Nationalgeographic.co.id—Selama berbulan-bulan, para ilmuwan telah menyerukan keharusan mengenakan masker. Tujuannya, demi mengendalikan berjangkitnya Covid-19, terutama dengan munculnya varian Delta yang lebih menular. Akan tetapi, beberapa kelompok masyarakat justru menolak gagasan ini.
Minggu lalu, pejabat kesehatan Amerika Serikat mendapat protes keras. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mendesak orang-orang yang tinggal di daerah transmisi tinggi untuk memakai masker di dalam ruangan, meski mereka telah divaksinasi sepenuhnya.
Kemarahan publik juga meningkat karena semakin banyak perusahaan dan pemerintah daerah AS yang ingin menghapus rencana keharusan vaksin itu. Beberapa pemangku kebijakan, yang dihubungi National Geographic, mengatakan bahwa keputusan memakai masker harus diserahkan kepada individu. Menurut mereka arahan dari CDC itu hanya panduan—bukan keharusan.
Risiko selama pandemi memang perlu dipertimbangkan, meski kita seringkali sampai pada kesimpulan yang berbeda. Apalagi saat varian Delta dan Lambda mengamuk beriringan dengan pembukaan perbatasan dan pembelajaran langsung.
Bahaya dapat dengan mudah disalahartikan, diabaikan, atau tidak disetujui. "Bukan hanya orang yang melihat risiko secara berbeda, tetapi juga orang yang sama akan bereaksi sangat berbeda terhadap satu bahaya daripada yang lain," kata Paul Slovic yang dirilis National Geographic. Slovic merupakan seorang psikolog yang mempelajari risiko, sekaligus pendiri lembaga nirlaba Decision Science Research Institute.
Beberapa peneliti percaya bahwa setiap orang memiliki dua cara untuk menilai risiko dan membuat keputusan. Dasarnya, proses emosional spontan dan penalaran analitik. Hal yang pertama disebut sebagai pemikiran, pengalaman, atau intuitif sedangkan yang kedua lebih rumit dengan perhitungan alasan, matematika, dan analisis biaya-manfaat, tutur Slovic.
Pemikiran kedua itu "penting dan kuat, tetapi sulit dilakukan." kata Slovic. "Jadi, orang-orang berevolusi untuk menilai risiko dengan cepat: Lagi pula, Anda tidak ingin mempertimbangkan terlalu lama apakah akan lari dari singa yang berkeliaran atau melawannya."
Teori dalam analisis risiko akan bekerja dengan baik karena didukung oleh banyak data. Namun, teori bisa mengabaikan pendorong utama pengambilan keputusan lainnya. Salah satunya disebut bias optimis, kata psikolog sosial Dickinson College, Marie Helweg-Larsen. Jenis bias ini membuat seseorang terbebaskan dari konsekuensi potensial yang ada.
Baca Juga: Apa yang Membuat Tingkat Kronis Sakit COVID-19 Berbeda-beda?
Misalnya, perokok tahu bahwa rokok bisa berbahaya bagi kesehatan. Akan tetapi beberapa perokok mungkin berpikir bahwa risio kanker paru-paru mereka lebih kecil dari yang lain. Jika mereka bepikir untuk makan lebih banyak sayuran maka akan lebih sehat dan terhindar dari konsekuensi bahaya merokok. "Akan tetapi makan lebih banyak sayuran tidak membuat anda tidak terkena kanker paru-paru," kata Larsen.
Bias optimis yang sama mungkin berperan dalam cara orang mengukur risiko COVID-19. Orang yang menolak memakai masker kemungkinan memahami mereka dapat tertular virus dan meninggal karenanya. Akan tetapi, mereka juga berpikir risiko pribadi mereka lebih kecil daripada yang lain.
"Sangat mudah untuk berpikir bahwa orang-orang mengalami delusi," kata Helweg-Larsen. "Itulah dalam psikologi kami sebut "kognisi termotivasi' yang berarti bahwa kita menarik kesimpulan yang ingin kita tarik karena itu memberi kita hasil yang diinginkan."
Baca Juga: Berapa Lama Sistem Kekebalan Manusia Mampu Mengalahkan Pandemi?
Optimisme dapat membantu, karena banyak hal yang dilakukan manusia membawa beberapa risiko. Jika orang mengira mereka akan mati dalam keadaan kecelakaan tiap kali mereka masuk ke mobil, maka tidak ada yang mengemudi.
"Akan sangat sulit untuk menavigasi kehidupan kita sehari-hari jika takut akan risiko, kata Larsen.
Selama pandemi, banyak orang merasa cemas untuk memasuki dunia baru ini dengan mengandalkan kesediaan orang lain untuk melakukan hal yang benar, kata Larsen. Terlebih lagi, orang dapat dipengaruhi oleh pengalaman langsung dengan bahaya tertentu, termasuk infeksi COVID-19.
Sebuah studi dari University of Alabama menunjukkan bahwa orang yang terkena COVID-19 dan pulih mungkin cenderung tidak mendukung upaya mitigasi seperti pemakaian masker dan jaga jarak sosial. Sebaliknya, mereka yang memiliki teman atau anggota keluarga yang tertular penyakit lebih menyukai langkah-langkah mitigasi.
Wanyun Shao, rekan penulis studi itu sekaligus asisten profesor geografi di University of Alabama, menduga. "Mendengar 'cerita horor' dari orang lain dapat membangkitkan kekhawatiran, sementara yang terkena COVID dapat menurunkan kekhawatiran seolah-olah ketegangan telah berakhir."
Baca Juga: Bagaimana Seharusnya Seni Merespons Teknologi di Tengah Pagebluk?