Misalnya, perokok tahu bahwa rokok bisa berbahaya bagi kesehatan. Akan tetapi beberapa perokok mungkin berpikir bahwa risio kanker paru-paru mereka lebih kecil dari yang lain. Jika mereka bepikir untuk makan lebih banyak sayuran maka akan lebih sehat dan terhindar dari konsekuensi bahaya merokok. "Akan tetapi makan lebih banyak sayuran tidak membuat anda tidak terkena kanker paru-paru," kata Larsen.
Bias optimis yang sama mungkin berperan dalam cara orang mengukur risiko COVID-19. Orang yang menolak memakai masker kemungkinan memahami mereka dapat tertular virus dan meninggal karenanya. Akan tetapi, mereka juga berpikir risiko pribadi mereka lebih kecil daripada yang lain.
"Sangat mudah untuk berpikir bahwa orang-orang mengalami delusi," kata Helweg-Larsen. "Itulah dalam psikologi kami sebut "kognisi termotivasi' yang berarti bahwa kita menarik kesimpulan yang ingin kita tarik karena itu memberi kita hasil yang diinginkan."
Baca Juga: Berapa Lama Sistem Kekebalan Manusia Mampu Mengalahkan Pandemi?
Optimisme dapat membantu, karena banyak hal yang dilakukan manusia membawa beberapa risiko. Jika orang mengira mereka akan mati dalam keadaan kecelakaan tiap kali mereka masuk ke mobil, maka tidak ada yang mengemudi.
"Akan sangat sulit untuk menavigasi kehidupan kita sehari-hari jika takut akan risiko, kata Larsen.
Selama pandemi, banyak orang merasa cemas untuk memasuki dunia baru ini dengan mengandalkan kesediaan orang lain untuk melakukan hal yang benar, kata Larsen. Terlebih lagi, orang dapat dipengaruhi oleh pengalaman langsung dengan bahaya tertentu, termasuk infeksi COVID-19.
Sebuah studi dari University of Alabama menunjukkan bahwa orang yang terkena COVID-19 dan pulih mungkin cenderung tidak mendukung upaya mitigasi seperti pemakaian masker dan jaga jarak sosial. Sebaliknya, mereka yang memiliki teman atau anggota keluarga yang tertular penyakit lebih menyukai langkah-langkah mitigasi.
Wanyun Shao, rekan penulis studi itu sekaligus asisten profesor geografi di University of Alabama, menduga. "Mendengar 'cerita horor' dari orang lain dapat membangkitkan kekhawatiran, sementara yang terkena COVID dapat menurunkan kekhawatiran seolah-olah ketegangan telah berakhir."
Baca Juga: Bagaimana Seharusnya Seni Merespons Teknologi di Tengah Pagebluk?