Kekacauan dan Pagebluk, Menanti Datang Ratu Adil Pangeran Dipanagara

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 25 September 2021 | 18:30 WIB
Lukisan mahakarya Raden Saleh yang berkisah tentang suasana penangkapan Pangeran Dipanagara. Sebelum bergerilya, ada kekacauan dan pagebluk di tanah Jawa menanti kedatangan Ratu Adil. (Koleksi Lukisan Istana Presiden )

Sejarawan Trinity College Peter Carey lewat buku Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro (1765-1855) menulis, Umar Mahdi adalah tokoh yang mengaku sebagai prajurit Sultan Ottoman, dan mengatakan dirinya sebagai penguasa baru di tanah Jawa.

"Bahkan, ia sampai berani mengatakan bahwa seorang wali Islam di tanah Jawa, seperti Sunan Bonang, dan seorang pengikut dari Sultan Ottoman, Umar Moyo, akan membantunya sebagai 'panglima lapangan' di Semarang dan Kedu," tulis Carey. "Kedua tokoh besar itu akan membantunya dalam 'memurnikan' Tanah Jawa, yang berupa pengusiran orang Eropa dan Tionghoa."

Munculnya gerakan ini antara lain akibat krisis sosial dan ekonomi yang terjadi di tanah Jawa, akibat kesewenangan penjajahan Eropa. Saat itu, Hindia Timur baru usai penyerahan kekuasaan dari Inggris ke Belanda.

Baca Juga: Sebuah Kado Sial di Hari Ulang Tahun Dipanagara

Lukisan bertajuk Redoute et camp retranche a Tempel. Benteng-medan yang berlokasi di antara jalur Yogyakarta dan Magelang untuk pertahanan Perang Jawa. Karya François Vincent Henri Antoine de Stuers, sekitar 1825-1830. (KITLV)

Permasalahan yang terjadi akibat Thomas Stamford Raffles membuat kebijakan pajak, yang membuat kaum petani Jawa dicengkram para retenir Tionghoa setempat. Kebijakan itu juga menguntungkan para pejabat Keraton yang bertugas sebagai penarik pajak, karena mereka berwenang untuk pengambilan paksa.

Selain itu juga kebijakan cukai menjadi ketimpangan sosial dan ekonomi, yang dimonopoli oleh etnis Tionghoa. Cukai membuat petani harus mengantre panjang, dan mereka harus membuang waktu dengan hal-hal terperdaya yang memeras uang, seperti ronggeng, prostitusi, judi, dan candu, terang Carey.

Dengan permasalahan yang menyiksa rakyat, Umar Mahdi memerintahkan pengikutnya untuk bergerak ke pusat pertenunan milik etnis Tionghoa di Jono, Bagelen (sekarang bagian dari Purworejo). Tetapi, dia bersama 36 orang pengikutnya justru ditangkap dan diinterogasi.

Baca Juga: Napak Tilas Perjuangan Perang Dipanagara di Sekitar Borobudur