Romantisme Kisah Nyai: Cinta Sejati Paul Verkerk dan Nyai Isah

By Galih Pranata, Selasa, 31 Agustus 2021 | 13:28 WIB
Pasangan Indo-Eropa diambil pada 1900. (Circa/KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Tatapannya kepada Isah, menyiratkan bahwa Verkerk benar-benar kesengsem dengan gadis manis Jawa itu. Nampaknya Verkerk benar jatuh hati, bukan karena untuk dijadikan gundiknya, tapi cinta yang sebenarnya.

Novel percintaan antara Paul Verkerk dengan Nyai Isah adalah suguhan lain tentang kisah Nyai di era Hindia-Belanda. Novel berjudul Tjerita Njai Isah digubah oleh Ferdinand Wiggers, penulis yang mahir membuat diksi-diksi berbahasa melayu, pada tahun 1904. Ia menuliskan kisah dari percintaan beda ras dan etnis, antara seorang Belanda dengan pribumi Jawa.

Wiggers menuliskan, awal mula percintaan dimulai pada saat Verkerk bertemu dengan Isah. Kemudian, Paul Verkerk datang ke rumah orang tua Isah agar ia dapat membawanya tinggal bersama. Namun, ayah Isah menolaknya. Kesadaaran dan tanpa pemaksaan dari Verkerk adalah bukti bahwa ia benar-benar cinta kepada Isah tanpa unsur pemaksaan. 

"Malang, pasca ditolaknya Verkerk oleh ayahnya, Isah jadi sering sakit-sakitan. Nampaknya ia juga telah jatuh hati kepada pegawai perkebunan kopi itu. Dari sini, kemudian ayah Isah melepas putri tercintanya dan memercayai Verkerk, untuk menyayangi putrinya" tulisnya.

Bagi Wiggers, beberapa kisah nyai di Hindia-Belanda, memiliki citra yang berbeda dengan kisah-kisah nyai pada umumnya. Jelas, tulisannya mengarah pada potret nyai yang benar-benar dicintai oleh seorang Belanda, bukan sekedar karena nafsu belaka.

Maya Sutedja-Liem dalam tulisannya berjudul Menghapus Citra Buruk Njai dalam Karya-Karya Fiksi Berbahasa Melayu (1896-1927), publikasi 2008, menceritakan kisah-kisah para nyai dalam bingkai kolonial Belanda. Ia juga menyinggung tentang karya-karya sastra Belanda yang kerap mendiskriminasi figur nyai.

Baca Juga: Seluk Beluk Cerita Kehidupan Para Nyai di Zaman Hindia Belanda

Potret seorang Nyai, 1867. Nyai menjadi cibiran dikalangan masyarakat pribumi. Layaknya seorang istri, nyai menjadi pelayan bagi pria Eropa tanpa adanya status pernikahan. (Jacobus Anthonie Meessen)

"Umumnya dalam sastra kolonial Hindia-Belanda (tentang) nyai, yang ditampilkan berulang-ulang, sering digambarkan sebagai wanita yang tidak setia, yang mengincar harta sang pria, dan yang suka balas dendam terhadap 'majikannya'  dengan menggunakan gunaguna, sehingga terbentuk sebuah gambaran stereotipe yang negatif dari nyai" tulisnya.

Pada tahun 1990, Henk M.J Maier menerbitkan tulisannya berjudul Some Genealogical Remarks On The Emergence of Modern Malay Literature, menjelaskan citra negatif yang dilahirkan dari perspektif kompeni, yang kemudian ditafsirkan negatif oleh masyarakat luas.

"Dalam novel-novel karya sastra kolonial, njai dipergunakan sebagai lambang degenerasi, lambang peruntuhan masyarakat kolonial" tulisnya. Njai dianggap tidak beradab dan kerap kali mengalami diskriminasi rasial, dengan anggapan keturunan dari hasil hubungan dengan nyai menghasilkan degenerasi, atau runtuhnya keturunan bangsa Eropa yang luhur.

Baca Juga: Gemerlap Para Nyonya Sosialita di Batavia Zaman VOC

Pada era VOC berkuasa sejak tahun 1652, hanya para petinggi, pejabat, dan saudagar VOC penting yang diperbolehkan membawa istri ke Hindia-Belanda. Pembatasan kebijakan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda, dengan dalih bahwa keberadaan para wanita Belanda di Hindia-Belanda akan semakin menyulitkan kondisi keuangan dan perekonomian para pegawai Belanda.

Kebijakan tersebut kemudian berdampak pada dimulainya era nyai di Hindia-Belanda, dimana para pegawai Belanda dapat memilih wanita Jawa untuk dijadikan gundik, sebagai pelayannya di rumah. Hal tersebut menggugah Wiggers untuk menulis tentang kisah seorang Belanda yang benar-benar jatuh cinta kepada gadis Jawa, Isah.

Baca Juga: Hulptroepen, Satuan Lokal Hindia-Belanda dalam Perang Dipanagara

Potret studio van Nakki pada 1910, nyai dari seorang kapten infanteri di Semarang. (Circa/KITLV)

"Isah adalah lambang kesetiaan, bahkan sekalipun Verkerk (kekasihnya) mengalami kebangkrutan karena kehilangan pekerjaan di perkebunan Kopi, di Bagelen, ia rela berjualan keliling untuk memenuhi kebutuhan kekasih dan anaknya" tulis Sutedja-Liem.

"Isah berkeliling dari desa ke desa dengan cikar (gerobak sapi) untuk membeli padi, yang kemudian ditumbuknya sendiri menjadi beras dan menjualnya di pasar. Selain itu, dia keliling menjual ketan, pisang goreng, dan lain-lainnya" tambahnya. Kisah cinta yang bersemi diantara keduanya lantas mengantarkan kebahagiaan ditengah golek pertentangan Belanda terhadap hubungan antar-ras pada abad ke-20.

Meski dianggap sebagai novel fiktif, Wiggers berhasil menguak fakta diantara kehidupan nyai era Hindia-Belanda, yang setia dan mau berjuang demi kekasih dan anak yang dicintainya. Menggunakan Verkerk dan Isah sebagai tokoh utama, novel ini sangat populer di abad ke-20. Bagi pribumi, utamanya novel ini sangat menggugah dan menawarkan sisi lain romantisme ras Belanda dan Jawa era penjajahan. 

Baca Juga: Filosofi Kuasa Perempuan di Balik Penutup Kepala Tradisional