Ketahanan Pangan di Masa Jawa Kuno dari Prasasti dan Manuskrip Semasa

By Fikri Muhammad, Kamis, 2 September 2021 | 13:00 WIB
Prasasti Panggumulan yang terbit pada 902. Terkait dengan upaya pemuliaan pangan, prasasti ini menyebutkan pejabat-pejabat yang menjaga lumbung padi atau tunggu durung, dan pejabat yang mengurusi perberasan atau huluwras. (Titi Surti Nastiti/Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)

Nationalgeographic.co.id—Arkeologi berasal dari kata Yunani, arkeos artinya kuno dan logos berarti ilmu. Maka itu, arkeologi ialah ilmu yang mempelajari benda-benda kuno. Sementara epigrafi, ialah suatu cabang dari arkeologi yang mempelajari tulisan kuno. Melalui hal-hal itu lah pengetahuan-pengetahuan masa lalu bisa terungkap, terutama soal pangan

Penemuan dari tulisan kuno banyak mengungkap sumber mengenai padi. Bukti tertua ditemukan di Bali Utara pada awal abad Masehi. Yang lainya, seperti berita asing masa Mataram Kuno (abad ke-8 hingga 11 M) sampai masa Majapahit (13-16 M), padi dan beras menjadi barang komoditi dan tulangg punggung kerajaan.

Adapula berita Tionghoa dari catatan Groeneveldt (1960), yang menuturkan padi setidaknya dipanen dua kali dalam setahun dan telah menjadi komoditi ekspor. Sementara itu gambaran masyarakat agraris pernah ditulis oleh Zoetmulder (1951), mengungkapkan salah satunya bahwa banyak tambak di utara-selatan perumahan.

“Weteng ngelih, pikiran ngalih,” kata orang Jawa. Artinya kira-kira begini, perut lapar bisa bikin pikiran terlempar. Dari zaman klasik sampai zaman kiwari, urusan perut selalu menjadi salah satu indikator utama kemakmuran. Urusan perut bisa menjadi urusan politik.

Prasasti Panggumulan dibuat pada 902. Prasasti ini berisi kabar peresmian Desa Panggumulan yang semula termasuk wilayah Puluwatu menjadi daerah perdikan karena harus memelihara bangunan suci di Kinawuhan. Terkait dengan upaya pemuliaan pangan, prasasti ini menyebutkan pejabat-pejabat yang menjaga lumbung padi atau tunggu durung, dan pejabat yang mengurusi perberasan atau huluwras.

Pada zaman berikutnya, ada kitab hukum yang mengatur segala urusan dari soal pangan sampai korupsi. Raja Hayam Wuruk, yang bertakhta pada abad ke-14, menyebutkan dalam prasasti semasa bahwa kitab hukum ini dijadikan sebagai pedoman.

Baca Juga: Kisah Simbolik Awal Mataram Sampai Babad Giyanti tentang Geger Pacinan

Prasasti Balinawan menyebutkan pejabat: wariga (ahli perbintangan) biasanya berhubungan dengan hari baik hari buruk untuk memulai sesuatu termasuk memulai bertani, tuhalas: pejabat kehutanan, tuha buru: pejabat yang mengurusi perburuan, uṇḍahagi; tukang kayu. (Titi Surti nastiti/Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)

“Barang siapa mencuri palawija seperti ubi-ubian, buah-buahan, jika dilakukan pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja. Jika dilakukan pada siang hari, harus mengembalikan tiga kali lipat.”

Hukuman yang tegas untuk pencurian bahan pangan merupakan bagian upaya memuliakan daulat pangan. Dua larik kalimat itu bagian dari kitab hukum Kutara Manawa, yang berlaku pada masa Majapahit.

Raja menjatuhkan hukuman mati juga kepada orang yang mencuri padi lebih dari sepuluh ikat, atau mencurinya saat malam hari.

Kerajaan-kerajaan yang bertakhta di Mataram kuno sampai Majapahit dikenal sebagai kerajaan agraris. Prasasti dan manuskrip semasa menunjukkan pembukaan hutan untuk pertanian, lengkap dengan penyebutan tempat tumbuh tanaman—sawah, gaga, kebon, rawa, dan tegalan.

Baca Juga: Pada Suatu Mi: Untaian Gastronomi dari Dinasti Tang sampai Majapahit

Dari prasasti zaman Mataram kuno pada seribu tahun silam, kita juga bisa mengetahui langkah-langkah menanam padi. Langkah paling awal adalah membuka lahan, membajak, menanam, menyiangi, menuai panen, sampai menumbuk padi.

Sebagai kebutuhan mendasar, pengelolaan pangan telah menjadi perhatian utama di setiap kerajaan. Pada zaman itu juga sudah dikenal organisasi kerja pertanian yang rapi. Pejabat urusan air, pejabat urusan hari baik untuk menanam, sampai pejabat urusan lumbung.

Bincang Redaksi-33 bertajuk Singkap Ketahanan Pangan Masa Jawa Kuno. Acara diskusi daring ini digelar National Geographic Indonesia dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Bahasannya seputar nukilan prasasti, manuskrip, dan berita asing tentang upaya masyarakat Mataram Kuno hingga Majapahit dalam menjaga kemandirian pangan.

Baca Juga: Bertualang ke Pasar Zaman Mataram Kuno. Adakah Tradisi yang Berlanjut?

Candi Borobudur dalam litografi karya Josias Cornelis Rappard pada 1883-1889. (Tropenmuseum)

Menurut Titi Surti Nastiti, arkeolog dan epigraf Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, pada masa Jawa Kuno telah terdapat para pejabat yang mengurus kegiatan agraris dari hulu ke hilir.

Hulu air, yang disingkat menjadi huler/hulair atau panulu banu: pejabat desa yang mengurus pengairan. Hulu wras/hulu weas: pejabat desa yang mengurusi perberasan. Wariga: pejabat desa yang mengurus hari baik untuk melakukan suatu pekerjaan, termasuk hari baik untuk pekerjaan yang ada hubungannya dengan pertanian seperti memulai menanam benih padi, panen, dan sebagainya. Juru ning kanayakan, patih, dan Wahuta: pejabat yang mengelola lumbung-lumbung padi. Tunggu durung atau penjaga lumbung. 

Baca Juga: Dewi Sri, Sosok Perempuan Sebagai Penjaga Kemakmuran Alam Semesta

 

Pada temuan arkeologis juga menunjukkan jenis tanah yang dikelola seperti sawah, gaga, renek, dan tegalan. "Pada relief Candi Borobudur menggambarkan, ada sepasang suami istri yang ingin pergi ke ladang dan membawa cangkul," tutur Titi saat menjelaskan temuan masyarakat agraris di acara Bincang Redaksi National Geographic Indonesia. 

Kita mengetahui dari sumber tertulis ada jenis tanah yang dikelola, pertama adalah sawah, gaga, renek, dan tegalan. Pada relief candi Borobudur menggambarkan, ada sepasang suami istri membawa cangkul menuju ladang mereka. Di Candi Borobudur juga kita bisa mendapatkan adegan seorang sedang membajak sawah dengan dua ekor sapi. 

Sementara di Bali, ada tahapan-tahapan mengerjakan sawah dari prasasti Songan Tambahan (1042), yakni: 

Amabaki (pembukaan lahan).

Amaluku (membajak).

Atanem (menanam).

Amatun (menyiang padi).

Ahani (menuai padi dengan ani-ani).

Anutu (menumbuk padi). 

Baca Juga: Kuasa Perempuan Sepanjang Riwayat Kerajaan-Kerajaan Jawa Kuno

Dewi Sri, patung dari kuningan asal Jawa. (ROUTES GALLERY)

Pada masa Jawa Kuno, Dewi Sri dianggap sebagai sosok yang mulia. Dia menaungi pada setiap bulir padi yang ditanam. Orang-orang Jawa kuno, memanen padi tidak menggunakan arit atau golok, melainkan harus diambil menggunakan ani-ani. 

"Karena Dewi Sri berjiwa halus dan lembut akan ketakutan ketika melihat senjata tajam. Ini sebagai penghormatan kepada padi, karena ia dianggap sebagai perwujudan Dewi Sri," tutur Titi.

Titi melanjutkan, bahwa ani-ani juga bisa menjadi hiasan rambut perempuan. Tak hanya di atas rambut tapi juga di belakangnya. Walau demikian, menurut Titi, sudah tidak banyak ditemukan petani yang memakai ani-ani karena beralih ke teknologi.

Sementara di bidang perkebunan, ada sumber dari Dinasti Song (960-1279) bahwa tanaman yang biasa ditanam oleh orang Jawa ialah pepaya, kelapa, pisang raja, tebu, dan talas.

Di sisi lain, bagian perikanan juga ditampilkan di Candi Borobudur. Digambarkan masyarakat yang mengambil ikan, terutama jenis laut. Dalam prasasti dan naskah kuno juga disebutkan macam-macam ikan, seperti ikan kembung, layaran, kakap, tenggiri, bawal, selar, cumi, dan udang. 

Pada akhir pemaparannya Titi memerikan beberapa larik Kakawin Ramayana Sarggah:

Raja bagaikan gunung, dan rakyatnya bagaikan rumput. Bertanggung jawab atas baik dan buruknya mereka untuk kebahagiaan. Bangsawan maupun rakyat jelata menjaga keseimbangan bagaikan hutan. Kamu adalah singa yang menjaganya sehingga terlihat indah.

Baca Juga: Jejak Tanah Leluhur Para Raja Jawa di Metropolitan Kuno Majapahit