Cadas setinggi gedung 20 lantai di kaki Bukit Sangkapane ini bagaikan pintu gerbang menuju celah surealisme alam. Sejak kami melewatinya, sinyal selular pun pupus sehingga hubungan dengan dunia luar juga terputus. Bagi orang yang gemar bermedia sosial terus-menerus, sejak saat itu kehidupannya seolah mampus.
Kami hampir menempuh 20 kilometer di atas Tamiang yang bergoyang. Lepas dari kangkangan cadas, ketika aliran sungai bercabang, perahu kami merapat ke sebuah dermaga. Sampailah kami di Tampor Paloh, gugusan kampung suku Gayo sekaligus desa terujung di hulu Tamiang.
Dari tepian dermaga, saya memandangi hamparan pasir berkerakal di tanah seberang, yang dijepit dua aliran sungai. Seorang warga Tampor Paloh bercerita kepada saya bahwa hamparan pasir tadi merupakan tapak desanya yang lenyap dihantam banjir pada satu dasawarsa silam.
Bencana banjir yang melibas pada akhir 2006, telah menghanyutkan permukiman dan segala harapan warganya. Pohon-pohon kelapa, kebun, sawah, sekolah dasar hingga mersah semuanya musnah terkelupas banjir. Naskah dan peranti pusaka pun musnah. “Orang-orang mengungsi ke bukit,” ujar Hasbi. “Alhamdulillah tak ada korban jiwa, semua selamat.”
Tampor Paloh nyaris hilang dalam sejarah. Sejak peristiwa mengerikan itu pemuka adat bersepakat membawa warganya untuk menghuni pinggang bukit di seberang sungai. Tanahnya datar, namun berlokasi beberapa ratus meter dari Tamiang, sehingga dijamin aman dari luapannya. Rumah-rumah permanen yang tertata mulai dihuni pada awal 2008.
Sebagai pendatang, tak eloklah jika saya tidak bertamu ke rumah keuchik, setara kepala desa. Ali Napiah, namanya. Percakapannya membuat saya merenungi Tanah Hikayat. Aceh memang ditakdirkan tanah yang kaya. Jika tidak kaya, mengapa sampai ada gerakan yang menginginkan merdeka. Namun, sebuah ironi apabila masih ada warganya yang tak sejahtera.
“Mereka belum merdeka dari kebodohan, ketertinggalan, termasuk dalam fasilitas umum, dan perhatian pemerintah.”
“Desa kita ini daerah terpencil, banyak kebutuhan yang belum terpenuhi,” ujar Keuchik Ali. “Pertama, pendidikan sebagai masa depan anak-anak. Kedua, masalah listrik. Ada delapan desa di Kecamatan Simpang Jernih, namun hanya desa kami yang belum dialiri listrik negara. Ketiga, masalah akses jalan ke Tampor Paloh yang hanya bisa lewat sungai. Kalau banjir musibah, kemarau juga musibah.”
Musibah telah membawa berkah bagi Tampor Paloh. Sejak mereka menghuni tanah baru ini, berbagai bantuan mencoba meringankan hidup mereka. Saya menjumpai Ali Muda Tinedung dan Rahmad Rezeki Nasution, para sukarelawan yang “menemukan” kembali desa yang hilang ini pada 2007. Bersama warga, mereka mendirikan sekolah lanjutan bagi anak-anak lulusan SDN Tampor Paloh. Sekolah hasil swadaya warga ini bertajuk “SMP Merdeka”.
“Mereka belum merdeka dari kebodohan, ketertinggalan, termasuk dalam fasilitas umum, dan perhatian pemerintah,” ujar Ali mengenai nama sekolah yang dirintisnya. “Namun, karena nama “Merdeka” pula saya pernah diperiksa di Koramil. Mungkin dicurigai punya gerakan tertentu.”
Sekolah yang berada di bukit seberang perkampungan itu beratap dinding papan, berlantai tanah, dan beratap seng yang bocor saat hujan menggerentang. Anak-anak Kelas I dan II belajar bersama dalam satu ruang yang sama, sementara Kelas III belajar di balai-balai panggung sembari lesehan atau tiduran.
Saya menjumpai keajaiban di SMP Merdeka. Keajaiban pertama, guru mereka hanya seorang sehingga harus mengajar secara simultan. Keajaiban selanjutnya, syarat pendaftaran bagi siswa baru bukanlah uang, namun setiap orang tua siswa diwajibkan menyumbang satu papan dan satu tiang kayu.
Rezeki menambahkan bahwa semenjak bergeliatnya SMP Merdeka, terbit pula harapan baru. Kini, gadis-gadis Tampor Paloh mulai berhasrat menunda pernikahan mereka, kendati tradisi menyarankan pernikahan pada usia 13 hingga 17 tahun. Namun demikian, mereka tak bisa menghindari tradisi peminangan, yang biasa terjadi pada usia sekolah dasar.