Selidik Pemanfaatan Racun Alami Untuk Menuntaskan Pengobatan

By Agnes Angelros Nevio, Jumat, 10 September 2021 | 20:02 WIB
Kadal gila yang difoto di Kebun Binatang Atlanta di Georgia. Kadal berbisa ini berasal dari Amerika Utara. Para ilmuwan sedang memilah-milah zat beracun alam untuk mempelajari cara kerja komponen molekuler mereka. (Joel Sartore/National Geographic Photo Ark)

Robinson, seorang peneliti di Institute for Molecular Bioscience di University of Queensland, Australia, tidak mencari pengalaman yang menyakitkan di alam liar hanya untuk iseng. Meskipun demikian ia mencatat bagaimana setiap rasa sengatan itu di media sosial. Dia adalah bagian dari kader ilmuwan yang yakin ada potensi medis yang belum dimanfaatkan dalam berbagi racun alam.

Berkat kemajuan teknologi dalam dekade terakhir, sekarang ada banyak data tentang bagaimana berbagai racun berperilaku dan mempengaruhi tubuh. Sementara racun sebagian besar terkenal karena menyebabkan kerusakan, penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan kimia dan mekanisme racun dapat mengarah pada terapi baru yang menarik untuk mengobati rasa sakit, kanker, dan banyak lagi.

Beberapa obat yang terbukti berasal dari racun sudah tersedia untuk hari ini. Salah satu obat tekanan darah pertama yang disetujui untuk penggunaan klinis, Captoten (captopril), berasal dari studi racun Bothrops jararaca, seekor ular beludak yang gigitannya membuat tekanan darah mangsanya turun. Obat Byetta (exenatide), yang menurunkan kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes tipe 2, dikembangkan dari air liur monster Gila, kadal berbisa yang berasal dari Amerika Utara. Dan racun siput kerucut mengilhami pengembangan Prialt (ziconotide), obat penghilang rasa sakit yang disuntikkan ke dalam cairan tulang belakang pasien.

Baca Juga: Amfibi Seperti Cacing Ini Diduga Memiliki Air Liur yang Berbisa

Bothrops jararaca—dikenal sebagai jararaca atau yarara— adalah spesies ular berbisa endemik Amerika Selatan di Brasil selatan, Paraguay, dan Argentina utara. (WIKISCIENCE)

Akan tetapi, Robinson dan rekannya berpendapat bahwa ada lebih banyak pekerjaan yang dapat dilakukan untuk mengubah bahan kimia racun menjadi obat yang aman dan efektif bagi manusia. 

Racun adalah "penjahat super dan pahlawan super," kata Mandë Holford, seorang profesor kimia di Hunter College dan City University of New York Graduate Center. Berfokus pada siput berbisa, Holford mempelajari evolusi racun dengan tujuan akhir menguraikan genetika, atau apa yang dia sebut "Batu Rosetta racun."

"Kecuali kita dapat memahami bahasa tentang bagaimana gen racun berevolusi dan berfungsi," katanya, "maka kita benar-benar hanya mengutak-atik permukaan."

Menilai rasa sakit dan mendekonstruksi mekanismenya

Para ilmuwan yang mempelajari makhluk berbisa biasanya tersengat sebagai bahaya pekerjaan, dan beberapa dari mereka telah berangkat untuk mendokumentasikan sensasi dari beberapa racun yang paling menyakitkan di dunia. Ini adalah hobi dengan tujuan—menilai rasa sakit dari berbagai sengatan—memungkinkan peneliti untuk membandingkan sensasi yang berbeda. Hal ini juga merupakan salah satu cara untuk menentukan bahwa komponen racun yang berbeda berinteraksi dengan sistem saraf dengan cara yang berbeda.

Ahli entomologi Justin O. Schmidt, sekarang berbasis di Southwest Biological Institute di Arizona, memulai sebuah proyek pada akhir 1970-an. Dia membuat katalog pengalaman subjektifnya saat disengat oleh semua jenis serangga. Kemudian, dari percobaan itu dia menghasilkan sebuah buku indeks nyeri sengatan Schmidt yang terkenal. Sengatan yang menginspirasinya berasal dari semut merah besar.