Hindia Belanda yang saat itu dipimpin Baron van der Capellen, mengenyam sistem dimana pemerintah hanyalah fasilitator, dan para pengusaha tidak memiliki tempat, kecuali di tanah-tanah partikelir.
Nahuys akhirnya menyampaikan keluhan itu, dengan solusi Vorstenlanden sebagai lahan investasi swasta. Tentunya, para investor di Eropa menuntut adanya jaminan hukum untuk mempercayakan modalnya berjalan untuk membangun produktivitas perkebunan, dari risiko pelanggaran atau pembatalan sepihak oleh pemilik tanah.
Sedangkan di tanah Jawa sendiri menggunakan hukum adat untuk mengatur masalah agraria di Yogyakarta. Hangger Sadasa. Di dalamnya tidak memuat tentang transaksi sewa-menyewa, kecuali peminjaman tanah, yang tentunya jaminan hukum yang diinginkan investor tidak ada.
Baca Juga: Keraton Yogyakarta Terlibat dalam Siasat Menjebak Dipanagara?
"Situasi ini jelas menimbulkan ragu-ragu di kalangan investor, yang berarti ancaman gagal terhadap rencana Nahuys," terang Harto.
Ketika Nahuys menjadi politikus, dan kebetulan pada 1817-1818 Sultan Hamengkubuwana IV belum bisa memerintah sendiri karena masih muda, dia mendekati Patih Danureja IV untuk mengubah ketentuan Hangger Sadasa. Perubahan itu terjadi pada 4 Oktober 1818, yang membuat penyewaan antara pejabat pribumi dan investor Eropa bisa dilakukan.
1819, para investor berdatangan ke Yogyakarta dan bertransaksi lewat Nahuys dan Pati Danureja sebagai perantara, kemudian sejumlah bangsawan pemilik tanah. Makin membludak investor berdatangan, singkatnya Nahuys juga berhasil mendapatkan izin tanah di Surakarta dengan revisi Hangger Sadasa.