Saat pemberontak Islamis membakar dua perpustakaan di Timbuktu awal tahun ini, banyak yang khawatir warisan manuskrip kuno kota ini turut dihancurkan.
Tetapi, ternyata banyak tulisan yang sudah diamankan dan diselundupkan keluar perpustakaan tanpa sepengetahuan pemberontak.
"Manuskrip ini sangat berharga bagi kami. Ini adalah pusaka keluarga. Sejarah kami, warisan kami,'' kata Dr Abdel Kader Haidara, pemilik salah satu perpustakaan pribadi terbesar Timbuktu, yang berisi banyak manuskrip Abad ke 16.
"Di keluarga kami ada banyak orang terpelajar dari generasi ke generasi dan kami selalu menjaga dokumen ini.''
Saat pemberontak Islamis mengambil alih kota Timbuktu tahun lalu, menjaga dokumen bersejarah ini terlihat seperti tugas yang tidak mungkin.
Di bawah peraturan Islam yang sangat ketat, para pemberontak mulai menghancurkan kuil-kuil yang mereka anggap ''musyrik''.
Dokumen yang disimpan di Timbuktu sejak masa keemasan sebagai pusat pembelajaran Islam di Abad 13 hingga 17 juga turut rentan dihancurkan.
Sebagai pencegahan, Haidara dan sejumlah keluarga pemilik buku lainnya, bersama pejabat Institut Ahmed Baba, melakukan penyelamatan dokumen koleksi utama, dan menyembunyikannya di kediaman pribadi.
Setelah penghancuran kuil, kemudian semakin jelas bahwa perlu ada langkah radikal yang dibutuhkan untuk menyelamatkan dokumen tersebut.
"Kami menyadari butuh cara lain untuk membawa manuskrip kuno ini keluar dari Timbuktu sepenuhnya,'' kata Haidara.
"Itu sangat sulit. Ada banyak manuskrip. Kami membutuhkan ribuan kotak besi dan kami butuh bantuan dari luar.''
Dengan persetujuan dari 35 keluarga penting, Haidara kemudian mencari pendanaan, yang kemudian dia dapatkan diantaranya dari Yayasan Pangeran Claus di Belanda dan Kementerian Luar Negeri Jerman.
Perpustakaan kosong