Romantisme Kisah Nyai: Cinta Sejati Paul Verkerk dan Nyai Isah

By Galih Pranata, Selasa, 31 Agustus 2021 | 13:28 WIB
Pasangan Indo-Eropa diambil pada 1900. (Circa/KITLV)

Pada era VOC berkuasa sejak tahun 1652, hanya para petinggi, pejabat, dan saudagar VOC penting yang diperbolehkan membawa istri ke Hindia-Belanda. Pembatasan kebijakan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda, dengan dalih bahwa keberadaan para wanita Belanda di Hindia-Belanda akan semakin menyulitkan kondisi keuangan dan perekonomian para pegawai Belanda.

Kebijakan tersebut kemudian berdampak pada dimulainya era nyai di Hindia-Belanda, dimana para pegawai Belanda dapat memilih wanita Jawa untuk dijadikan gundik, sebagai pelayannya di rumah. Hal tersebut menggugah Wiggers untuk menulis tentang kisah seorang Belanda yang benar-benar jatuh cinta kepada gadis Jawa, Isah.

Baca Juga: Hulptroepen, Satuan Lokal Hindia-Belanda dalam Perang Dipanagara

Potret studio van Nakki pada 1910, nyai dari seorang kapten infanteri di Semarang. (Circa/KITLV)

"Isah adalah lambang kesetiaan, bahkan sekalipun Verkerk (kekasihnya) mengalami kebangkrutan karena kehilangan pekerjaan di perkebunan Kopi, di Bagelen, ia rela berjualan keliling untuk memenuhi kebutuhan kekasih dan anaknya" tulis Sutedja-Liem.

"Isah berkeliling dari desa ke desa dengan cikar (gerobak sapi) untuk membeli padi, yang kemudian ditumbuknya sendiri menjadi beras dan menjualnya di pasar. Selain itu, dia keliling menjual ketan, pisang goreng, dan lain-lainnya" tambahnya. Kisah cinta yang bersemi diantara keduanya lantas mengantarkan kebahagiaan ditengah golek pertentangan Belanda terhadap hubungan antar-ras pada abad ke-20.

Meski dianggap sebagai novel fiktif, Wiggers berhasil menguak fakta diantara kehidupan nyai era Hindia-Belanda, yang setia dan mau berjuang demi kekasih dan anak yang dicintainya. Menggunakan Verkerk dan Isah sebagai tokoh utama, novel ini sangat populer di abad ke-20. Bagi pribumi, utamanya novel ini sangat menggugah dan menawarkan sisi lain romantisme ras Belanda dan Jawa era penjajahan. 

Baca Juga: Filosofi Kuasa Perempuan di Balik Penutup Kepala Tradisional