Gareth Dale, sejarawan Brunei University mengungkap fasis Nazi menanggapi pergerakkan ini, dengan membunuh banyak kalangan kiri seperti Komunis, dan Sosial Demokrat.
"Dari semua sektor populasi, pekerja industri di kota-kota besarlah yang menunjukkan kebebalan terhadap Nazisme. banyak anggota serikat pekerja dan sosialis mampu mempertahankan tradisi dan kepercayaan mereka, setidaknya dalam beberapa bentuk, selama era Nazi," tulis Dale lewat esainya, "Like Wildfire?" The East German Rising of June 1953.
Pengaruh antifasisme berkembang hingga ke Kerajaan Yugoslavia menjelang revolusinya. Seorang aktivis Partai Komunis Yugoslavia Stjepan Filipović yang mengutuk fasisme Jerman di negerinya.
Saat hendak digantung pada 27 Mei 1942, ia mengepalkan kedua tangannya dan berteriak, "Matilah fasisme, kebebasan bagi rakyat!". Dia memohon kepada masyarakat Yugoslavia agar tidak pernah berhenti melawan. Foto menjelang kematiannya menjadi simbol perlawanan antifasis hingga saat ini.
Baca Juga: AMRI, Gelora Pemuda Bantaeng Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Amir Sjarifuddin dan gerakan anti fasis di Indonesia
Rupanya, gerakan anti fasis juga berkembang hingga ke Indonesia. Paham itu membawa doktrin Dimitrov dari Uni Soviet yang menyerukan front bersama untuk melawan fasisme dengan pendekatan kooperatif demi kemerdekaan Indonesia.
Wilson, penulis buku Orang dan Partai Nazi di Indonesia: Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme, memaparkan bahwa paham ini dibawa oleh Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin akhir 1930-an.
Bahkan sebelum kedatangan fasis Jepang, Sjafruddin yang paling getol mengkampanyekan bahayanya kepada pemerintah Hindia Belanda, lewat koalisi Gerindo dengan Parindra dan PSII dalam Gabungan Politik Indonesia (Gapi). Dia memahami kondisi setelah melihat kekuatan dan pengaruh mereka di Asia Timur.
"Gerindo membuka diri kepada semua kekuatan sosial politik, termasuk kejasama dengan pemerintah kolonial untuk menggalang kekuatan massa menyambut bahaya fasisme," tulis Wilson.