Kartu Pos Potret Kehidupan Jawa: Pesan Hindia Belanda ke Penjuru Dunia

By Eric Taher, Minggu, 25 Juli 2021 | 18:00 WIB
Perbandingan potret hitam putih dan warna dari seorang ningrat Jawa. Foto warna biasanya dikeliri secara manual, dan dijual dengan harga lebih mahal. Jika model bisa berbicara, apa yang ingin ia sampaikan kepada kita? (Koleksi Olivier Johannes Raap/Potret Pendoedoek di Djawa Tempo Doeloe)

 

Nationalgeographic.co.id—Kapan terakhir Anda menggunakan kartu pos? Rasanya jarang sekali kartu pos digunakan saat ini. Di zaman teknologi digital, komunikasi antarbenua bahkan dapat dilakukan dengan instan. Hal ini tentu berbeda dengan kartu pos. Layaknya surat dan paket yang dikirim melalui kurir, pengiriman cendera mata ini bisa memakan waktu berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan.

Kartu pos memang sekilas serupa dengan surat biasa. Kita dapat bertukar kabar dan sapa, mencantumkan prangko, dan juga mengirimkan ucapan selamat hari raya.

Namun, sejatinya kartu pos lebih dari sekadar surat biasa. "Banyak kartu pos mempunyai nilai sejarah. Mereka merupakan medium pelestari foto kuno yang menjadi dokumentasi keadaan zaman itu," ujar Olivier Johannes Raap. Dia merupakan seorang peminat sejarah Hindia Belanda sekaligus kolektor kartu pos asal Delft, Belanda.

 

Koleksinya berfokus pada kartu pos dari Jawa, dan mengantarkannya ke dalam sejumlah petualangan mencari asal usul tempat dan budaya dari setiap kartu posnya. Hasil penelitiannya sudah dipublikasikan ke dalam sejumlah buku, salah satunya Potret Pendoedoek di Djawa Tempo Doeloe yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada Juni 2021.

Buku itu memuat sekitar 170 kartu pos kuno dari koleksinya yang bergambar potret orang, diiringi narasi penjelasan. Beberapa potret merupakan foto dengan banyak figuran, sehingga jumlah total orang yang terekam mencapai sekitar seribu. Mereka berasal dari berbagai etnis dan kelas sosial. Olivier mengelompokkan kartu posnya berdasarkan beberapa tema yang menerangi berbagai aspek dari penduduk di Pulau Jawa pada masa sekitar 1900-1940.

Olivier membawakan ceritanya dalam acara Bincang Redaksi ke-29. Acara ini diselenggarakan National Geographic Indonesia dan Kepustakaan Populer Gramedia, yang dipandu oleh Managing Editor Mahandis Yoanata Thamrin, sekaligus Tuan Rumah Bincang Redaksi.

"Kartu pos bisa membawa banyak tema, misalnya bangunan atau kereta api, tetapi hari ini kita berfokus pada kartu pos bergambar manusia," tutur Olivier. Dengan bahasa Indonesianya yang fasih, Olivier menceritakan perkembangan kartu pos di Hindia Belanda, dan bagaimana pose model dalam kartu pos mencerminkan budaya dan nilai masyarakat masa lalu.

 Baca Juga: Scott Merrilees: Bingkai Kenangan Hindia Belanda dalam Kartu Pos

Kartu pos yang menampilkan seorang perempuan Jawa yang diterbitkan Lambert & Co. Singapore, sekitar 1900. Fotografernya, Gustav Richard Lambert (1846-1907). Lukisan latar belakangnya meniru suasana lingkungan, tampaknya bertujuan untuk memperkuat prasangka bahwa orang Jawa hidup dekat dengan alam. (Koleksi Olivier Johannes Raap/Potret Pendoedoek di Djawa Tempo Doeloe)

"Pada masa kolonial, kebanyakan kartu pos diproduksi oleh penerbit swasta," ceritanya. Ia melihat, bahwa kartu pos banyak digunakan orang Belanda sebagai sarana bertukar kabar. Gambar-gambar pada kartu pos menjadi pemanis, yang menunjukkan citra kehidupan eksotis yang tidak ada di negeri mereka sendiri.

Model-model dalam foto biasanya dicari oleh asisten sang fotografer. Mereka diundang ke dalam studio dengan iming-iming imbalan tertentu. Tidak diketahui apakah sang fotografer memberikan hasil fotonya kepada para model. Namun yang pasti, kebanyakan model bukanlah orang terkenal. Mereka hanya orang biasa yang diabadikan dalam jepret kamera.

Para model dipotret dengan berbagai pose yang beragam. Zaman dulu, pose orang yang difoto selalu diarahkan oleh fotografer. Hal yang penting, pose tersebut harus cukup serius dan merekam karakter dan ekspresi. Latar belakang dan elemen yang ikut difoto berfungsi untuk menambah suasana, sesuai konsep kreatif yang telah dibentuk oleh fotografer.

"Pada awalnya, banyak foto menampilkan model dalam pose bersandar pada kursi atau meja," ungkap Olivier. Prop perabotan diberikan supaya model mempunyai tumpuan badan, sehingga mereka tidak banyak bergerak. Hal ini tidak mengherankan mengingat kamera masa lalu tidak dapat menjepret secepat sekarang.

Di sisi lain, Olivier juga melihat beberapa kartu pos dengan pose model yang lebih elegan. Melalui arahan fotografer andal, seorang model dapat berpose lebih dinamis.

Seiring terciptanya kamera yang lebih portabel, banyak foto yang mendokumentasikan kebiasaan penduduk. "Contohnya adalah pose berjongkok ini, yang tidak bisa dilakukan oleh orang Eropa," ujar Olivier. Ia juga sejumlah budaya seperti budaya mandi dan bersirih yang tidak akrab dengan orang Eropa. Baginya, foto-foto tersebut ditujukan untuk menguatkan stereotip pribumi dan menambah nilai eksotisme dari setiap kartu pos.

 Baca Juga: Kabar Kereta Api Kita dari Lembaran-lembaran Kartu Pos Hindia Belanda

Meskipun berlatar di Pulau Jawa, Olivier mencatat bahwa tidak hanya orang Jawa  yang menjadi model. Ada pula kartu pos dengan model orang Arab, Betawi, ataupun berdarah Indo.

"Orang Eropa juga dipotret dalam kartu pos Jawa pada zamannya," tuturnya. Bedanya, jika orang pribumi digambarkan sebagai masyarakat yang dekat dengan alam, maka orang Eropa lebih digambarkan sebagai orang modern yang punya waktu luang untuk berwisata.

Tidak hanya etnis, foto-foto dalam akrtu pos juga dapat menggambarkan kelas sosial. Para majikan atau orang kelas atas biasanya duduk di kursi, sementara pelayannya berdiri atau duduk di lantai.

Baca Juga: Hulptroepen, Satuan Lokal Hindia-Belanda dalam Perang Dipanagara

Kartu pos berjudul Petugas Pengiriman Telegram Bersepeda, penerbit Kolff & Co. Batavia, sekitar 1910. (Koleksi Olivier Johannes Raap/Potret Pendoedoek di Djawa Tempo Doeloe)

Menariknya, beberapa foto dalam kartu pos diwarnai secara manual. Karena ketelatenan dan waktu yang dibutuhkan, biasanya kartu pos warna dijual dengan harga lebih mahal.

"Kartu pos yang diedarkan juga sering kali menggunakan foto yang sudah tidak baru lagi," kata Olivier. Akibatnya, usia foto dalam kartu pos menjadi sulit diketahui. Untuk mengetahui asal foto tersebut, ia harus membandingkan foto tersebut dengan banyak foto lain dalam periode waktu tertentu. Dalam pencariannya, ia terkadang mengamati beberapa kartu pos yang menggunakan foto yang berasal dari tiga puluh tahun yang lalu.

Baca Juga: Gejolak Perjuangan Buruh dalam Masa Kolonialisme Belanda dan Jepang

Potret kebiasaan orang Jawa menjadi nilai eksotis bagi mata Eropa: berjongkok, mandi, dan menempatkan posisi lebih rendah dari orang yang lebih tua. (Koleksi Olivier Johannes Raap/Potret Pendoedoek di Djawa Tempo Doeloe)

"Sistem royalti juga sepertinya tidak ada sama sekali," ceritanya. Baginya, banyak penerbit yang mencari gambar dari manapun, biasanya dari berbagai buku. Akibatnya, fotografer tidak mendapat apresiasi sepeser pun. "[Akan tetapi] ada juga beberapa fotografer yang menerbitkan karya [kartu pos] mereka sendiri," lanjutnya.

Dulu kita mengganggap bahwa hanya orang-orang penting yang tercatat dalam sejarah. Akan tetapi, Olivier menunjukkan koleksi kartu pos Hindia Belanda yang umumnya mengabadikan golongan rakyat jelata. Mereka tidak dikenal, namun kehadirannya abadi.

Kartu pos tidak sekadar benda pos, tetapi juga berisi informasi visual tentang geografi dan etnografi asal kartu pos itu. Kini, selembar kartu pos ibarat mesin waktu. Kita diajak menelusuri potret-potret sejarah kehidupan, yang bahkan tidak terdokumentasi oleh media lain. Lewat pesan yang lestari sebagai warisan visual, kita berusaha untuk lebih mengakrabi dan mengenali generasi seabad silam. 

Baca Juga: Nagari Sijunjung: Emas Hitam Tuan De Greve sampai Jejak Jepang

Kartu pos yang menampilkan perjodohan muda di Semarang, sekitar 1900. Tampaknya pepatah Jawa 'alon-alon asal kelakon' tidak berlaku dalam urusan menikah. Dalam adat Jawa, orang tua menjodohkan anak tanpa proses pacaran. (Koleksi Olivier Johannes Raap/Potret Pendoedoek di Djawa Tempo Doeloe)