Riwayat Sewa Tanah Keraton Yogyakarta Penyulut Perang Dipanagara

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 21 September 2021 | 19:30 WIB
Batik Belanda bertema Perang Jawa koleksi Museum Danar Hadi, Surakarta. Perang ini pecah karena salah satunya masalah konflik sewa tanah antara pemerintah Hindia Belanda dan Keraton Yogyakarta yang tidak adil. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Meski demikian, ganjaran bila salah satu pihak melanggar masih tidak jelas dalam pasal-pasalnya. Kontrak politik juga kian rumit ketika diterapkan pada bidang perdata, seperti sektor agrobisnis.

"Selain aneksasi agraria yang mewarnai kontrak-kontrak politik pada awal abad XIX, khususnya kontrak bulan Januari 1811 dan Agustus 1812, tidak ada ketentuan yang mengatur aspek perdata kontrak-kontrak tersebut," tulis Harto.

"Dengan demikian secara de facto penguasa kolonial Eropa megngakui keabsahan aturan hukum yang dibuat dan diberlakukan pada wilayah Vorstenlanden (terj. tanah kerajaan) oleh raja-raja Jawa."

Baca Juga: Napak Tilas Perjuangan Perang Dipanagara di Sekitar Borobudur

Lukisan bertajuk Redoute et camp retranche a Tempel. Benteng-medan yang berlokasi di antara jalur Yogyakarta dan Magelang untuk pertahanan Perang Jawa. Karya François Vincent Henri Antoine de Stuers, sekitar 1825-1830. (KITLV)

Tanah raja-raja Jawa akhirnya menjadi milik negeri koloni ketika dikuasai Inggris. Secara otomatis, kewenangan atas tanah itu digunakan ketika Belanda berkuasa kembali.

Namun Nahuys van Burgst, seorang residen dan perwira angkatan darat Hindia Timur menandang, perekonomian negara mengalami defisit setelah kehilangan koloni selama enam tahun, belum lagi pemulihan akibat peperangan di Eropa.

Dia juga mendengar banyak keluhan dari teman-teman pengusaha Belanda. Keluhan itu berupa nasib menganggur akibat investasi anjlok yang harus ditarik akibat perang, dan peluang berinvestasi di tanah koloni.

Baca Juga: Hulptroepen, Satuan Lokal Hindia-Belanda dalam Perang Dipanagara