Riwayat Sewa Tanah Keraton Yogyakarta Penyulut Perang Dipanagara

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 21 September 2021 | 19:30 WIB
Batik Belanda bertema Perang Jawa koleksi Museum Danar Hadi, Surakarta. Perang ini pecah karena salah satunya masalah konflik sewa tanah antara pemerintah Hindia Belanda dan Keraton Yogyakarta yang tidak adil. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Sistem sewa tanah dicabut oleh Gubernur Jenderal van der Capellen tahun 1823, agar dikembalikan ke pemiliknya. Akibatnya, pihak Keraton Yogyakarta terancam bangkrut, karena ada banyak lahan yang disewa orang Eropa dan menjadi kas besar bagi Kesultanan.

Tetapi siapa sangka, masalah ini menjadi salah satu faktor pecahnya Perang Dipanagara? Untuk mengetahuinya, bisa dilihat awal mulanya lewat kacamata hukum pada masa itu.

Harto Juwono, sejarawan Universitas Indonesia menulis dalam Pembatalan Sewa Tanah di Vorstenlanden tahun 1823: Kasus Kontra Lex Rei Sitae di jurnal Mozaik 2013. Dia menilai, perjanjian antara raja-raja Jawa dengan Belanda sebenarnya membuat produk hukum lewat kontrak politik, sejak berkuasanya Hamengkubuwana II.

Meski demikian, ganjaran bila salah satu pihak melanggar masih tidak jelas dalam pasal-pasalnya. Kontrak politik juga kian rumit ketika diterapkan pada bidang perdata, seperti sektor agrobisnis.

"Selain aneksasi agraria yang mewarnai kontrak-kontrak politik pada awal abad XIX, khususnya kontrak bulan Januari 1811 dan Agustus 1812, tidak ada ketentuan yang mengatur aspek perdata kontrak-kontrak tersebut," tulis Harto.

"Dengan demikian secara de facto penguasa kolonial Eropa megngakui keabsahan aturan hukum yang dibuat dan diberlakukan pada wilayah Vorstenlanden (terj. tanah kerajaan) oleh raja-raja Jawa."

Baca Juga: Napak Tilas Perjuangan Perang Dipanagara di Sekitar Borobudur

Lukisan bertajuk Redoute et camp retranche a Tempel. Benteng-medan yang berlokasi di antara jalur Yogyakarta dan Magelang untuk pertahanan Perang Jawa. Karya François Vincent Henri Antoine de Stuers, sekitar 1825-1830. (KITLV)

Tanah raja-raja Jawa akhirnya menjadi milik negeri koloni ketika dikuasai Inggris. Secara otomatis, kewenangan atas tanah itu digunakan ketika Belanda berkuasa kembali.

Namun Nahuys van Burgst, seorang residen dan perwira angkatan darat Hindia Timur menandang, perekonomian negara mengalami defisit setelah kehilangan koloni selama enam tahun, belum lagi pemulihan akibat peperangan di Eropa.

Dia juga mendengar banyak keluhan dari teman-teman pengusaha Belanda. Keluhan itu berupa nasib menganggur akibat investasi anjlok yang harus ditarik akibat perang, dan peluang berinvestasi di tanah koloni.

Baca Juga: Hulptroepen, Satuan Lokal Hindia-Belanda dalam Perang Dipanagara

Hindia Belanda yang saat itu dipimpin Baron van der Capellen, mengenyam sistem dimana pemerintah hanyalah fasilitator, dan para pengusaha tidak memiliki tempat, kecuali di tanah-tanah partikelir.

Nahuys akhirnya menyampaikan keluhan itu, dengan solusi Vorstenlanden sebagai lahan investasi swasta. Tentunya, para investor di Eropa menuntut adanya jaminan hukum untuk mempercayakan modalnya berjalan untuk membangun produktivitas perkebunan, dari risiko pelanggaran atau pembatalan sepihak oleh pemilik tanah.

Sedangkan di tanah Jawa sendiri menggunakan hukum adat untuk mengatur masalah agraria di Yogyakarta. Hangger Sadasa. Di dalamnya tidak memuat tentang transaksi sewa-menyewa, kecuali peminjaman tanah, yang tentunya jaminan hukum yang diinginkan investor tidak ada.

Baca Juga: Keraton Yogyakarta Terlibat dalam Siasat Menjebak Dipanagara?

Godart Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen, menjabat sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda 1816-1826 (Rijksmuseum)

"Situasi ini jelas menimbulkan ragu-ragu di kalangan investor, yang berarti ancaman gagal terhadap rencana Nahuys," terang Harto.

Ketika Nahuys menjadi politikus, dan kebetulan pada 1817-1818 Sultan Hamengkubuwana IV belum bisa memerintah sendiri karena masih muda, dia mendekati Patih Danureja IV untuk mengubah ketentuan Hangger Sadasa. Perubahan itu terjadi pada 4 Oktober 1818, yang membuat penyewaan antara pejabat pribumi dan investor Eropa bisa dilakukan.

1819, para investor berdatangan ke Yogyakarta dan bertransaksi lewat Nahuys dan Pati Danureja sebagai perantara, kemudian sejumlah bangsawan pemilik tanah. Makin membludak investor berdatangan, singkatnya Nahuys juga berhasil mendapatkan izin tanah di Surakarta dengan revisi Hangger Sadasa.

Sistem sewa tanah ini membuat keuntungan besar bagi para penyewa tanah, khususnya di Yogyakarta. Mereka berhasil meningkatkan produktivitas kopi, dengan penawaran tertinggi dibandingkan komoditas lain.

Rupanya, kondisi ini merugikan pemerintah Hindia Belanda, karena produksi kopi dari Vorstenlanden membuat kopi mereka menurun. Kompetisi dagang ini membuat Baron van der Capellen mempertimbangkan untuk memutuskan kondisi ini. Apa lagi, dia khawatir akan risiko teguran Raja Willem II yang memercayakan produktivitas koloni Hindia Belanda padanya.

Maka, dia melarang orang-orang Belanda melakukan sewa tanah di Vorstenlanden pada Mei 1823. Para pengusaha memberi reaksi, karena sudah terlanjur berinvestasi, dan belum mampu mengembalikan jumlah modalnya.

Baca Juga: Sepuluh Fakta Tersembunyi Di Balik Ganasnya Kecamuk Perang Jawa

Danureja IV, menjabat patih dari 2 Desember 1813 hingga 22 Februari 1847. Dia yang menjembatani Nahuys untuk membiarkan pengusaha swasta Eropa bisa berinvestasi di tanah Keraton Yogyakarta menjelang Perang Dipanagara. (Keraton Yogyakarta)

Awalnya Nahuys mendesak Van der Capellen untuk mencabut keputusan itu, tapi gagal. Dia pun mundur dari jabatan residen Yogyakarta dan Surakarta, dan tidak mau lagi tinggal di Hindia Timur dan kembali ke Belanda. Para pengusaha melayangkan keluhannya langsung ke Raja Willem II.

Singkatnya, Van der Capellen atas desakan raja, memaksa raja-raja Yogyakarta dan Surakarta mengembalikan uang sewa. Hal ini bermasalah bagi Keraton Yogyakarta, yang hasil produksinya lebih tinggi dibandingkan Surakarta. 

"Mereka (Keraton Yogyakarta) telah menggunakan uang sewa yang ada dan tidak lagi mampu mengembalikan tuntutan itu," tulis Harto. Imbasnya, apra pemilik tanah yang memiliki hutang kepada Keraton, terpaksa tanahnya diambil alih Keraton.

Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara

Di sisi lain, sejarawan Trinity College Peter Carey dalam laporan National Geographic Indonesia sebelumnya, memaparkan membiarkan pemilik tanah juga memberikan kompensasi batas waktu pengembalian tanah oleh penyewa dari Eropa.

Peraturan ini menimbulkan risiko menguatnya faksi anti-Belanda di tubuh Keraton yang begitu dekat dengan pemerintah kolonial. Melalui buku berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (185-1855), Carey memaparkan Pangeran Dipanagara memutuskan hubungan dan meninggalkan Keraton sejak Februari 1824.

Singkatnya, sang Pangeran menyiapkan siasat dan mengumpulkan pengikut, untuk melawan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda yang telah mencekik rakyat. Di sisi lain, Patih Danureja IV malah berpihak pada Belanda dan mengerahkan militernya untuk memeranginya.

Pangeran Dipanagara (1785-1855). (KITLV)