Desa yang Hilang di Hulu Tamiang

By , Senin, 5 September 2016 | 11:35 WIB

“Maaf, prajurit itu seperti peluru kan,” ujar seorang serdadu berlogat Batak. “Macam mana kalau komandan bilang tidak, ya kami tidak berangkat kan. Jadi maaf, kami tidak bisa mengawal. Namun, besok kami menyusul.”

“Apakah, sungai ini aman, Pak?” tanya saya kepada serdadu di sebelahnya. “Kalau tidak aman, kami batalkan misi ke hulu.”

Serdadu itu termangu. Lalu, dia meyakinkan saya di tengah gelombang keraguannya, “Aman! Saya doakan teman-teman selamat dan sehat.”

Di tepian hilir Tamiang yang berkarat dan berarus pesat, dua orang serdadu terpaksa mengurungkan niat mereka mengantar kami ke pedalaman Aceh Timur. Entahlah apa alasan sesungguhnya. Namun, menurut kabar dari komandan mereka, keadaan hulu Tamiang yang didera hujan mungkin mendatangkan arus deras sekitar dua atau tiga jam lagi.

Kami pun berangkat bernaung rinai. Dari bantaran sungai yang berkerikil, tampak satu-satunya perahu di tepian dermaga kecil Batu Sumbang. Sang juru mudi yang berkerudung plastik tampak semringah melihat kami, seperti akhir dari kerinduan datangnya bintang pujaan. Tali mesin ditarik, dan perahu melawan arus meninggalkan Batu Sumbang.

Sialnya, saya duduk tepat di belakang mesin yang memekakkan dan memuakkan—serta membutuhkan ketabahan. Perahu melewati kangkangan tebing karst bagian Bukit Sangkapane. Begitu memasuki celah, perahu kami menjumpai tikungan sempit. Kemudian, menyusul sebongkah batu besar yang membelah sungai Tamiang. Batu itu menyisakan celah sempit untuk perahu kami. “Batu Kodok” demikian warga setempat menjulukinya.

Kala musim kemarau, penumpang harus turun untuk mengangkat perahu. Pasalnya, haluan atau buritan perahu mereka bisa kandas menghantam batu. Mujurnya, kami melewatinya saat musim hujan, sehingga tak perlu mengangkat perahu. Apakah kami benar-benar mujur? Pada kenyataannya ketika musim hujan justru lebih banyak kecelakaan.

Kendati air cukup tinggi untuk melintasi celah, perahu akan menghadapi masalah lain. Saat musim hujan, juru mudi harus lihai mengendalikan perahu supaya tak tersedot pusaran arus.

Saya berdegap-degap ketika perahu berbelok untuk menghindari pusaran tenang, namun berdaya isap kuat. Jika juru mudi salah memilih jalur, perahu bisa karam karena masuk dalam pusaran yang memusingkan. Gawat!

Kabarnya, dalam musim hujan dua tahun silam, sungai ini bertubi-tubi memakan korban. Bayangkan, dalam enam bulan terdapat enam kecelakaan perahu di Batu Kodok yang memakan korban jiwa. Bahkan satu perahu yang tenggelam baru ditemukan pada enam bulan berikutnya.

"Akses jalan ke Tampor Paloh yang hanya bisa lewat sungai. Kalau banjir musibah, kemarau juga musibah.”

Beberapa tahun silam, usai liburan dari Kota Langsa, perahu yang ditumpangi anak-anak Tampor Paloh pernah tenggelam juga di Batu Kodok. Beruntung mereka pandai berenang sehingga selamat. Sementara, beberapa bulan silam, perahu yang mengangkut bantuan bahan bangunan untuk Tampor Paloh telah terperosok dalam pusaran dan tenggelam. Hampir semua penumpangnya tewas.

Saya berdegap-degap menantikan perahu ini segera melintasinya. Dan, syukurlah, kami melewati cobaan medan Batu Kodok dengan aman.

Perahu kami melewati kangkangan tebing sepanjang sekira tiga kilometer, mengingatkan saya pada film-film petualangan berlatar hutan Amazon di Amerika Selatan. Saya juga menyaksikan gua-gua karst yang menganga di tebing, mungkinkah sang pitarah sumatra pernah menghuninya?