Ekowisata Hutan Pasang Surut

By , Selasa, 15 Desember 2015 | 19:12 WIB

Panas matahari memanggang pantai Karangsong. Kemarau di akhir September sedang di puncak musim. Sisa-sisa liburanHari Raya Kurban menggerakkan ratusan orang ke pantai utara di Kecamatan Indramayu, Indramayu, Jawa Barat, itu.

Belum lama turun dari kendaraan, sekelompok orang mengerubuti Rosikin dan Niman. Kepada petugas tiket Kelompok Tani Mangrove Pantai Lestari itu, pemimpin rombongan coba menawar harga tiket Kawasan Perlindungan Mangrove Karangsong. Datang beramai-ramai, tiket Rp15.000 jadinya terasa mahal.Mereka meminta diskon.

Rosikin membilang jumlah anggota rombongan. Begitu gaduhnya, Rosikin bingung menghitung.Lantas, dia memberi penjelasan: “Kita tidak bisa menurunkan harga tiket. Yang bisa kita lakukan mengurangi jumlah tiket.” Penjelasan Rosikin sirna dalam keriuhan pengunjung.

Hingga dua jam lewat tengah hari, orang yang datang telah mencapai angka 700. Rosikin hanya mengingat jumlah karcis yang terjual. Satu bendel berisi 100 lembar karcis. “Sudah habis tujuh bendel. Tapi itu tidak termasuk anak-anak, karena gratis,” tutur lelaki yang selalu memakai topi laken ini.

Semakin sore, pengunjung makin ramai. Mereka datang dengan berbagai kendaraan: mobil pribadi, mobil bak terbuka, sepeda motor, becak motor. Ada yang berombongan, ada yang berpasangan. Lahan parkir padat. Warung-warung ramai.

Untuk menuju kawasan mangrove Karangsong, pengunjung mesti menyeberangi Sungai Praja Gumiwang.Empat perahu Pantai Lestari memboyong para pengunjung menyeberangi sungai. Ramai-ramai, tapi tak sampai kelebihan muatan. Pengelola mangrove kadang harus repot menata penumpang untuk menjaga keseimbangan perahu.!break!

Pengunjung berangkat dari sisi selatan sungai menuju seberang, lalu memasuki kanal sodetan. Perjalanan susur sungai ini hanya lima menit.

Dari sisi selatansungai,terlihat penanda kawasan ini: KARANGSONG—seperti tulisan Holywood itu. Tulisan ini setinggi 2 meter, warnanya jingga, kontras dengan latar belakang hutan mangrove yang hijau. Beberapa pengunjung berhenti di depan KARANGSONG. Lalu berselfie.

Awalnya, penanda itu akan ditulis Mangrove Karangsong. “Tapi akhirnya hanya Karangsong. Karena kita ingin menunjukkan potensi desa ini tidak hanya mangrove. Karangsong masih punya industri pembuatan perahu, tempat pelelangan ikan, dan pantai,” tutur Eka Tarika, ketua bidang Penghijauan kelompok Pantai Lestari.

Sebelum sampai di hutan mangrove, para pengunjung melewati jalanan Karangsong yang lurus dan mulus. Jalan utama ini membujur dari barat ke timur, sejajar dengan Sungai Praja Gumiwang. Di sepanjang jalan, satu demi satu potensi Karangsong yang dipaparkan Tarika bisa dilihat langsung sambil berkendara.

Bersisian dengan jalan, di bantaran sungai, terdapat galangan kapal dan tempat pembuatan perahu nelayan. Kapal-kapal kayu nelayan umumnya berukuran di atas 30 grosston.

Di atas tanah, kapal 30 GT seukuran rumah tipe 45. Tingginya melampui atap rumah, panjang lunas 18 meter. Para tukang kayu menggarap kapal di tepi jalan raya, berdampingan dengan warung-warung makan. Di sejumlah tempat, kayu-kayu panjang dan lurus tergeletak di pinggir jalan. Kayu panjang nan lurus itu bakal menjadi lunas kapal. Puluhan lembar papan kayu setebal tiga jari berjajar-jajar.!break!

Tak mengherankan, saat melintasi jalan desa, industri kapal kayu Karangsong meninggalkan kesan dan pertanyaan bagi siapa pun. Mobil dan sepeda motor nampak mungil dibandingkan kapal-kapal megah  itu. Beberapa kapal yang sudah selesai mengapung ringan di Sungai Praja Gumiwang.