Yang Tercinta dari Agra

By , Jumat, 15 November 2013 | 13:30 WIB
()

Roda kereta mulai berputar menjejak rel. Meninggalkan hiruk pikuk Delhi yang kadang membuat saya tersenyum karena keculasannya. Baru saja, sopir taksi pengantar ke stasiun mengungkap, "Saya tidak tahu Anda mau turun di mana, meski sudah menyebut stasiun New Delhi dekat Paharganj."

Persoalannya sepele. Ada dua pintu masuk menuju stasiun berkode NDLS itu. Satu dari Ajmere Gate menuju Bhavbhuti Marg dan satu lagi lewat Qutab Road arah State Entry Road. Lantas apa bedanya? Saya tidak melihat perbedaan krusial, karena dari kedua arah itu terdapat pedestrian pass menuju gerbang stasiun. Sama-sama dapat dijadikan titik awal perjalanan berkereta menuju stasiun Agra Cantonment berkode CANTT.

"Bedanya tidak ada, hanya kalau memilih Qutab Road sedikit lebih jauh, sehingga Anda mesti memberi saya tips tambahan," jelas si pengemudi tanpa tedeng alingaling. Cukup sudah, lewat Ajmere Gate saja.

Kelucuan tidak berhenti sampai di situ. Dalam barisan menuju pintu masuk stasiun di mana seluruh calon penumpang mesti memasukkan bawaan dalam mesin pemindai sinar X, saya berada selajur dengan seorang Nihang atau Sikh Warrior. Meski mengagumi tampilannya yang kharismatik menggunakan penutup kepala turban dan pakaian dilengkapi jubah serba biru tua serta jenggot panjang keperakan, tombak di tangan kanannya membuat kening saya berkerut.

Bagaimana nanti dapat menuju gerbong tepat waktu, bila dua tentara India yang berjaga menginterogasinya? Beruntung seorang petugas menyilakan saya masuk lebih dulu, karena hanya menyandang backpack kecil.

Burung-burung dara beterbangan membubung ke angkasa, ketika Shatabdi Express yang saya tumpangi meninggalkan NDLS. Terngianglah sebuah lagu kenangan dari peristiwa sekitar lima tahun lalu, saat menonton pertunjukan musikal Bombay Dreams di Apollo Victoria Theatre, London, di mana tokoh Akaash—diperankan Raza Jaffrey—menyanyikan lagu The Journey Home dengan penuh perasaan, ditandai air mata yang meleleh melewati garis rahang nan kokoh.

Sang penampil begitu menjiwai karya komposer India, A.R Rahman, yang berkolaborasi dengan maestro teater London, Sir Andrew Lloyd Webber, penggagas Phantom of the Opera. "The journey home, is never too long, your heart arrived before the train..." begitu nyanyi Raza Jaffrey. Sebuah kebetulan, aktor Britania Raya itu berdarah perpaduan Inggris dari ibunda serta ayahanda asal Agra, dan hari ini saya bertolak menuju kota kelahiran bapak sang aktor.

Pengunjung berdiri di samping jaalis yang berfungsi sebagai ventilasi di dalam kompleks makam Taj Mahal. (Asteria Iskandar)

Saya duduk nyaman dalam kompartemen eksekutif, jok dapat direbahkan leluasa, ditemani paket santap pagi dilengkapi susu sapi hangat yang dituang ke mangkuk sereal, dan bersisian dengan seorang pria Sikh tampan mengenakan jas serta dasi rapi. Sama sekali tidak ada "mimpi buruk"—hal yang tidak jarang menimpa para pejalan saat pertama kali menjelajah India sehingga menyebabkan mereka kapok—karena pemesanan tiket sudah saya lakukan jauh hari.

Sistem komputerisasi perusahaan perkeretaapian India bahkan memiliki pantauan online; pemegang kategori waiting list pun dapat "naik kelas" berstatus confirmed. Jadi meski tiket yang saya kantongi langsung berstatus confirmed, mengamati pergerakan penjualan dan status tiket via internet sangat menarik.

Itu sebabnya kadang saya terharu mendapati beberapa teman dekat asal mancanegara memutuskan tidak mau kembali ke Tanah Hindustan. Bahkan seorang di antaranya beralasan, "Menurut saya, India adalah akronim dari I Never Do It Again. Saya tahu, kamu pasti dapat mengatasi kesemrawutan saat berada di sana, sementara bagi saya, pengalaman yang lalu sudah cukup. Tidak perlu ditambah lagi."

Apa yang disebut semrawut oleh kawan saya, itulah wajah khas India. Sesuatu yang digambarkan sebagai chaotic beauty. Seperti ditariksuarakan Raza Jaffrey, perasaan saat menempuh perjalanan berkereta menuju Agra adalah serasa pulang ke rumah. Kembali pada pengulangan klasik soal penipuan kecil-kecilan bila tidak waspada, sampai mendapati kekumuhan, kemewahan dan kemajuan teknologi seperti berpadu menjadi satu dan melahirkan sebuah simfoni khas Anak Benua India.

Seperti saat saya menginjakkan kaki di CANTT, kode dari stasiun Agra Cantonment. Atmosfer hiruk pikuk tidak saja dibangun oleh penumpang lokal—yang akan melakukan perjalanan jarak jauh dan saat keberangkatan masih lama, sehingga sampai menggelar tikar dan bermalam di pelataran stasiun—namun dari para pengemudi taksi gelap dan penarik auto rickshaw. Mereka saling berteriak untuk menjual jasa, dalam tutur kata lemah lembut sampai setengah memaksa. Saya pun dikerubuti sekian banyak sopir, layaknya selebriti, sehingga harus berteriak dalam bahasa Hindi.