Desa yang Hilang di Hulu Tamiang

By , Senin, 5 September 2016 | 11:35 WIB

“Setelah dipinang kami tidak boleh gabung, jalan berdua tidak boleh, bahkan duduk berdua bersama teman-teman pun tidak bisa lagi,” ujar Srimah, siswa di Kelas III yang telah dipinang. “Yah, namanya peraturan dari adat.”

Srimah, yang seumur hidupnya belum pernah melihat kota kabupaten, berharap pernikahannya dapat ditunda sampai dia merampungkan sekolahnya. Dia sungguh berharap dapat melanjutkan ke tingkat SMA atau perguruan tinggi.

“Setelah dipinang kami tidak boleh gabung, jalan berdua tidak boleh, bahkan duduk berdua bersama teman-teman pun tidak bisa lagi.”

Harapannya untuk bersekolah SMA tampaknya segera terkabul. Ketika kami berbincang, beberapa teman laki-laki sekelasnya tengah bergotong-royong membawa papan dan seng untuk mendirikan “SMA Merdeka”.

Sepertinya, desa yang hilang itu telah kembali bersama harapan baru generasi penerusnya. Semoga, nasib generasi penerus itu juga merdeka seperti nama sekolah mereka. Kini, sembilan anak lulusan SMP ini sedang berada dalam perkuliahan di sebuah universitas di Langsa. Srimah pun merindu ke Langsa.

Para pujangga Aceh telah melahirkan rupa-rupa hikayat, bentuk sastra Melayu klasik yang kerap dituturkan sebagai pelipur lara hingga pelecut asa. Tanah Hikayat menjadi salah satu dari sekian julukan untuk pucuk Pulau Perca. Barangkali, ikhtiar anak Tampor Paloh untuk bersekolah demi mencapai cita-citanya akan dikenang dalam hikayat wangsa mereka.

“Kalau tidak sekolah, saat tua menyesal,” ujar Srimah. “Saya ingin menjadi guru di sini, ingin berbagi ilmu.”