Risiko selama pandemi memang perlu dipertimbangkan, meski kita seringkali sampai pada kesimpulan yang berbeda. Apalagi saat varian Delta dan Lambda mengamuk beriringan dengan pembukaan perbatasan dan pembelajaran langsung.
Bahaya dapat dengan mudah disalahartikan, diabaikan, atau tidak disetujui. "Bukan hanya orang yang melihat risiko secara berbeda, tetapi juga orang yang sama akan bereaksi sangat berbeda terhadap satu bahaya daripada yang lain," kata Paul Slovic yang dirilis National Geographic. Slovic merupakan seorang psikolog yang mempelajari risiko, sekaligus pendiri lembaga nirlaba Decision Science Research Institute.
Beberapa peneliti percaya bahwa setiap orang memiliki dua cara untuk menilai risiko dan membuat keputusan. Dasarnya, proses emosional spontan dan penalaran analitik. Hal yang pertama disebut sebagai pemikiran, pengalaman, atau intuitif sedangkan yang kedua lebih rumit dengan perhitungan alasan, matematika, dan analisis biaya-manfaat, tutur Slovic.
Pemikiran kedua itu "penting dan kuat, tetapi sulit dilakukan." kata Slovic. "Jadi, orang-orang berevolusi untuk menilai risiko dengan cepat: Lagi pula, Anda tidak ingin mempertimbangkan terlalu lama apakah akan lari dari singa yang berkeliaran atau melawannya."
Teori dalam analisis risiko akan bekerja dengan baik karena didukung oleh banyak data. Namun, teori bisa mengabaikan pendorong utama pengambilan keputusan lainnya. Salah satunya disebut bias optimis, kata psikolog sosial Dickinson College, Marie Helweg-Larsen. Jenis bias ini membuat seseorang terbebaskan dari konsekuensi potensial yang ada.
Baca Juga: Apa yang Membuat Tingkat Kronis Sakit COVID-19 Berbeda-beda?