Sempat Dikira Punah, Spesies Bunglon Ini Ditemukan Kembali di Malawi

By Eric Taher, Kamis, 5 Agustus 2021 | 16:31 WIB
Bunglon pigmi Chapman sempat dinyatakan punah, sebelum akhirnya ditemukan kembali pada 2016. (Krystal Tolley)

 

Nationalgeographic.co.id—Sebuah spesies bunglon yang sangat langka akhirnya kembali ditemukan. Bunglon pigmi Chapman (Rhampholeon chapmanorum), demikian nama spesies bunglon tersebut, ditemukan kembali di hutan tropis Malawi, Afrika.

Bunglon pigmi Chapman pertama kali ditemukan pada tahun 1992. Mereka dipercayai sebagai salah satu spesies bunglon paling langka di dunia. Sejak saat itu, bunglon ini tidak pernah terlihat selama puluhan tahun selanjutnya. Keberadaan mereka bahkan sempat diperkirakan punah, seiring penggusuran habitatnya yang semakin pesat di Malawi sejak tahun 1980-an.

Barulah pada tahun 2016, keberadaan bunglon ini ditemukan melalui survei populasi oleh peneliti dari South African National Biodiversity Institute dan Museums of Malawi. Hasil survei terhadap bunglon ini kemudian dipublikasikan untuk pertama kalinya dalam jurnal Oryx pada 3 Agustus 2021.

Dalam jurnal tersebut, ilmuwan mencatat keberadaan sejumlah populasi di sejumlah pecahan wilayah hutan yang tersisa. Seperti dilansir dari Mongabay, para peneliti menemukan 17 bunglon dewasa di dua wilayah hutan terpisah di Lembah Malawi. Selain itu, mereka juga menemukan 21 bunglon dewasa dengan 11 anak di area Mikundi, sebelah selatan Malawi.

"Kami pertama menemukan bunglon ini di daerah pinggiran hutan, di wilayah pertemuan pohon-pohon di hutan dengan kebun jagung dan singkong," ungkap Krystal Tolley dalam rilis persnya. Tolley adalah profesor zoologi yang bekerja sebagai kepala peneliti di South African National Biodiversity Institute. "Bulu kuduk kami sempat berdiri, dan kami berjingkrak kegirangan," lanjutnya.

Dengan hasil survei ini, IUCN Red List mengesahkan bunglon pigmi Chapman sebagai spesies berstatus kritis (critically endangered). Selain wilayah jangkauan mereka yang sangat kecil, populasi bunglon ini terpencar ke dalam tiga wilayah yang terisolasi dari satu sama lain. Kondisi ini berbahaya karena dapat menimbulkan perkawinan sedarah.

Baca Juga: Spesies Bunglon Baru Ini Mungkin Reptil Terkecil yang Ada di Dunia, Ukuranya Sebesar Biji Bunga Matahari

Lokasi survei dari bunglon pigmi Chapman. (Oryx/Cambridge)

 

Kekhawatiran tersebut terbukti melalui analisis genetik terhadap DNA bunglon ini. Peneliti menemukan perbedaan genetik yang signifikan antara tiga populasi bunglon yang ditemukan. Akibatnya, bunglon ini rentan menurunkan penyakit genetik yang dapat mengancam keberlangsungan spesiesnya.

Bunglon pigmi Chapman merupakan salah satu bunglon terkecil di dunia. Ukurannya hanya mencapai 3,5 hingga 5,5 sentimeter, sebanding dengan ukuran jari manusia. Bunglon ini terbilang jinak, dan tidak seagresif spesies bunglon lainnya.

Selain itu, bunglon ini memiliki kulit berwarna cokelat, yang dapat berubah-ubah menjadi hijau atau biru untuk bersembunyi dan berkomunikasi dengan sesama bunglon. Bunglon ini juga mampu menggetarkan tubuhnya, yang menurut Tolley merupakan cara untuk menakut-nakuti predator.

"Mereka tidak memiliki ekor spiral seperti kebanyakan bunglon," ungkap Tolley. Menurutnya, hal ini disebabkan karena bunglon pigmi Chapman lebih banyak melakukan aktivitas di permukaan tanah, bukan di pohon seperti bunglon kebanyakan.

Baca Juga: Bukan Hanya Kamuflase, Warna Kulit Bunglon Juga Menggambarkan Emosi

Mimikri yang terlihat di kulit bunglon pigmi Chapman. Terlihat titik-titik hijau dan biru, yang diperkirakan peneliti sebagai alat untuk berkomunikasi dengan sesama bunglon. (Krystal Tolley/Mongabay)

"Bunglon ini berbaur dengan dedaunan yang gugur di tanah, dan mampu bermimikri dengan pola dedaunan tersebut," lanjutnya.

Seperti dilansir dari The Conversation, 40 persen dari 218 spesies bunglon saat ini terancam punah. Praktik pembakaran hutan untuk ladang berpindah menjadi penyebab utama dari krisis ini.

Hutan di Lembah Malawi sendiri sudah berkurang sebanyak 80 persen sejak tahun 1980-an. Kesimpulan ini didapat dari analisis peneliti terhadap citra satelit yang dikumpulkan selama bertahun-tahun.

Tolley juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap penemuan ini. "Hilangnya hutan ini membutuhkan perhatian dengan sangat segera sebelum spesies ini tidak bisa ditemukan lagi," ungkapnya. Ia menyerukan tindakan tegas untuk melakukan reboisasi untuk menjembatani pecahan hutan yang terisolasi, serta membatasi perusakan hutan dengan segera.

Baca Juga: UNESCO Desak Pemerintah Indonesia Hentikan Semua Proyek di TN Komodo