Rupanya, setelah saya berpelesiran seputar Jakarta, ternyata massa Antifa ini kerap muncul di pergerakan Indonesia, seperti Hari Buruh (May Day). Tetapi, apa sejatinya Antifa itu bisa berdiri?
Sebelum memahami apa itu antifasisme, ketahui dulu apa itu fasisme. Sejarawan Columbia University Robert Paxton tahun 1998 menulis tentang paham itu di Journal of Modern History.
Fasisme yang berkembang pasca Perang Dunia I itu adalah paham yang otoriter dan absolut. Paham ini bisa masuk untuk bersama atau melawan komunisme, dan membuat musuh bersama yang harus dilawan, seperti sentimen terhadap etnis, ras, hingga negara lain.
Seorang fasis, biasanya menganggap golongannya adalah yang unggul untuk menguasai dunia. Sehingga memiliki militansi kuat dan dapat memobilisasi massa dengan cepat.
Baca Juga: Dari 1966 hingga 2020, Bagaimana Gerakan Mahasiswa Warnai Sejarah?
Gerakan antifasisme pertama kali muncul ketika Italia dikuasai oleh Partai Fasis Nasional. Masyarakat yang berpaham kiri, segera membangun organisasi antifasis pertama bernama Arditi del Popolo (Orang-orang yang Berani -terj), dan Union of Anarchist Communist of Italy pada 1920-an.
Arditi del Popolo dalam setiap kegiatan perlawanan pun identik dengan pakaian warna hitam. Mereka sangat menentang kegiatan militer kalangan fasis. Paham ini kemudian menjalar ke negara-negara lain, termasuk negara yang didominasi fasisme seperti Jerman.
Organisasi antifasis pertama dibentuk pada 10 Juli 1932 dengan nama Antifaschistische Aktion (AA), oleh Partai Komunis Jerman (KPD). Hal itu dipaparkan oleh veteran KPD dalam tulisannya, Antifaschistische Aktion 1945: d. "Stunde Null" in Braunschweig.
Organisasi inilah yang menggunakan pertama kali lambang benderah merah-hitamp yang dibuat oleh dua seniman Jerman anggota Assoziation Revolutionärer Bildender Künstler Deutschlands, Max Keilson dan Max Gebhard.
Baca Juga: Kenangan Prajurit Soviet Terakhir yang Membebaskan Auschwitz dari Nazi