Berabad-abad kemudian, orang-orang Yunani memiliki pemahaman yang lebih baik tentang penyakit manusia. Namun pemahaman mereka soal depresi masih mentah. Hippokrates percaya bahwa melankolis, seperti kebanyakan penyakit lainnya, disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam humor.
Orang-orang Yunani banyak mendasarkan diagnosis mereka pada apa yang disebut "humor", yaitu empat cairan tubuh: darah, dahak, empedu hitam, dan empedu kuning. Hippokrates mengklaim bahwa melankolis disebabkan oleh kelebihan empedu hitam di limpa. Jadi, pengobatan untuk kondisi tersebut adalah dengan mengeluarkan darah, diet, olahraga berat, dan mandi air panas atau dingin.
Beberapa abad kemudian, negarawan Romawi bernama Cicero memberikan diagnosis yang lebih logis terkait keadaan depresi. Cicero mengatakan bahwa melankolis berakar pada ketakutan, kemarahan, dan—di atas segalanya—kesedihan.
Baca Juga: Tak Hanya Orang Dewasa, Anak-anak Juga Alami Depresi Akibat Karantina Selama Pandemi
Namun, pada abad-abad berikutnya, pengobatan penyakit ini tidak berkembang. Di seluruh dunia, banyak "pengobatan" aneh dan kejam yang diterapkan untuk pasien depresi. Umumnya, dalam masyarakat pasca-klasik dan awal abad pertengahan, orang-orang yang depresi dijauhi dan dipandang lemah. Karena itu, mereka paling sering mengalami penghinaan dan kekerasan.
Sering dilaporkan bahwa para pasien seperti itu dilemparkan ke ruang bawah tanah, dibelenggu, dan dipukuli. Tetapi seiring dengan kemajuan sains, akhirnya para pasien depresi mulai bisa mendapatakan pengobatan yang lebih baik dan lebih layak.
Pengobatan depresi yang layak secara medis bisa terwujud perlahan-lahan berkat para pelopornya. Salah satu pelopor dalam pengobatan itu adalah tabib Persia, Abu Bakar Muhammad bin Zakariya Ar-Razi (864 - 930 Masehi). Di dunia barat, ia dikenal sebagai Rhazes.