Yang Tercinta dari Agra

By , Jumat, 15 November 2013 | 13:30 WIB
()

Setelah melewati lautan manusia yang memadati charbargh atau empat taman serba simetris khas bangunan Mughal dan bangku pualam dekat kolam di mana para pejalan berpose sejenak—gaya ini dipopulerkan mendiang Putri Diana, meski banyak kepala negara serta ibu negara berpotret di lokasi sama sebelum dan sesudahnya—kembali hati tersentak saat memasuki mausoleum Arjumand Bann Begum atau lebih dikenal sebagai Mumtaz dan sang suami, kaisar Shah Jahan.

Kunjungan ke Agra Fort dan Fatehpur Sikri mendatangkan kesan lebih menyenangkan dibanding pengalaman pedih menyaksikan mausoleum permaisuri Mumtaz—yang kependekan namanya Taz dijadikan nama peristirahatan terakhirnya; Taj Mahal—dan Shah Jahan, dihujani lampu kilat. Dari Anguri Bagh atau Taman Anggur, Jahangiri Mahal dan Musamman Burj dalam kompleks Agra Fort, pandangan mengarah ke Taj Mahal di seberang Sungai Yamuna.

Terasa seperti permainan sulap, karena di beberapa titik terlihat berbentuk kecil, namun saat kaki menapak ke lantai atas, bangunan indah dari pualam putih yang diambil dari daerah Makrana, negara bagian Rajasthan, itu tampak besar dan megah.

Sementara Fatehpur Sikri berada di luar perimeter Taj Mahal dan Agra Fort.Berjuluk sebagai Kota Hantu karena ditinggalkan begitu saja oleh penduduknya di masa lalu. Awalnya, kaisar Mughal bernama Akbar membangun istana di luar Agra karena antusiasmenya terhadap pemuka Islam setempat bernama Sheikh Salim Chishti. Kemudian kekuatan militer musuh mengacaukan stabilitas di Punjab, sehingga ia memindahkan pusat pemerintahan ke Lahore yang kini masuk wilayah Pakistan. Kekayaan ornamen dalam istana Fatehpur Sikri serta bangunan pendukung seperti kolam permandian Anub Talao menunjukkan besarnya toleransi sang kaisar atas berbagai religi, di antaranya Hindu, Kristen, dan Islam.

Saat senja menjelang, Natish menampakkan "gejala" seperti mayoritas pengemudi taksi di India yang saya cermati selama ini.Ia minta waktu sejenak agar mobil singgah di toko perajin pietra dura. Bila sukses mengantar saya ke sana, ia bakal mendapat bonus berupa komisi dari pemilik gerai.

"Bhaai, saya telanjur memercayai kamu. Perjalanan hari ini begitu menyenangkan, bahkan kamu dengan jujur memberikan tips menghindari tipuan di Agra. Sekarang kamu malah menjadi salah satu dari mereka," keluh saya. "Seandainya kamu bilang berapa komisi yang bakal didapat lalu saya berikan uang sejumlah itu, bagaimana?"

"Bukan begitu, Diidi. Ini mandat dari ketua asosiasi taksi di mana saya bergabung. Anda tidak perlu membeli. Duduk saja dan dengarkan, tempatnya dilengkapi pendingin udara. Kalau Anda mau melakukannya, sama artinya membantu keberlangsungan kesempatan saya bekerja. Ingat, cerita saya tadi; tidak mudah mencari kerja di Agra."

Akhirnya saya mengalah. Sekaligus karena diliputi keingintahuan; apa yang akan disajikan sang "pakar" pietra dura itu pada saya. Rajeev, begitu nama penanggung jawab toko marble inlay itu mengajak proses pembuatan marmer berukir indah berisi aneka batuan semi mulia, seperti turquoise, jade, ony, lapis azuli dan amethyst.

Ia menyatakan, para pekerja adalah keturunan ketujuh dari para perajin seni pembuat Taj Mahal. Entah benar atau tidak, perhatian saya lebih tertuju pada tangan-tangan terampil itu. Bahkan, bila ternyata aksi mereka adalah pura-pura, tetap saja usahanya layak diapresiasi. Sesudahnya, saya dibawa ke sebuah ruang berisi penuh benda berhias pietra dura, seperti kap lampu, tatakan gelas, wadah perhiasan, meja dan kursi sampai patung dimensi besar.Jujur saya katakan pada Rajeev, bahwa benda-benda yang dipamerkan terbilang rapi dan halus permukaannya, tampak berasal dari satu batu, bukan tempelan semata.

"Bhaai, kamu tidak ingin bekerja di Delhi atau Mumbai?" tanya saya dalam perjalanan kembali ke stasiun Agra Cantonment. "Tum... Angrezi bahot acha, ji. Bahasa Inggris kamu bagus sekali."

Natish tertawa mendengar perkataan saya. "Nahin, Diidi. Tidaklah, Kak. Saya tidak ingin meninggalkan Agra. Bagi saya, lima belas ekor sapi yang dimiliki orang tua ditambah penghasilan saya sudah cukup untuk menghidupi kami sekeluarga. Bila saya menikah, harus lebih giat menambah penghasilan," jawabnya.

"Bekerja di kota metropolitan macam Delhi dan Mumbai, bagi saya sama halnya dengan Bombay Dreams."