Nationalgeographic.co.id — Relief menggambarkan banyak hal untuk mengomunikasikan segala hal yang terjadi di masa lampau, salah satunya adalah gaya berpakaian. Tren dalam berbusana sudah dikenal sejak era Jawa Kuno, khususnya pada masa berkembangnya ajaran Hindu dan Buddha di Indonesia.
Era itu, busana terbagi menjadi tiga golongan pemakainya. Terdapat golongan rakyat biasa, para pendeta, dan kaum bangsawan. Dari sana, dapat dilihat busana yang dikenakan, menandakan adanya perbedaan derajat sosial maupun ekonomi. Kajian dilakukan oleh ikonograf pada relief yang paling umum ditemukan di banyak candi, Karmawibhangga.
"Gambaran tersebut (relief busana) merupakan gambaran dari realitas sosial yang berkembang di masa lalu. Selain pada alur cerita yang berdasarkan aturan-aturan susastra Jawa (kakawin dan kidung) yang melatar belakanginya, peran seorang raja dalam proses pengkaryaan pahat tersebut sangatlah dominan" tulis Utsman Amiruddin Sulaiman dan Setyawan.
Mereka berupaya untuk menyelisik tren busana yang berkembang di era Jawa kuno melalui relief candi, dalam tulisannya yang dimuat pada jurnal Texfile berjudul Gaya Berbusana Pria dan Wanita Pada Relief Candi Panataran, publikasi tahun 2016.
"Relief Karmawibhangga merupakan objek yang menggambarkan kehidupan nyata dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga segala bentuk busana yang lekat pada objek-objek gambar, diduga merupakan yang mereka kenakan sehari-hari" tulisnya.
Para seniman candi dalam membuat objek pada relief, untuk menggambarkan gender, secara sederhana dibedakan melalui caranya mengenakan busana. Objek laki-laki akan digambarkan mengenakan kain yang hanya menutupi tubuh bagian bawah dengan dua macam panjang kain yang bebeda.
Objek perempuan pada umumnya akan digambarkan dengan kain panjang yang menutupi tubuh bagian atas sampai kaki. Lebih tepatnya kain tersebut menutupi dari bagian dada sampai mata kaki.
Baca Juga: Napak Tilas Perjuangan Perang Dipanagara di Sekitar Borobudur
Baca Juga: Candi Agung di Tubir Danau, Di Balik Perdebatan Telaga Borobudur
"Meskipun demikian terdapat beberapa tokoh yang mengenakan kain yang lebih pendek menyerupai cawat yang dikenakan oleh tokoh pria. Namun sangat jarang, dan bagian yang sangat terlihat untuk membedakannya terdapat pada aksesoris yang dikenakan" tambahnya.
Para pria di zaman itu, digambarkan melalui busana kain panjang dan kain pendek. "Kain pendek lebih banyak dikenakan oleh tokoh dengan status sosial yang lebih rendah. Hal ini dapat merujuk pada aturan di masa lalu (era Majapahit), bahwa kain panjang tertentu hanya boleh dikenakan oleh kaum tertentu, seperti halnya bangsawan" tulis mereka.
Utsman dan Setyawan meneruskan, "Namun apabila dilihat berdasarkan potongan reliefnya, kain pendek ini dikenakan berdasarkan fungsinya". Biasanya, fungsi kain pendek digunakan para pekerja kasar atau penjahat untuk memberikan ruang gerak yang lebih bebas bagi pemakainya.
Fatma Diah dan Nunuk Giari Murwandani dalam jurnalnya berjudul Tinjauan Visual Pada Terakota Koleksi Museum Majapahit, Trowulan, Kabupaten Mojokerto, publikasi tahun 2014, berupaya mengintepretasi bentuk visual dari busana yang diterapkan dalam terakota Majapahit.
Baca Juga: Punthuk Setumbu, Upaya Pejalan Menikmati Borobudur Berselimut Kabut
"Kain panjangnya terjuntai dari pinggang hingga mata kaki ini lebih banyak dikenakan oleh kaum bangsawan atau kerajaan. Hal ini merepresentasikan bahwa tokoh yang mengenakan kain panjang tersebut tidak terlalu banyak bergerak layaknya tokoh pria yang berkain pendek" tulisnya.
Busana wanita lebih tertutup dan lebih banyak digambarkan dengan kain yang menutupi dadanya. "Beberapa relief menggambarkan wanita bertelanjang dada mungkin juga merupakan gaya busana wanita biasa di zaman dulu" tambahnya. Hanya saja, ada juga dalam relief lain digambarkan bahwa Dewi yang turun dari kahyangan, memakai busana yang lebih tertutup.
Baca Juga: Bagaimana Cara Peziarah Kuno Menyaksikan Pahatan Kisah Borobudur?