Peran Residen Sebagai Utusan Belanda di Keraton Yogyakarta Abad Ke-18

By Galih Pranata, Selasa, 21 September 2021 | 17:40 WIB
Potret Residen dan Sultan di Pendapa Agung, Keraton Yogyakarta, sekitar awal abad ke-20. Sejak negara Indonesia berdiri, jabatan Residen tidak digunakan lagi. Dahulu, perannya meliputi birokrasi antara Keraton Yogyakarta dengan pemerintah Hindia Belanda. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Pasca Indonesia merdeka, istilah Residen nampaknya tidak digunakan lagi. Perannya di masa lampau meliputi kesibukan birokrasi yang dibangun antara Keraton Yogyakarta dengan Belanda. Bukan rahasia lagi, jika Keraton telah terbuka dalam menjalin urusan dengan pihak Belanda.

Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya berjudul Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, terbitan tahun 2002, hasil terjemahan Hartono Hadikusumo dan Setiyawati Alkhatab dari buku asli berjudul Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792. Buku tersebut mengulas riwayat Residen yang disibukkan dengan urusan Keraton dan Belanda.

Semenjak perjanjian pada 1743 dan 1755, akhirnya terjadi kesepakatan birokrasi antara Belanda dengan Keraton, kemudian diangkatlah Residen dan Patih untuk menjembatani birokrasi tersebut. Fungsinya adalah sebagaimana kedutaan besar sekarang. Diantara keduanya, perlu menguasai bahasa Jawa dan Belanda. 

Bagi Belanda, mereka ditugaskan sebagai Residen untuk mengawasi Keraton. Sebaliknya, bagi Keraton Yogyakarta, mereka mengutus Patih yang ditugaskan untuk mengawasi Belanda. Danureja I dipilih sebagai Patih pertama untuk tugas di Pemerintahan Hindia-Belanda dan J.M. van Rhijn sebagai Residen pertama untuk Keraton Yogyakarta. 

"Residen memiliki loyalitas ganda kepada kompeni dan kepada rajanya, sebagaimana fungsi kerja Patih di Jawa" tulis Ricklefs. Residen merupakan abdi yang diangkat langsung oleh Belanda dan biasanya diisi oleh orang-orang Belanda. Residen Yogyakarta pertama dijabat oleh J.M. van Rhijn, seorang Belanda yang pernah menjabat sebagai Residen kedua di Surakarta.

Uniknya, kebanyak Residen yang notabene orang Belanda, bekerja penuh di keraton. Ricklefs bahkan menyebut bahwa para kompeni sendiri sampai mencurigai para Residen telah bersekutu dengan Keraton untuk memerangi Belanda. J.M.van Rhijn telah mengenyam asam garam sebagai Residen yang bekerja selama tiga belas tahun (di Surakarta dan kemudian Yogyakarta) di Keraton Jawa.

Baca Juga: Keraton Yogyakarta Terlibat dalam Siasat Menjebak Dipanagara?

Lukisan karya Johannes Rach, yang memperlihatkan Alun-alun Utara dan tahun-tahun awal Keraton Yogyakarta. (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

"Ia (J.M van Rhijn) pasca pensiun sebagai residen pada 1786, kemudian menjadi lebih asing dengan Eropa, dan lebih akrab dengan Jawa" sambung Ricklefs. Tugasnya selama bertahun-tahun dalam mengawasi dan mengabdi pada raja Jawa, membuatnya menjadi sedikit kehilangan identitasnya sebagai seorang Eropa.

Meski demikian, para Residen Eropa juga memikul beban berat. Menurut Ricklefs, pekerjaan yang berat tak sebanding dengan gaji pokok yang mereka terima. Pasalnya mereka diangkat dan digaji langsung oleh Pemerintah Hindia-Belanda. "Residen adalah abdi kompeni, tanggung jawab utamanya adalah mengirim informasi sebanyak-banyaknya kepada Belanda mengenai masalah-masalah yang terjadi di Keraton Yogyakarta" tulisnya. 

Untuk tingkat opperkoopman (Residen senior), mereka dapat menerima gaji sebesar 80 hingga 100 gulden dalam sebulan. Kebanyakan dari mereka memanfaatkan uang birokrasi untuk diselundupkan sebagai cara untuk menambah pundi-pundi pendapatan mereka.

Baca Juga: Sang Sultan dan Tamansari dalam Catatan Perempuan Eropa Abad Ke-19

"Tanggung jawabnya juga melingkupi urusan orang-orang Eropa yang berada dibawah kendalinya (staf Residen J.M. van Rhijn)" tambah Ricklefs. Kerja beratnya juga ditambah dengan keputusan raja Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwana I), yang mengangkatnya sekaligus sebagai abdi dalem (staf kerajaan) Keraton Yogyakarta.

Meski sebagai seorang Belanda atau Eropa yang berstatus strata sosial tinggi, para raja Jawa memperlakukan para Residen sebagaimana abdi dalem Keraton. "Hal itu dicerminkan dari bahasa yang digunakan oleh raja kepada Residen, begitupun sebaliknya" ujar Ricklefs dalam tulisannya.

Baca Juga: Sisik Melik Makna di Balik Toponimi 'Jalan Malioboro' di Yogyakarta

Merawat bukti sejarah, termasuk memperhatikan kebersihan pusaka Yogyakarta. (Dwi Oblo/National Geographic Traveler)

Hamengkubuwana I akan berbicara ngoko (bahasa Jawa tingkat terendah) sebagaimana kepada para abdi atau orang yang lebih rendah darinya, sebaliknya, J.M. van Rhijn harus berbahasa krama (bahasa Jawa paling halus) kepada Sultan, orang yang lebih tinggi darinya.

"Melalui saluran komunikasi langsung dari Keraton ke tingkat birokrasi Belanda, kemudian mengalir hadiah-hadiah, surat menyurat, laporan-laporan hingga informasi dua arah" tulisnya.

Baca Juga: Inilah Lukisan Awal Keraton Ngayogyakarta Karya Seniman VOC