Memasuki abad ke-20, pergeseran makna jongos dan babu (dulu baboe) terjadi akibat perilaku para majikannya yang membatasi diri antara orang Eropa dengan pribumi. Periode tersebut menjadi puncak dari diskriminasi rasial, akibat adanya isu rasial dan paradigma keagungan bangsa kulit putih.
Sebagai para pesuruh, mereka dibatasi, mereka tinggal ditempat yang kurang layak, dan tidak dibayar. Begitu juga dengan para majikan yang tidak mengizinkan para babu untuk memberi makan atau menyuapi anak-anak mereka. Mereka membawa para pengasuh anak dari Eropa untuk memberi makan anak-anaknya.
Baca Juga: Scott Merrilees: Bingkai Kenangan Hindia Belanda dalam Kartu Pos
Bahkan, kemudian citra babu dan jongos digambarkan sebagai orang-orang kampung (kampungan), dikalangan orang Eropa. Citra buruk lantas kemudian berangsung-angsur sampai pada pribumi secara luas, sehingga istilah jongos dan babu, sampai saat ini terdengar rendah.
Ketika air ledeng, gas, dan listrik masuk ke rumah tangga kolonial di kota-kota besar Hindia-Belanda, jumlah para jongos dan babu semakin menurun. Era perbudakan pun semakin melenyap, seiring dengan perkembangan pesat teknologi. Meski begitu, hingga hari ini citra jongos dan babu tetap terdengar rendahan, bahkan selepas Indonesia merdeka.
Baca Juga: Buku Harian Homoseksual dan Reserse Polisi Moral Zaman Hindia Belanda