Kartu Pos Potret Kehidupan Jawa: Pesan Hindia Belanda ke Penjuru Dunia

By Eric Taher, Minggu, 25 Juli 2021 | 18:00 WIB
Perbandingan potret hitam putih dan warna dari seorang ningrat Jawa. Foto warna biasanya dikeliri secara manual, dan dijual dengan harga lebih mahal. Jika model bisa berbicara, apa yang ingin ia sampaikan kepada kita? (Koleksi Olivier Johannes Raap/Potret Pendoedoek di Djawa Tempo Doeloe)

Meskipun berlatar di Pulau Jawa, Olivier mencatat bahwa tidak hanya orang Jawa  yang menjadi model. Ada pula kartu pos dengan model orang Arab, Betawi, ataupun berdarah Indo.

"Orang Eropa juga dipotret dalam kartu pos Jawa pada zamannya," tuturnya. Bedanya, jika orang pribumi digambarkan sebagai masyarakat yang dekat dengan alam, maka orang Eropa lebih digambarkan sebagai orang modern yang punya waktu luang untuk berwisata.

Tidak hanya etnis, foto-foto dalam akrtu pos juga dapat menggambarkan kelas sosial. Para majikan atau orang kelas atas biasanya duduk di kursi, sementara pelayannya berdiri atau duduk di lantai.

Baca Juga: Hulptroepen, Satuan Lokal Hindia-Belanda dalam Perang Dipanagara

Kartu pos berjudul Petugas Pengiriman Telegram Bersepeda, penerbit Kolff & Co. Batavia, sekitar 1910. (Koleksi Olivier Johannes Raap/Potret Pendoedoek di Djawa Tempo Doeloe)

Menariknya, beberapa foto dalam kartu pos diwarnai secara manual. Karena ketelatenan dan waktu yang dibutuhkan, biasanya kartu pos warna dijual dengan harga lebih mahal.

"Kartu pos yang diedarkan juga sering kali menggunakan foto yang sudah tidak baru lagi," kata Olivier. Akibatnya, usia foto dalam kartu pos menjadi sulit diketahui. Untuk mengetahui asal foto tersebut, ia harus membandingkan foto tersebut dengan banyak foto lain dalam periode waktu tertentu. Dalam pencariannya, ia terkadang mengamati beberapa kartu pos yang menggunakan foto yang berasal dari tiga puluh tahun yang lalu.

Baca Juga: Gejolak Perjuangan Buruh dalam Masa Kolonialisme Belanda dan Jepang

Potret kebiasaan orang Jawa menjadi nilai eksotis bagi mata Eropa: berjongkok, mandi, dan menempatkan posisi lebih rendah dari orang yang lebih tua. (Koleksi Olivier Johannes Raap/Potret Pendoedoek di Djawa Tempo Doeloe)

"Sistem royalti juga sepertinya tidak ada sama sekali," ceritanya. Baginya, banyak penerbit yang mencari gambar dari manapun, biasanya dari berbagai buku. Akibatnya, fotografer tidak mendapat apresiasi sepeser pun. "[Akan tetapi] ada juga beberapa fotografer yang menerbitkan karya [kartu pos] mereka sendiri," lanjutnya.

Dulu kita mengganggap bahwa hanya orang-orang penting yang tercatat dalam sejarah. Akan tetapi, Olivier menunjukkan koleksi kartu pos Hindia Belanda yang umumnya mengabadikan golongan rakyat jelata. Mereka tidak dikenal, namun kehadirannya abadi.

Kartu pos tidak sekadar benda pos, tetapi juga berisi informasi visual tentang geografi dan etnografi asal kartu pos itu. Kini, selembar kartu pos ibarat mesin waktu. Kita diajak menelusuri potret-potret sejarah kehidupan, yang bahkan tidak terdokumentasi oleh media lain. Lewat pesan yang lestari sebagai warisan visual, kita berusaha untuk lebih mengakrabi dan mengenali generasi seabad silam. 

Baca Juga: Nagari Sijunjung: Emas Hitam Tuan De Greve sampai Jejak Jepang

Kartu pos yang menampilkan perjodohan muda di Semarang, sekitar 1900. Tampaknya pepatah Jawa 'alon-alon asal kelakon' tidak berlaku dalam urusan menikah. Dalam adat Jawa, orang tua menjodohkan anak tanpa proses pacaran. (Koleksi Olivier Johannes Raap/Potret Pendoedoek di Djawa Tempo Doeloe)