“Weteng ngelih, pikiran ngalih,” kata orang Jawa. Artinya kira-kira begini, perut lapar bisa bikin pikiran terlempar. Dari zaman klasik sampai zaman kiwari, urusan perut selalu menjadi salah satu indikator utama kemakmuran. Urusan perut bisa menjadi urusan politik.
Prasasti Panggumulan dibuat pada 902. Prasasti ini berisi kabar peresmian Desa Panggumulan yang semula termasuk wilayah Puluwatu menjadi daerah perdikan karena harus memelihara bangunan suci di Kinawuhan. Terkait dengan upaya pemuliaan pangan, prasasti ini menyebutkan pejabat-pejabat yang menjaga lumbung padi atau tunggu durung, dan pejabat yang mengurusi perberasan atau huluwras.
Pada zaman berikutnya, ada kitab hukum yang mengatur segala urusan dari soal pangan sampai korupsi. Raja Hayam Wuruk, yang bertakhta pada abad ke-14, menyebutkan dalam prasasti semasa bahwa kitab hukum ini dijadikan sebagai pedoman.
Baca Juga: Kisah Simbolik Awal Mataram Sampai Babad Giyanti tentang Geger Pacinan
“Barang siapa mencuri palawija seperti ubi-ubian, buah-buahan, jika dilakukan pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja. Jika dilakukan pada siang hari, harus mengembalikan tiga kali lipat.”
Hukuman yang tegas untuk pencurian bahan pangan merupakan bagian upaya memuliakan daulat pangan. Dua larik kalimat itu bagian dari kitab hukum Kutara Manawa, yang berlaku pada masa Majapahit.
Raja menjatuhkan hukuman mati juga kepada orang yang mencuri padi lebih dari sepuluh ikat, atau mencurinya saat malam hari.
Kerajaan-kerajaan yang bertakhta di Mataram kuno sampai Majapahit dikenal sebagai kerajaan agraris. Prasasti dan manuskrip semasa menunjukkan pembukaan hutan untuk pertanian, lengkap dengan penyebutan tempat tumbuh tanaman—sawah, gaga, kebon, rawa, dan tegalan.
Baca Juga: Pada Suatu Mi: Untaian Gastronomi dari Dinasti Tang sampai Majapahit