Yang Tercinta dari Agra

By , Jumat, 15 November 2013 | 13:30 WIB
()

"Bhaai! Kya haal hai?" Berbeda dengan raut muka kesal yang saya tampilkan di depan gerombolan pengemudi taksi di depan stasiun Agra Cantonment, pada pengemudi taksi yang ditunjuk gerai resmi justru saya berinisiatif menyapa lebih dulu. Pria itu, Natish, berusia sekitar 24 tahun, sontak kaget. Bukan karena saya "pamer" kebisaan berbahasa Hindi, namun menilik cara berbicara saya.

Di beberapa tempat sekitar Old dan New Delhi, bila memanggil pria dengan sebutan bhaaiya yang berarti abang atau kakak lelaki, mereka terlihat enggan, karena terkesan udik. Bhaai lebih disukai, karena terkesan modern.

"Kabar baik, Diidi. Semoga Anda juga," balasnya santun seraya membukakan pintu sedan hatchback mini putih. Seolah tidak mau kalah akrab, ia menyapa saya dengan sebutan kakak perempuan. Wajahnya menampakkan ketulusan—hal yang jarang saya dapati selagi bepergian diantar pengemudi taksi seputar Delhi maupun Agra di waktu-waktu lalu.

Natish, bungsu dari dua bersaudara, tinggal di dusun tak jauh dari makam monumental Taj Mahal. "Berbeda dibanding negara-negara bagian atau kota-kota lain di India, perekonomian Agra semata-mata ditopang pariwisata," tuturnya. Ia mencontohkan Punjab sebagai wilayah kaya dan subur, dilewati lima sungai dengan kontur alam bervariasi.

"Sementara di Agra, tanahnya tidak sesubur daerah lain, katakanlah Punjab sebagai perbandingan. Meski begitu, warga setempat tetap mengembangkan usaha menanam padi dan memelihara sapi untuk diambil susunya.Ini bidang usaha pertanian klasik. Bila ingin bersaing antara sesama orang muda, jawabnya adalah menjadi pengemudi taksi pengantar wisatawan ke Taj Mahal dan sekitarnya. Kesempatan yang tersedia bagi saya sebatas itu saja," lanjutnya. "Jadi jangan kesal bila Diidi dikerumuni sopir. Setiap orang di sini butuh uang, sementara wisatawan tidak selalu datang dalam jumlah besar setiap hari. Mereka berusaha keras, berebut penghasilan agar dapat memberi makan keluarganya."

Pemaparan Natish membukakan mata saya soal rumitnya kehidupan di "rumah" Taj Mahal. Di depan kami, kota Agra menampakkan wajahnya. Seperti dikatakan pengemudi taksi itu, negara bagian Uttar Pradesh—di mana Agra berada—menempati posisi penting dalam peta pariwisata India. Agra termasuk dalam Golden Triangle atau Segitiga Emas yang mencakup Delhi–Agra–Jaipur, tiga tujuan utama pejalan saat berkunjung ke India. "Keindahan sebuah destinasi kadang tidak berjalan sejajar dengan penghidupan masyarakat setempat," imbuh Natish.

Secara visual, kabut polusi menyelimuti Agra, menyulitkan mata untuk dapat melihat sang surya di langit pagi. Sedang tata letak kotanya sendiri sulit diputuskan mana yang layak disebut pusat kota, karena hunian kaum urban terdistribusi di beberapa titik, ditambah kehadiran bazaar atau pasar-pasar lokal.

"Permasalahan sehari-hari warga lokal adalah mutu air buruk, sanitasi kurang diperhatikan, pemutusan aliran listrik, dan polusi udara dari kendaraan bermotor," tukas Natish sembari menunjukkan tandon air raksasa buatan Inggris yang masih berfungsi sampai kini. "Sungguh ironis, 'rumah' Taj Mahal terasa tidak representatif."

Padahal di masa lalu Agra menorehkan prestasi cemerlang; kerap dipilih menjadi kota berkedudukan penting sehingga seantero kawasan dipenuhi berbagai monumen. Setelah ditaklukkan Ibrahim Ghaznavi dari Afganistan sekitar tahun 1080, Agra dijadikan poros persimpangan utama India utara dan tengah. Lalu, pada masa pemerintahan Sikandar Lodi, sultan dari Delhi, dipilih sebagai ibu kota. Demikian pula di masa pemerintahan muslim kekaisaran Mughal. Agra menempati peringkat atas.

Buktinya dapat dilihat pada berbagai peninggalan fisik Mughal berupa fortifikasi atau kompleks perbentengan sampai istana Taj Mahal yang berjajar sepanjang tepian Sungai Yamuna, bersanding dengan reruntuhan kota warisan wangsa Lodi. Bahkan, kata Natish, dalam budaya tutur orangorang tua di daerahnya, ada cerita bahwa saat Shah Jahan, sang konseptor Taj Mahal membangun kota Shahjahanabad—lokasi itu kini dikenal sebagai Old Delhi—hatinya tetap tertambat di Agra. "Bila ingin melihat pentingnya keberadaan Agra sebagai kota, lihatlah enam stasiun kereta. Pertanda bidang transportasi yang menopang dunia pariwisata sangat diutamakan."

Memasuki kompleks Taj Mahal, hati saya masih saja bergetar. Padahal bukan lagi kunjungan perdana. Hari Kamis termasuk saat-saat padat pengunjung, mengingat destinasi ditutup setiap Jumat untuk keperluan ibadah. Pesona sosok pualam dipenuhi inskripsi bahasa Arab serta ukiran bebungaan, dedaunan, dan sulur saling bertaut dari bebatuan warna merah, hijau, cokelat dan hitam yang dikenal sebagai pietra dura itu membuat diri terdiam sejenak untuk memaknai sebutan pemberian sastrawan kenamaan India, Rabindranath Tagore.

Ia menyebut Taj Mahal bagai "Bulir air mata pada wajah keabadian." Julukan ini seolah menjadi pengobat keterkejutan akan mahalnya retribusi masuk ke kompleks Taj Mahal—bahwa tidak siasia membayarkan Rs 750 atau sekitar Rp 150.000 demi melihat keelokan itu.