Menilik Gaya Berbusana Jawa Kuno, Melalui Relief Karmawibhangga

By Galih Pranata, Rabu, 8 September 2021 | 14:00 WIB
Salah satu penggambaran wanita dalam relief Karmawibhangga, candi Borobudur. (Andrea Arci)

Mereka berupaya untuk menyelisik tren busana yang berkembang di era Jawa kuno melalui relief candi, dalam tulisannya yang dimuat pada jurnal Texfile berjudul Gaya Berbusana Pria dan Wanita Pada Relief Candi Panataran, publikasi tahun 2016.

"Relief Karmawibhangga merupakan objek yang menggambarkan kehidupan nyata dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga segala bentuk busana yang lekat pada objek-objek gambar, diduga merupakan yang mereka kenakan sehari-hari" tulisnya.

Para seniman candi dalam membuat objek pada relief, untuk menggambarkan gender, secara sederhana dibedakan melalui caranya mengenakan busana. Objek laki-laki akan digambarkan mengenakan kain yang hanya menutupi tubuh bagian bawah dengan dua macam panjang kain yang bebeda.

Objek perempuan pada umumnya akan digambarkan dengan kain panjang yang menutupi tubuh bagian atas sampai kaki. Lebih tepatnya kain tersebut menutupi dari bagian dada sampai mata kaki.

Baca Juga: Napak Tilas Perjuangan Perang Dipanagara di Sekitar Borobudur

Relief Karmawibhangga menggambarkan segala bentuk busana yang lekat pada objek-objek gambar, diduga merupakan yang mereka kenakan sehari-hari. Foto oleh Kassian Cephas. (KEMENDIKBUD)

Candi Borobudur dalam litografi karya Josias Cornelis Rappard pada 1883-1889. (Tropenmuseum)

Baca Juga: Candi Agung di Tubir Danau, Di Balik Perdebatan Telaga Borobudur

"Meskipun demikian terdapat beberapa tokoh yang mengenakan kain yang lebih pendek menyerupai cawat yang dikenakan oleh tokoh pria. Namun sangat jarang, dan bagian yang sangat terlihat untuk membedakannya terdapat pada aksesoris yang dikenakan" tambahnya.

Para pria di zaman itu, digambarkan melalui busana kain panjang dan kain pendek. "Kain pendek lebih banyak dikenakan oleh tokoh dengan status sosial yang lebih rendah. Hal ini dapat merujuk pada aturan di masa lalu (era Majapahit), bahwa kain panjang tertentu hanya boleh dikenakan oleh kaum tertentu, seperti halnya bangsawan" tulis mereka.

Utsman dan Setyawan meneruskan, "Namun apabila dilihat berdasarkan potongan reliefnya, kain pendek ini dikenakan berdasarkan fungsinya". Biasanya, fungsi kain pendek digunakan para pekerja kasar atau penjahat untuk memberikan ruang gerak yang lebih bebas bagi pemakainya.

Fatma Diah dan Nunuk Giari Murwandani dalam jurnalnya berjudul Tinjauan Visual Pada Terakota Koleksi Museum Majapahit, Trowulan, Kabupaten Mojokerto, publikasi tahun 2014, berupaya mengintepretasi bentuk visual dari busana yang diterapkan dalam terakota Majapahit.

Baca Juga: Punthuk Setumbu, Upaya Pejalan Menikmati Borobudur Berselimut Kabut

Relief Karmawibhangga. Terdapat kemiripan antara alat-alat musik pada relief Borobudur dengan sejumlah alat musik di Asia Tenggara, baik di penjuru Indonesia maupun banyak negara lain. Foto oleh Kassian Céphas. (KEMENDIKBUD)

"Kain panjangnya terjuntai dari pinggang hingga mata kaki ini lebih banyak dikenakan oleh kaum bangsawan atau kerajaan. Hal ini  merepresentasikan bahwa tokoh yang mengenakan kain panjang tersebut tidak terlalu banyak bergerak layaknya tokoh pria yang berkain pendek" tulisnya.

Busana wanita lebih tertutup dan lebih banyak digambarkan dengan kain yang menutupi dadanya. "Beberapa relief menggambarkan wanita bertelanjang dada  mungkin juga merupakan gaya busana wanita biasa di zaman dulu" tambahnya. Hanya saja, ada juga dalam relief lain digambarkan bahwa Dewi yang turun dari kahyangan, memakai busana yang lebih tertutup. 

Baca Juga: Bagaimana Cara Peziarah Kuno Menyaksikan Pahatan Kisah Borobudur?