Kekacauan dan Pagebluk, Menanti Datang Ratu Adil Pangeran Dipanagara

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 25 September 2021 | 18:30 WIB
Lukisan bertajuk Redoute et camp retranche a Tempel. Benteng-medan yang berlokasi di antara jalur Yogyakarta dan Magelang untuk pertahanan Perang Jawa. Karya François Vincent Henri Antoine de Stuers, sekitar 1825-1830.
Lukisan bertajuk Redoute et camp retranche a Tempel. Benteng-medan yang berlokasi di antara jalur Yogyakarta dan Magelang untuk pertahanan Perang Jawa. Karya François Vincent Henri Antoine de Stuers, sekitar 1825-1830. (KITLV)

 

Nationalgeographic.co.id—Gerilya Pangeran Dipanagara melawan ketidakadilan kolonialisme Belanda di Tanah Jawa membuatnya digelari Ratu Adil. Gelar ini adalah sematan mesianis untuk seorang 'Imam' keturunan wali yang diramalkan Jayabaya tentang kejayaan Jawa di masa depan.

Pangeran Dipanagara menganggap gelar itu cocok untuknya, karena "selalu merasa terpanggil untuk menjadi seorang 'imam agung' di Jawa."

Meski demikian, sebelum dirinya matang melawan, sudah banyak kekacauan terjadi di tanah Jawa. Kekacauan itu memunculkan tokoh yang menganggap dirinya sebagai Ratu Adil untuk melakukan perlawanan, salah satunya adalah Umar Mahdi yang membawa gerakan pada Januari 1817.