat atau banyak angin, ia sering datang ke tempat ini, membawa sendiri semua peralatan kiteboarding yang ia miliki.
Air semakin dalam dan saat permukaannya berada di atas lutut, tiba-tiba ia berhenti. Tali layar ia tegakkan ke atas. Dengan tangan satunya lagi ia meletakkan papan di kakinya. Ia pamit kepada saya dan tiba-tiba: whusssss. Ia memiringkan layarnya dan melesat di permukaan air, jauh ke tengah laut, meninggalkan saya yang terpana.
Para pemain berseliweran di kejauhan. Ardi, salah seorang pelatih kiteboarding di pesisir pantai ini berkisah bahwa inilah pantai terbaik untuk melakukan kiteboarding. Pada 2012 dan 2013, di sini diselenggarakan Kiteboarding Tour Asia, dengan kontestan sekitar 100 orang.
Saya sempat memperhatikan Arthur yang tak menggunakan pelampung. Apakah tak berbahaya melakukan kegiatan ini tanpa pelampung? Apalagi untuk pemula. Ardi tersenyum. Ia menunjukkan seorang peserta yang sedang berdiri nun jauh di sana. “Itu yang menjadi salah satu keunggulan tempat ini. Perairan ini amat dangkal, dengan jarak sekitar lebih dari 200 meter dari garis pantai. Dan angin bergerak dari sisi ke sisi, bukan dari pantai ke laut lepas,” papar Ardi.
Semalam, ketika kami berjalan di dermaga Argo Bintan Resort ini menuju ke restoran di tengah laut. Sejauh mata memandang, di bawah saya hanya ada daratan tak berair, membuat saya tak tahu di mana batasnya airnya saat itu.
“Biasanya saat musim utara, bulan 12 hingga pertengahan bulan Maret, adalah waktu yang terbaik,” ungkap Ardi. Saat itulah angin bertiup paling kencang. “Buat kami, no wind, no money,” pungkasnya.
erkendara sekitar lima menit dari BBT atau Bandar Bintan Telani Ferry Terminal di kawasan Lagoi yang terletak di arah barat laut Bintan, kami tiba di sebuah dermaga kayu yang tertelak di tepi Sungai Sebong. Sejauh mata memandang, tampak aliran sungai yang cokelat berkilauan ditimpa sinar surya, diapit oleh kehijauan tanaman yang memenuhi lanskap.
Saya menikmati embus angin yang menerpa, dari atas perahu bermotor berkapasitas 15 orang, yang kali ini membawa delapan penumpang. Ini salah satu pelancongan yang saya sukai: menelusuri hutan bakau hingga perahu tak bisa lagi menerobos kerimbunan bakau yang menutupi permukaan air payau.
”Ada sekitar 30 spesies bakau di area ini,” ujar Maradu, pemandu yang memiliki darah India saat menemani kami melewati sungai yang semakin sempit. Menurutnya, banyak satwa yang bisa kita jumpai di sini. Di antaranya kera dan burung bangau. Kami menjumpai tiga kepiting yang berdiam diri di antara lumpur sungai saat menyusuri tempat yang indah tersebut. Seekor biawak kecil terlihat melarikan diri menuju ke kerapatan bakau, dan seperti yang saya perkirakan sebelumnya: pasti kami berjumpa dengan ular.
Satwa melata yang kegemarannya melingkar di atas kepala di cabang pepohonan adalah hal yang sangat biasa ditemui, di kanopi hutan di sepanjang 6,8 kilometer aliran sungai yang bisa dilalui dalam waktu kurang lebih satu jam ini. “Ular bakau dominan di sini,” ungkap Maradu. “Ular lain yang biasa hidup di tempat ini adalah ular sawah, ular piton, dan ular hijau,” paparnya dengan kepala yang sesekali bergoyang, khas India.
Dalam perjalanan kembali menuju dermaga, bebas dari ular yang melingkar-lingkar, mata saya tertambat pada jajaran bakau muda yang tertanam rapi di tepian sungai. Sekelompok orang tampak sengaja menanamnya di sana. “Itu hasil karya anak-anak sekolah yang belajar mengenai konservasi hutan bakau di sini,” papar Maradu. Ia pun berkisah bahwa mereka datang dari berbagai tempat, terutama Singapura.
Kami duduk menghadap laut di Tanjungpinang, ibu kota Kepulauan Riau. Di Pondok Makan Sarbana, di Kampung Bulang Laut inilah saya sempat mencicipi satwa laut sejenis siput yang bernama gonggong, makanan kebanggaan masyarakat Kepulauan Riau.
Awalnya saya tak berani memandang daging lembek melambai-lambai yang telah saya cungkil keluar dari rumahnya tersebut. Namun, rasanya yang gurih cukup membuat saya ketagihan untuk mencoba beberapa gonggong lagi. Apalagi dengan bumbu bercabai atau kacang sebagai pelengkap.
Diklaim sebagai makanan laut penuh gizi dan bisa meningkatkan stamina, gonggong adalah ikon kebanggaan Kepulauan Riau. Selain menjadi motif batik, gonggong pernah menghiasi lambang perekonomian kreatif Tanjungpinang, satwa laut ini juga menjadi penghias tepi laut sebagai patung.
”Ayo foto saya, kalau saya mengaku ada di Tiongkok, ada yang percaya tidak ya?” ujar salah seorang rekan seperjalanan terkekeh jahil. Tempat ini memang luar biasa. Sebuah kawasan yang dikenal sebagai Wihara Ksitigarbha.
Gerbang batu setinggi gedung tiga lantai menghadang siapa pun yang akan masuk ke wilayah yang terletak di dekat Batu Sembilan, di bagian timur Tanjungpinang ini. Jalanan lurus diiringi patung di kiri kanan akan mengantarkan kita ke sebuah bagian yang dibentuk seperti amfiteater setengah lingkaran. Di atas undakan-undakan itu, berjejeran patung-patung yang biasa disebut seribu wajah, setinggi orang dewasa atau lebih.
Ada sekitar 500 patung murid Buddha yang disebut Arhat, yaitu orang yang telah mencapai kesucian spiritual tertinggi dalam agama Buddha. Mirip dengan susunan prajurit terakota di Tiongkok. Bedanya, patung-patung ini berpose dalam berbagai gaya. Mimiknya bisa membuat para pengunjung terbahak.
Melangkahkan kaki sedikit menuju atas bukit, kita akan berjumpa dengan bangunan Wihara Ksitigarbha Bodhisattva. Dari sini, kita bisa memandang bebas ke arah gerbang batu, perbukitan dan lembahnya di kejauhan, serta rangkaian patung yang sedikit terhalang dedaunan di lereng bukit.
Angin berdesir membuat dedauan bergemerisik. Pantas saja tempat ini digunakan sebagai tempat berdoa. Pemandangan nan menawan, udara yang sejuk, serta suasana yang menenangkan jiwa di ketinggian menjadi tempat yang amat tepat untuk menghabiskan senja di Kepulauan Riau. Saya berjanji untuk kembali ke tempat ini suatu hari nanti.