Nationalgeographic.co.id—Pemerintah Hindia-Belanda nampaknya mulai kewalahan dalam mengakomodasi urusan-urusan mereka, mulai dari urusan rumah tangga hingga pembangunan fasilitas dan sara prasarana. Mereka lantas memekerjakan para pelayan dari kalangan pribumi sebagai jaminan untuk dapat menyelesaikan semua pekerjaan para kompeni.
Bagi orang yang hidup di Hindia-Belanda sekitar tahun 1600 sampai 1800-an, akan mengenal pelayan akomodasi bagi kompeni atau yang akrab dengan pembantu dan pesuruh, disebut djongos atau baboe. Namun kisah tentang jongos atau pesuruh di Indonesia, ada jauh sebelum abad ke-19.
Heather Sutherland dalam penelitiannya yang berjudul Slavery and the Slave Trade in South Sulawesi publikasi tahun 1983, menjelaskan bahwa sejak akhir abad ke-17, telah ada istilah perbudakan di Hindia-Belanda.
Ya, jongos di era itu memang lekat sekali dengan karakteristik budak. Tepatnya di Sulawesi Selatan, perbudakan telah marak, begitu juga dengan jual beli budak. "Orang Belanda disana, telah banyak melibatkan budaknya untuk membantu pekerjaan rumah tangga, pekerja di gudang-gudang dan kapal, serta sebagai simbol untuk menaikkan status mereka" tulisnya.
Pada periode-periode tersebut, kebanyakan para budak dimiliki oleh orang-orang Eropa. Budak digunakan sebagai instrumen yang digunakan mereka untuk memamerkan kekayaan. Pada poster periklanan, para budak mengisi kemampuan personal mereka secara khusus, seperti juru masak, juru lampu, pelayan, pembantu rumah tangga, penjahit, pesuruh, penyetrika pakaian, pembuat sambal, pembuat roti, pembuat teh, dan kusir.
Baca Juga: Jejak Sejarah Rabies, Gigitan Anjing Gila Mengancam Hindia-Belanda
Pada era berdirinya VOC sejak abad ke-17, para anak laki-laki menjadi awal dari perbudakan. Anak-anak tersebut mulai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, menjadi pelayan hotel, hingga menggali kanal dan mendirikan bangunan. Para anak laki-laki tersebut disebut dengan huisjongen yang kemudian akrab dengan istilah jongens.
Achmad Sunjayadi dalam tulisannya berjudul Pelayan Pribumi dalam Akomodasi Turisme di Hindia-Belanda, publikasi 2018, menuliskan tentang adanya pergeseran makna yang diciptakan terjadi memasuki abad ke-20.
Baca Juga: Selidik Rijsttafel, Sajian Bersantap Kelas Atas di Hindia Belanda
Jongens yang ditujukan kepada panggilan anak laki-laki di era Belanda, kemudian malah berubah maknanya dengan banyaknya perbudakan saat itu. Para masyarakat pribumi kemudian mengistilahkan jongens dengan djongos atau jongos.
Hal ini juga serupa dengan adanya istilah baboe. "Kata baboe berasal dari mbah iboe, khususnya yang bertugas merawat anak" tulisnya. Istilah ini pada awalnya memiliki arti pengasuh anak. Selain bertugas bertanggung jawab di kamar, para baboe mengurus anak-anak majikan mereka, para sinyo dan noni. Umumnya para pelaku baboe adalah ibu-ibu atau wanita dewasa.
Baca Juga: Kartu Pos Potret Kehidupan Jawa: Pesan Hindia Belanda ke Penjuru Dunia
Memasuki abad ke-20, pergeseran makna jongos dan babu (dulu baboe) terjadi akibat perilaku para majikannya yang membatasi diri antara orang Eropa dengan pribumi. Periode tersebut menjadi puncak dari diskriminasi rasial, akibat adanya isu rasial dan paradigma keagungan bangsa kulit putih.
Sebagai para pesuruh, mereka dibatasi, mereka tinggal ditempat yang kurang layak, dan tidak dibayar. Begitu juga dengan para majikan yang tidak mengizinkan para babu untuk memberi makan atau menyuapi anak-anak mereka. Mereka membawa para pengasuh anak dari Eropa untuk memberi makan anak-anaknya.
Baca Juga: Scott Merrilees: Bingkai Kenangan Hindia Belanda dalam Kartu Pos
Bahkan, kemudian citra babu dan jongos digambarkan sebagai orang-orang kampung (kampungan), dikalangan orang Eropa. Citra buruk lantas kemudian berangsung-angsur sampai pada pribumi secara luas, sehingga istilah jongos dan babu, sampai saat ini terdengar rendah.
Ketika air ledeng, gas, dan listrik masuk ke rumah tangga kolonial di kota-kota besar Hindia-Belanda, jumlah para jongos dan babu semakin menurun. Era perbudakan pun semakin melenyap, seiring dengan perkembangan pesat teknologi. Meski begitu, hingga hari ini citra jongos dan babu tetap terdengar rendahan, bahkan selepas Indonesia merdeka.
Baca Juga: Buku Harian Homoseksual dan Reserse Polisi Moral Zaman Hindia Belanda