Kisah Haru Persahabatan Dua Difabel Muslim dan Kristen dari Damaskus

By Galih Pranata, Kamis, 2 September 2021 | 19:47 WIB
Foto Muhammad dan Samir yang diambil pada 1889, di Library of Congress. (Tancrède R. Dumas)

"Muhammad memanggil Samir, namun tak ada sahutan darinya" tulis Williams. Muhammad mengetahui, saat itu sahabatnya telah lebih dulu meninggalkannya. Mereka dikaruniai umur yang panjang, sebegitu lamanya mereka saling menopang, bekerja sama satu sama lain.

Lebih dari kehilangan matanya, Muhammad telah kehilangan seseorang yang paling ia kasihi dihidupnya. Samir telah menjadi setengah hidupnya. Selepas kejadian itu, Muhammad murung, ia menangis selama seminggu dikamarnya, tak ingin meninggalkan Samir dalam kesendirian.

Seminggu berselang, kesedihan yang teramat, merenggut jiwanya. Muhammad wafat disamping jasad Samir. Muhammad dan Samir adalah kisah persahabatan yang kekal, sehidup semati. Saling mengasihi dan memberi kedamaian, merupakan hal yang mereka jalani setiap hari. 

Baca Juga: Hashshashin, Pembunuh Terampil Sekte Muslim Rahasia Persia dan Suriah

Sebuah lukisan suasana Gerbang Masjid Agung Umayyah di Damaskus. Lukisan bertanda tangan dan bertanggal 'G. Bauernfeind/Damaskus/München 1890' di sisi kanan bawah. Lukisan karya Gustav Bauernfeind (1848–1904). (Christies)

 

"Jika kita tidak memiliki kedamaian, itu karena kita lupa bahwa kita adalah milik satu sama lain", salah satu kata mutiara dari Bunda Teresa. Begitu juga dalam perspektif Islam, Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya, "Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya". 

Mari kita belajar dari kisah Samir dan Muhammad dalam menciptakan harmoni dan kedamaian ditengah perbedaan. Lebih jauh lagi, mereka telah mengenalkan kepada kita tentang rasa saling menyayangi dan saling melengkapi satu sama lain.

Baca Juga: Zenobia, Ratu Pemberontak di Suriah yang Menantang Kekaisaran Romawi