Abu Bakar Muhammad bin Zakariya Ar-Razi, Pelopor Pengobatan Depresi

By Utomo Priyambodo, Kamis, 23 September 2021 | 12:39 WIB
Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi, ilmuwan Muslim pelopor pengobatan depresi. (Wellcome Trust / CC BY 4.0)

Diperkirakan lebih dari 160 juta orang di seluruh dunia menderita depresi berat. Jika tidak ditolong, mereka dapat termakan oleh keadaan ini dan mengambil nyawa mereka sendiri alias bunuh diri.

Ilmu pengetahuan dan kedokteran saat ini telah menjelaskan banyak hal tentang kondisi serius ini. Dan berkat itu, pengobatan saat ini bisa membantu orang-orang yang depresi.

Namun depresi bukanlah kondisi yang hanya dialami orang-orang kiwari. Depresi tentu juga pernah menimpa orang-orang zaman dahulu, orang-orang dari masyarakat kuno.

Lalu bagaimana masyarakat kuno memahami keadaan ekstrem ini? Petunjuk pertama terletak di antara para filsuf Yunani Kuno. Peradaban ini berada di garis depan dari semua hal ilmiah, termasuk masalah mental.

Baca Juga: Studi: Bangun Tidur Satu Jam Lebih Pagi Bisa Kurangi Risiko Depresi

Al-Razi memeriksa pasien, sebuah lukisan mini karya Hossein Behzad, 1894–1968. (Hossein Behzad /Welcome Collection)

Tabib Yunani Kuno yang terkenal, Hippokrates (460 - 370 Sebelum Masehi), menggambarkan kondisi mental yang parah ini sebagai penyakit yang tidak biasa. Dia menamakannya "melankolia", dari bahasa Yunani Kuno "melas" yang berarti "hitam", dan "kholé" yang berarti "empedu". Dia menyatakan bahwa semua "ketakutan dan kesedihan, jika hal-hal tersebut bertahan lama", adalah gejala-gejala umum dari penyakit ini.

Hippokrates memberikan deskripsi "medis" atau ilmiah pertama tentang penyakit depresi sekitar 2.400 tahun lalu. Di tempat lahir peradaban, Mesopotamia, sebenarnya telah disebutkan bahwa penyakit seperti itu sudah ada sejak 2.000 Sebelum Masehi atau 4.000 tahun lalu.

Namun, orang-orang Mesopotamia menganggap depresi sebagai keadaan spiritual, masalah yang disebabkan oleh kerasukan setan. Jadi, orang yang depresi pada zaman itu akan meminta bantuan orang suci, bukan dokter. Orang-orang pada zaman itu juga biasa berharap untuk menghilangkan "ketakutan" dengan mempersembahkan kurban kepada dewa Shamash dalam ritual yang rumit.

Baca Juga: Berpelukan, 'Magic Touch' Pereda Stres yang Tabu di Indonesia