“Maaf, prajurit itu seperti peluru kan,” ujar seorang serdadu berlogat Batak. “Macam mana kalau komandan bilang tidak, ya kami tidak berangkat kan. Jadi maaf, kami tidak bisa mengawal. Namun, besok kami menyusul.”
“Apakah, sungai ini aman, Pak?” tanya saya kepada serdadu di sebelahnya. “Kalau tidak aman, kami batalkan misi ke hulu.”
Serdadu itu termangu. Lalu, dia meyakinkan saya di tengah gelombang keraguannya, “Aman! Saya doakan teman-teman selamat dan sehat.”
Di tepian hilir Tamiang yang berkarat dan berarus pesat, dua orang serdadu terpaksa mengurungkan niat mereka mengantar kami ke pedalaman Aceh Timur. Entahlah apa alasan sesungguhnya. Namun, menurut kabar dari komandan mereka, keadaan hulu Tamiang yang didera hujan mungkin mendatangkan arus deras sekitar dua atau tiga jam lagi.
Kami pun berangkat bernaung rinai. Dari bantaran sungai yang berkerikil, tampak satu-satunya perahu di tepian dermaga kecil Batu Sumbang. Sang juru mudi yang berkerudung plastik tampak semringah melihat kami, seperti akhir dari kerinduan datangnya bintang pujaan. Tali mesin ditarik, dan perahu melawan arus meninggalkan Batu Sumbang.
Sialnya, saya duduk tepat di belakang mesin yang memekakkan dan memuakkan—serta membutuhkan ketabahan. Perahu melewati kangkangan tebing karst bagian Bukit Sangkapane. Begitu memasuki celah, perahu kami menjumpai tikungan sempit. Kemudian, menyusul sebongkah batu besar yang membelah sungai Tamiang. Batu itu menyisakan celah sempit untuk perahu kami. “Batu Kodok” demikian warga setempat menjulukinya.
Kala musim kemarau, penumpang harus turun untuk mengangkat perahu. Pasalnya, haluan atau buritan perahu mereka bisa kandas menghantam batu. Mujurnya, kami melewatinya saat musim hujan, sehingga tak perlu mengangkat perahu. Apakah kami benar-benar mujur? Pada kenyataannya ketika musim hujan justru lebih banyak kecelakaan.
Kendati air cukup tinggi untuk melintasi celah, perahu akan menghadapi masalah lain. Saat musim hujan, juru mudi harus lihai mengendalikan perahu supaya tak tersedot pusaran arus.
Saya berdegap-degap ketika perahu berbelok untuk menghindari pusaran tenang, namun berdaya isap kuat. Jika juru mudi salah memilih jalur, perahu bisa karam karena masuk dalam pusaran yang memusingkan. Gawat!
Kabarnya, dalam musim hujan dua tahun silam, sungai ini bertubi-tubi memakan korban. Bayangkan, dalam enam bulan terdapat enam kecelakaan perahu di Batu Kodok yang memakan korban jiwa. Bahkan satu perahu yang tenggelam baru ditemukan pada enam bulan berikutnya.
"Akses jalan ke Tampor Paloh yang hanya bisa lewat sungai. Kalau banjir musibah, kemarau juga musibah.”
Beberapa tahun silam, usai liburan dari Kota Langsa, perahu yang ditumpangi anak-anak Tampor Paloh pernah tenggelam juga di Batu Kodok. Beruntung mereka pandai berenang sehingga selamat. Sementara, beberapa bulan silam, perahu yang mengangkut bantuan bahan bangunan untuk Tampor Paloh telah terperosok dalam pusaran dan tenggelam. Hampir semua penumpangnya tewas.
Saya berdegap-degap menantikan perahu ini segera melintasinya. Dan, syukurlah, kami melewati cobaan medan Batu Kodok dengan aman.
Perahu kami melewati kangkangan tebing sepanjang sekira tiga kilometer, mengingatkan saya pada film-film petualangan berlatar hutan Amazon di Amerika Selatan. Saya juga menyaksikan gua-gua karst yang menganga di tebing, mungkinkah sang pitarah sumatra pernah menghuninya?
Cadas setinggi gedung 20 lantai di kaki Bukit Sangkapane ini bagaikan pintu gerbang menuju celah surealisme alam. Sejak kami melewatinya, sinyal selular pun pupus sehingga hubungan dengan dunia luar juga terputus. Bagi orang yang gemar bermedia sosial terus-menerus, sejak saat itu kehidupannya seolah mampus.
Kami hampir menempuh 20 kilometer di atas Tamiang yang bergoyang. Lepas dari kangkangan cadas, ketika aliran sungai bercabang, perahu kami merapat ke sebuah dermaga. Sampailah kami di Tampor Paloh, gugusan kampung suku Gayo sekaligus desa terujung di hulu Tamiang.
Dari tepian dermaga, saya memandangi hamparan pasir berkerakal di tanah seberang, yang dijepit dua aliran sungai. Seorang warga Tampor Paloh bercerita kepada saya bahwa hamparan pasir tadi merupakan tapak desanya yang lenyap dihantam banjir pada satu dasawarsa silam.
Bencana banjir yang melibas pada akhir 2006, telah menghanyutkan permukiman dan segala harapan warganya. Pohon-pohon kelapa, kebun, sawah, sekolah dasar hingga mersah semuanya musnah terkelupas banjir. Naskah dan peranti pusaka pun musnah. “Orang-orang mengungsi ke bukit,” ujar Hasbi. “Alhamdulillah tak ada korban jiwa, semua selamat.”
Tampor Paloh nyaris hilang dalam sejarah. Sejak peristiwa mengerikan itu pemuka adat bersepakat membawa warganya untuk menghuni pinggang bukit di seberang sungai. Tanahnya datar, namun berlokasi beberapa ratus meter dari Tamiang, sehingga dijamin aman dari luapannya. Rumah-rumah permanen yang tertata mulai dihuni pada awal 2008.
Sebagai pendatang, tak eloklah jika saya tidak bertamu ke rumah keuchik, setara kepala desa. Ali Napiah, namanya. Percakapannya membuat saya merenungi Tanah Hikayat. Aceh memang ditakdirkan tanah yang kaya. Jika tidak kaya, mengapa sampai ada gerakan yang menginginkan merdeka. Namun, sebuah ironi apabila masih ada warganya yang tak sejahtera.
“Mereka belum merdeka dari kebodohan, ketertinggalan, termasuk dalam fasilitas umum, dan perhatian pemerintah.”
“Desa kita ini daerah terpencil, banyak kebutuhan yang belum terpenuhi,” ujar Keuchik Ali. “Pertama, pendidikan sebagai masa depan anak-anak. Kedua, masalah listrik. Ada delapan desa di Kecamatan Simpang Jernih, namun hanya desa kami yang belum dialiri listrik negara. Ketiga, masalah akses jalan ke Tampor Paloh yang hanya bisa lewat sungai. Kalau banjir musibah, kemarau juga musibah.”
Musibah telah membawa berkah bagi Tampor Paloh. Sejak mereka menghuni tanah baru ini, berbagai bantuan mencoba meringankan hidup mereka. Saya menjumpai Ali Muda Tinedung dan Rahmad Rezeki Nasution, para sukarelawan yang “menemukan” kembali desa yang hilang ini pada 2007. Bersama warga, mereka mendirikan sekolah lanjutan bagi anak-anak lulusan SDN Tampor Paloh. Sekolah hasil swadaya warga ini bertajuk “SMP Merdeka”.
“Mereka belum merdeka dari kebodohan, ketertinggalan, termasuk dalam fasilitas umum, dan perhatian pemerintah,” ujar Ali mengenai nama sekolah yang dirintisnya. “Namun, karena nama “Merdeka” pula saya pernah diperiksa di Koramil. Mungkin dicurigai punya gerakan tertentu.”
Sekolah yang berada di bukit seberang perkampungan itu beratap dinding papan, berlantai tanah, dan beratap seng yang bocor saat hujan menggerentang. Anak-anak Kelas I dan II belajar bersama dalam satu ruang yang sama, sementara Kelas III belajar di balai-balai panggung sembari lesehan atau tiduran.
Saya menjumpai keajaiban di SMP Merdeka. Keajaiban pertama, guru mereka hanya seorang sehingga harus mengajar secara simultan. Keajaiban selanjutnya, syarat pendaftaran bagi siswa baru bukanlah uang, namun setiap orang tua siswa diwajibkan menyumbang satu papan dan satu tiang kayu.
Rezeki menambahkan bahwa semenjak bergeliatnya SMP Merdeka, terbit pula harapan baru. Kini, gadis-gadis Tampor Paloh mulai berhasrat menunda pernikahan mereka, kendati tradisi menyarankan pernikahan pada usia 13 hingga 17 tahun. Namun demikian, mereka tak bisa menghindari tradisi peminangan, yang biasa terjadi pada usia sekolah dasar.
“Setelah dipinang kami tidak boleh gabung, jalan berdua tidak boleh, bahkan duduk berdua bersama teman-teman pun tidak bisa lagi,” ujar Srimah, siswa di Kelas III yang telah dipinang. “Yah, namanya peraturan dari adat.”
Srimah, yang seumur hidupnya belum pernah melihat kota kabupaten, berharap pernikahannya dapat ditunda sampai dia merampungkan sekolahnya. Dia sungguh berharap dapat melanjutkan ke tingkat SMA atau perguruan tinggi.
“Setelah dipinang kami tidak boleh gabung, jalan berdua tidak boleh, bahkan duduk berdua bersama teman-teman pun tidak bisa lagi.”
Harapannya untuk bersekolah SMA tampaknya segera terkabul. Ketika kami berbincang, beberapa teman laki-laki sekelasnya tengah bergotong-royong membawa papan dan seng untuk mendirikan “SMA Merdeka”.
Sepertinya, desa yang hilang itu telah kembali bersama harapan baru generasi penerusnya. Semoga, nasib generasi penerus itu juga merdeka seperti nama sekolah mereka. Kini, sembilan anak lulusan SMP ini sedang berada dalam perkuliahan di sebuah universitas di Langsa. Srimah pun merindu ke Langsa.
Para pujangga Aceh telah melahirkan rupa-rupa hikayat, bentuk sastra Melayu klasik yang kerap dituturkan sebagai pelipur lara hingga pelecut asa. Tanah Hikayat menjadi salah satu dari sekian julukan untuk pucuk Pulau Perca. Barangkali, ikhtiar anak Tampor Paloh untuk bersekolah demi mencapai cita-citanya akan dikenang dalam hikayat wangsa mereka.
“Kalau tidak sekolah, saat tua menyesal,” ujar Srimah. “Saya ingin menjadi guru di sini, ingin berbagi ilmu.”